Hakikat Abad Modern, sebagaimana sejauh ini
penjelasan terbaiknya diberikan oleh Marshall G.S. Hodgson, ialah Teknikalisme
dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan kepada semua
bidang kehidupan. Maka, menurut Hodgson, Abad Modern itu sesungguhnya lebih
tepat disebut Abad Teknik, apalagi jika harus dihindari konotasi moral yagn
kontroversial pada perkataan “modern” (“modern” berarti “baik”, “maju”, dan
lain-lain). Teknikalisme itu an sich melatarbelakangi timbulnya
Revolusi Industri, sedangkan implikasi kemanusiaannya menyembul dalam bentuk
Revolusi Perancis. Dua peristiwa yang secara amat menentukan menandai dimulainya
Abad Modern itu terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18, bukannya di bagian
Eropa yang mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang seperti Yunani
dan Rumawi, melainkan di Inggris dan Perancis di Eropa Barat Laut yang
merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah umat manusia. Dan kelak akan
ternyata bahwa asepek kemanusiaannya yang tercerminkan dalam cita-cita
Revolusi Perancis itu adalah lebih bermakna daripada segi Tekniknya. Maka sering
pula disebutkan tentang peranan utama generasi 1789 (Revolusi Prancis) dalam
meletakkan dasar-dasar Abad Modern.
Sebagai suatu zaman baru, Abad Teknik, dalam efeknya
terhadap sejarah umat manusia, dapat dibandingkan dengan Abad Agraria Berkota
(Agrarianate Citied Society) yang dimulai oleh orang-orang Sumeria pada
sekitar tiga ribu tahun sebelum Masehi. Dalam sejarah umat manusia, bangsa
Sumeria adalah manusia pertama yang membangun masyarakat berkota. Mereka juga
yang pertama mampu mengatasi persoalan mereka karena gejala alam yang besar,
yaitu luapan sungai-sungai Dajlah dan Furat, yang kemudian mereka manfaatkan
untuk irigasi pertanian lembah “Antara Dua Sungai” (Mesopotamia). Dengan dipimpin
oleh para pendeta mereka dari zigurat-zigurat, orang-orang Sumeria terus-menerus
membuat kemajuan dalam berbagai bidang. Merekalah yang pertama menggunakan
bajak dan weluku secara intensif untuk menggarap tanah, dan dengan begitu
sangat meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pangan (dan
sandang) tidak saja memperbaiki taraf hidup para petani, tapi juga memungkinkan
tumbuhnya kelas baru di kota-kota yang dapat menikmati hidup makmur tanpa
harus terjun langsung dalam pekerjaan pertanian. Mereka adalah juga manusia
pertama yang membuat tulisan (huruf), menemukan perunggu dan menggunakan
kendaraan beroda.
Berkat kemajuannya itu, bangsa Sumeria mendapati
dirinya mampu dengan gampang mengalahkan dan menguasai bangsa-bangsa lain di
sekitarnya, yaitu masyarakat-masyarakat pertanian tanpa kota. Dengan begitu
perang tidak lagi hanya berupa pertempuran antar suku seperti sebelumnya,
melainkan meningkat skalanya menjadi perang antar bangsa. Maka timbullah pada
mereka, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kehidupan bernegara
dalam arti kata yang sebenarnya, bahkan dengan wawasan imperialisme dan kolonialismenya.
Hal ini, selanjutnya menuntut kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatur
kehidupan bersama secara lebih cermat dan profesional. Jika selama ini pimpinan
masyarakat terbatas hanya kepada para pemimpin agama sebagai satu-satunya
kelas literati, kini diperlukan kelompok orang-orang yang khusus
menangani urusan kenegaraan, terutama perang, serta kelompok lain yang
menangani perdagangan.
Cara dan pandangan hidup Sumeria (“Sumerisme”) menjadi
model bagi umat manusia selama 5000 tahun, yaitu sejak tumbuhnya masyarakat
berkota (citied society) pertama di Sumeria itu sampai dengan
dimulainya Abad Teknik di Eropa Barat Laut. “Sumerisme” merupakan dasar pola
kebudayaan manusia sejagad, meskipun di sana-sini, seperti misalnya di
pedalaman Afrika, Pulau Irian dan Australia, masih terdapat kelompok
orang-orang yang belum mengenalnya samasekali, bahkan sampai sekarang.
Sungguh, sejak masa Sumeria itulah umat manusia benar-benar memiliki
“Peradaban” dan memasuki “Zaman Sejarah”.
Yang segera terlanda oleh gelombang “Sumerisasi” itu
ialah kalangan bangsa-bangsa Semit sendiri di sekitar Mesopotamia, kemudian
bangsa Mesir di Lembah Nil dari kalangan ras Hamit, menyusul bangsa-bangsa
Persia, Yunani, dan India dari kalangan ras Arya. Bangsa-bangsa lain yang
lebih jauh dari Lembah Mesopotamia, melalui perkembangan dan pengaruh berantai,
juga akhirnya terkena oleh arus “Sumerisasi” itu, seperti ditunjukkan oleh
“bangsa” Jawa setelah kedatangan orang-orang “berperadaban” dari India.
Abad Agraria itu terus-menerus mengalami perkembangan
secara progresif, dengan perbaikan tidak saja dalam hal-hal yang bersangkutan
dengan pertanian, tetapi lebih penting lagi peningkatan konsep kemanusiaan
yang mendasarinya, atau menjadi implikasinya. Peranan kaum intelektual yang
diwakili oleh golongan literati dari pranata keagamaan tetap berlanjut
sebagai sumber kreativitas dan inovasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, pengetahuan
tulis-baca menjadi tidak terbatas hanya kepada kalangan agama saja, tetapi
meluas ke kalangan-kalangan lain juga. Puncak dari “Sumerisme” itu, dalam
artiannya sebagai peradaban duniawi dalam bentuk masyarakat berkota (citied
society) dengan dasar ekonomi agraris dan dengan pengembangan serta
peningkatan optimal aspek kemanusiaannya, ialah Dâr al-Islâm yang
berhasil mendominasi umat manusia selama paling sedikitnya delapan abad.
0 Comment