PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Sabtu, 11 Februari 2023

Menurut Al-Attas, secara etimologi adab berasal dari bahasa Arab yaitu أَدَّبَ - يُؤَدِّبُ (addaba - yu addibu) yang berarti mendidik atau pendidikan.[2] Sedangkan dalam bahasa Yunani, adab (etika) diambil dari kata ethicos atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, dan kecenderungan hati untuk melakukan suatu perbuatan.[3]

Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama.[1] Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum.[1] Sebutan orang beradab sesungguhnya berarti bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam agama Islam.[1] Namun dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan dengan segi kesopanan secara umum dan tidak khusus digabungkan dalam agama Islam.[1]

 Adab Guru-Murid

Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan adab mengajar dan belajar (guru-murid), kita sering mendengar etika hu­bungan antara guru dengan murid, yang dalam beberapa hal mem­buat mati ilmu pengetahuan. Di pesantren sebuah kitâb yang sangat terkenal, yaitu Ta‘lîm-al-Muta‘allim, mengajarkan bahwa se­orang murid pantang membantah guru, karena sikap semacam itu akan melahirkan kutukan dari guru, dan ilmu yang diperolehnya tidak akan bermanfaat. Prof. Mukti Ali per­nah mengangkat Ta‘lîm al-Muta‘allim sebagai persoalan pem­bahasan untuk memahami hubung­an guru-murid, yang di pesantren me­nim­bulkan ekses tidak produk­tif. Sebab di kalangan pesantren, per­kataan yang paling mengerikan dari seorang guru adalah, “ilmumu tidak bermanfaat!” yang berarti “ku­tukan”. Inilah salah satu ekses dari al-Ghazali. Dikatakan ekses, sebab al-Ghazali sendiri tidak bermaksud demikian.

Sebagai murid, bahkan al-Ghazali sendiri sangat kreatif, se­hingga sering terkesan seperti me­nentang gurunya. Kira-kira ada sekitar 6.000 perbedaan pendapat dengan gurunya—seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Sementara itu,  per­be­daan akan nampak semakin banyak antara madzhab Maliki dan Hanafi karena Abu Hanifah lebih mementingkan penalaran. Menurut Kiai Hasyim Asyari, perbedaan antara kedua mazhab itu menyang­kut 14.000 bidang masalah. De­mikian pula jika diperbandingkan dengan Ibn Hanbal yang meru­pakan murid Imam Syafi’i, tetapi kemudian mendirikan mazhab sendiri, yaitu mazhab Hanbali. Banyak sekali perbedaan antara mazhab Hanbali dengan mazhab Syafi’i. Kendati begitu, menurut Kiai Hasyim, keduanya tidak per­nah saling bermusuhan, saling menyalah­kan, dan saling mencerca, apalagi saling mengutuk.

Ketika Abu Hanifah ditanya mengenai polemik dan serangan-serangan yang ditujukan kepada­nya, dia dengan tenang menga­takan, “ternyata kita benar tetapi masih ada kemungkinan salah, pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar”. Begitu­lah, dulu orang Islam menyikapi perbedaan pendapat yang sampai sekarang warisannya masih ada di kalangan para ulama, yaitu di ujung setiap persoalan selalu diucapkan wallâhu a‘lam bish-shawâb (hanya Allah yang mengetahui yang benar), dan kita tidak tahu apa-apa.

0 Comment