Thalassemia adalah kelainan darah yang menyebabkan tubuh kekurangan hemoglobin. Hemoglobin merupakan sel darah merah yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi ini bersifat genetik atau diturunkan
ABORSI DALAM KASUS THALASSEMIA
Pertimbangan keagamaan tentang aborsi (pengguguran
kandungan) sebagai tindakan medis untuk mengatasi thalassemia—penyakit
kelainan darah turunan yang ditandai oleh adanya sel darah merah yang
abnormal, dengan sendirinya melibatkan faktor-faktor non-agama an sich
dan berbagai implikasinya: (1) Pengetahuan yang mendekati kepastian tentang
hakikat thalassemia, baik sebagai penyakit maupun “linkage”-nya ke depan
dan ke belakang, (2) Pengetahuan seberapa jauh kemungkinan thalassemia
dapat atau tidak dapat disembuhkan, dan (3) Pengetahuan memadai tentang
berbagai implikasinya, baik implikasi medis, ekonomis, psikologis, dan
sosial; maupun implikasinya bagi penderita sendiri, orangtua, masyarakat,
bahkan mungkin negara.
Persoalannya menjadi semakin rumit dan kompleks,
karena pertimbangan keagamaan akan menyangkut pula berbagai faktor atau variable
lain yang luas sekali, jika tidak bisa dikatakan tak terbatas. “Agama”
mengasumsikan “ajaran” dengan isyarat kepada “keinginan” atau “ketentuan”
Tuhan. Karena itu variable utama dalam pertimbangan keagamaan ialah
pengetahuan tentang “keinginan” Tuhan itu sehingga keputusan tindakan apapun
yang kita lakukan akan mendapat “perkenan” atau ridla-Nya karena sejalan
dengan “keinginan”-Nya itu.
Ajaran, “keinginan” dan ketentuan Tuhan itu dapat
diketahui dari firman-firman yang merupakan wahyu kepada Rasul-Nya sebagaimana
telah termuat dalam kitab suci, dan dari tindakan Rasul yang sesuai dengan
wahyu itu, yakni Sunnah. Tetapi penarikan kesimpulan langsung tentang ajaran
Tuhan itu baik dari kitab suci maupun Sunnah hanya ada secara teoritis. Dalam praktek,
penarikan kesimpulan itu akan lebih banyak mempertaruhkan keabsahan suatu
tafsiran terhadap bunyi wahyu dan materi Sunnah, dan ini berarti menyangkut
persoalan tingkat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia. Selanjutnya,
pada urutannya ini menyangkut masalah ijtihad (al-ijtihâd), suatu
pranata dalam sistem pemahaman ajaran agama (Islam) yang prinsipnya ialah
berpikir secara optimal memahami sumber-sumber standar ajaran keagamaan dan
mengambil kesimpulan yang sedikit mungkin dengan kebenaran.
Karena kenisbian manusia dan kemampuan-kemampuannya, termasuk di sini kemampuan intelektualnya, maka hasil suatu ijtihad tidak pernah mutlak mengikat secara umum. Hanya saja, suatu yang bernada optimistik tentang ijtihad ialah bahwa ia bisa, atau harus dilakukan, tanpa perlu takut membuat kesalahan. Sebab, seperti disebutkan dalam sebuah hadis, ijtihad yang membawa kepada kesimpulan yang benar akan berpahala ganda, dan jika ia membawa kepada kesimpulan yang salah masih tetap akan berpahala juga, meski hanya tunggal.
Seperti halnya dengan ijtihad, maka begitulah kedudukan suatu fatwa—yang merupakan hasil suatu ijtihad—dalam sistem keagamaan Islam. Maka seseorang, dalam hubungannya dengan suatu pandangan keagamaan, terikat hanya kepada apa yang diyakini sebagai benar, setelah ia sendiri melakukan ijtihad dengan menggunakan bahan yang tersedia di hadapannya, tanpa kehilangan kesadaran akan kenisbian hasil ijtihadnya itu
0 Comment