PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Sabtu, 11 Februari 2023

Thalassemia adalah kelainan darah yang menyebabkan tubuh kekurangan hemoglobin. Hemoglobin merupakan sel darah merah yang bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi ini bersifat genetik atau diturunkan

ABORSI DALAM KASUS THALASSEMIA

Pertimbangan keagamaan ten­tang aborsi (pengguguran kandung­an) sebagai tindakan medis untuk mengatasi thalassemia—penyakit kelainan darah turunan yang ditan­dai oleh adanya sel darah merah yang abnormal, dengan sendirinya meli­batkan faktor-faktor non-agama an sich dan berbagai impli­kasi­nya: (1) Pengetahuan yang men­dekati kepastian tentang haki­kat thalassemia, baik sebagai pe­nya­kit maupun “linkage”-nya ke de­pan dan ke be­­­lakang, (2) Pe­nge­tahuan sebe­rapa jauh ke­mung­kinan tha­las­semia dapat atau tidak dapat disembuhkan, dan (3) Pengetahuan memadai tentang berbagai implika­si­nya, baik implikasi medis, ekono­mis, psi­ko­logis, dan sosial; maupun impl­i­kasinya bagi penderita sendiri, orang­tua, masyarakat, bahkan mung­kin negara.

Persoalannya menjadi semakin rumit dan kompleks, karena per­tim­bangan keagamaan akan me­nyangkut pula berbagai faktor atau variable lain yang luas sekali, jika tidak bisa dikatakan tak terbatas. “Agama” mengasumsikan “ajaran” dengan isyarat kepada “keinginan” atau “ketentuan” Tuhan. Karena itu variable utama dalam per­tim­bangan keagamaan ialah pengeta­huan tentang “keinginan” Tuhan itu sehingga keputusan tindakan apa­pun yang kita lakukan akan menda­pat “perkenan” atau ridla-Nya karena sejalan dengan “keinginan”-Nya itu.

Ajaran, “keinginan” dan keten­tuan Tuhan itu dapat diketahui dari firman-firman yang merupakan wahyu kepada Rasul-Nya sebagai­mana telah termuat dalam kitab suci, dan dari tindakan Rasul yang sesuai dengan wahyu itu, yakni Sunnah. Tetapi penarikan ke­sim­pul­an langsung tentang ajaran Tuhan itu baik dari kitab suci mau­pun Sunnah hanya  ada secara teo­ri­tis. Dalam praktek, penarikan ke­simpulan itu akan lebih banyak mempertaruhkan keabsahan suatu tafsiran terhadap bunyi wahyu dan materi Sunnah, dan ini berarti menyangkut persoalan tingkat pengetahuan dan kemampuan inte­lek­tual manusia. Selanjutnya, pada urutannya ini menyangkut masalah ijtihad (al-ijtihâd), suatu pranata dalam sistem pemahaman ajaran agama (Islam) yang prinsipnya ialah berpikir secara optimal memahami sumber-sumber standar ajaran keagamaan dan mengambil ke­simpulan yang sedikit mungkin de­ngan kebenaran.

Karena kenisbian manusia dan ke­­mampuan-kemampuannya, ter­masuk di sini kemampuan intelek­tualnya, maka hasil suatu ijtihad tidak pernah mutlak mengikat se­ca­ra umum. Hanya saja, suatu yang ber­nada optimistik tentang ijtihad ialah bahwa ia bisa, atau harus dila­ku­kan, tanpa perlu takut mem­buat ke­salahan. Sebab, seperti dise­butkan da­lam sebuah hadis, ijtihad yang mem­bawa kepada kesimpulan yang be­­nar akan berpahala ganda, dan jika ia membawa kepada ke­simpul­an yang salah masih tetap akan ber­pahala juga, meski hanya tung­gal.

Seperti halnya dengan ijtihad, maka begitulah kedudukan suatu fatwa—yang merupakan hasil suatu ijtihad—dalam sistem keagamaan Islam. Maka seseorang, dalam hubungannya dengan suatu pan­dang­an keagamaan, terikat hanya kepada apa yang diyakini sebagai benar, setelah ia sendiri melakukan ijtihad dengan meng­gunakan bahan yang tersedia di hadapannya, tanpa kehilangan ke­sadaran akan kenis­bian hasil ijtihad­nya itu

0 Comment