Rekayasa atau teknik (bahasa Inggris: engineering) adalah penerapan ilmu dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan manusia. Hal ini diselesaikan lewat pengetahuan, matematika dan pengalaman praktis yang diterapkan untuk mendesain objek atau proses yang berguna. Para praktisi teknik profesional disebut insinyur atau rekayasawan (sarjana teknik).
Arti kata rekayasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah re.ka.ya.sa [n] (1) penerapan kaidah-kaidah ilmu dl pelaksanaan (spt perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yg ekonomis dan efisien); rencana jahat atau persekongkolan untuk merugikan dsb pihak lain: ia menjadi terdakwa krn — yg dilakukan tetangganya[1].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata teknik adalah pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan hasil industri (bangunan, mesin). Contoh: Sekolah teknik, ahli teknik. Arti lainnya dari teknik adalah cara (kepandaian dan sebagainya) membuat atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni[2].
Menurut sejarahnya, banyak para ahli yang meyakini kemampuan rekayasa manusia sudah tertanam secara "alami". Hal ini ditandai dengan kemampuan manusia purba untuk membuat peralatan peralatan dari batu. Dengan kata lain teknik pada mulanya didasari dengan trial and error untuk menciptakan alat untuk mempermudah kehidupan manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, ilmu pengetahuan mulai berkembang, dan mulai mengubah cara pandang manusia terhadap bagaimana alam bekerja. Perkembangan ilmu pengetahuan ini lah yang kemudian mengubah cara teknik bekerja hingga seperti sekarang ini. Orang tidak lagi begitu mengandalkan trial and error dalam menciptakan atau mendesain peralatan, melainkan lebih mengutamakan ilmu pengetahuan sebagai dasar dalam mendesain.
Abad Teknik suatu Keharusan Sejarah
Apa pun yang terjadi, disebabkan oleh dinamika
internal Teknikalisme, sekali suatu Abad Teknik tersembulkan di suatu
tempat, tidaklah mungkin lagi bagi tempat lain untuk juga menyembulkannya.
Dikarenakan efek teknikalisasi yang melanda dunia dengan cepat, tempat-tempat
lain tersebut hanya bisa menolak, atau menerima dan mengasimilasinya.
Karena itu masyarakat di tempat-tempat lain, termasuk umat Islam, dengan
cepat kehilangan kemandiriannya dan berubah menjadi bagian penting atau tidak
penting masyarakat dunia yang sedang mengalami transmutasi. Dari sudut
tinjauan ini, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan masyarakat para pemeluk
Islam telah berhenti sebagai umat, jika pengertian umat, seperti yang ada
selama ini, mengisyaratkan kemandirian dan kecukupan diri. Sebab kemandirian
dan kecukupan diri Dunia Islam yang dinikmatinya selama dominasinya
berabad-abad itu kini telah runtuh berhadapan dengan arus dan gelombang
Teknikalisme. Maka yang tersisa sekarang ialah pengelompokan-pengelompokan
para pemeluk agama Islam yang tidak lagi terkoordinasi, lebih dari masa-masa
dekat sebelumnya. Universitas al-Azhar di Mesir memiliki daya tahan yang luar
biasa mengagumkan, dan untuk jangka waktu lama sekali senantiasa memancarkan
kewibawaan orientasionalnya ke seluruh Dunia Islam. Tetapi setelah secara tak
terhindarkan harus berhadapan dengan arus modernisasi, responsi yang diberikannya
kurang kreatif, jika bukannya reaksioner, dan peranannya sebagai sumber orientasi
melemah dengan cepat. Tergesernya prestise al-Azhar oleh Universitas Kairo
yang sekular, atau malah oleh Universitas Amerika di sana, merupakan kleidoskop
drama Islam menghadapi Abad Modern. Dari segi inilah amat disayangkan bahwa
usaha reformasi ‘Abduh mengalami kegagalan.
Jadi memasuki dan ikut serta dalam Abad Modern
bukanlah persoalan pilihan, melainkan suatu keharusan sejarah. Dan dari perspektif
sejarah kemanusiaan itu, kemodernan bukanlah monopoli suatu tempat atau
kelompok manusia tertentu. Selalu ada kemungkinan bagi tempat-tempat dan
kelompok-kelompok manusia lain untuk mengejar dan menyertainya. Kita hanya
harus menyebut Jepang sebagai contoh bangsa bukan-Barat yang tidak saja
berhasil menyertai kemodernan itu, bahkan telah meluncur dengan kecepatan
yang mencengangkan, termasuk untuk orang-orang Barat sendiri.
Lebih-lebih bagi Dunia Islam, kemodernan itu
semestinya tidak terlalu asing dalam tinjauan kemanusiaan dan intelektualnya.
Terdapat banyak pandangan yang menjelaskan bahwa kemodernan, dalam banyak
hal, merupakan pengembangan lebih lanjut nilai-nilai yang ada dalam tradisi keruhanian
Irano-Semitik yang memuncak dalam Islam. Meskipun pandangan yang menyalahkan
para pemeluk Islam atas keterbelakangan zaman sekarang ini mengandung usaha
melindungi agama Islam (bernada apologetik), namun sebenarnya dalam pernyataan
itu terdapat kebenaran mendasar yang tidak mungkin diabaikan. Di tangan peninjau
yang lebih netral dengan mengikuti disiplin ilmiah tertentu, pernyataan serupa
bisa memperoleh pensubstansiannya dan terbebas dari kesan apologetik apa pun.
Contoh tinjauan netral serupa itu ialah yang dilakukan oleh Ernest Gellner,
seorang ahli sosiologi agama. Dalam kajiannya, Gellner menunjukkan bahwa
Tradisi Agung Islam tetap bisa dimodernkan (modernisable) tanpa perlu
banyak memberi konsesi kepada pihak luar, dan bisa merupakan semata-mata
kelanjutan berbagai dialog dalam Umat sepanjang sejarahnya. Dari antara
berbagai agama yang ada, kata Gellner, Islam adalah satu-satunya yang mampu
tanpa banyak gangguan doktrinal untuk mempertahankan sistem keimanannya dalam
Abad Modern ini. Dalam penilaian Gellner, dalam Islam, dan hanya dalam Islam,
pemurnian dan modernisasi di satu pihak, dan peneguhan kembali identitas lama
umat di lain pihak, dapat dilakukan dalam satu bahasa dan perangkat simbul-simbul
yang sama. Dunia Islam memang gagal menerobos zaman dan mempelopori umat
manusia memasuki Abad Modern. Tetapi, kata Gellner lebih lanjut, karena watak
dasar Islam itu, kaum Muslimin mungkin akan justru menjadi kelompok umat
manusia yang paling besar memperoleh manfaat dari kemodernan Dunia.
0 Comment