Menurut Al-Attas, secara etimologi adab berasal dari bahasa Arab yaitu أَدَّبَ - يُؤَدِّبُ (addaba - yu addibu) yang berarti mendidik atau pendidikan.[2] Sedangkan dalam bahasa Yunani, adab (etika) diambil dari kata ethicos atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, dan kecenderungan hati untuk melakukan suatu perbuatan.[3]
Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama.[1] Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum.[1] Sebutan orang beradab sesungguhnya berarti bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam agama Islam.[1] Namun dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan dengan segi kesopanan secara umum dan tidak khusus digabungkan dalam agama Islam.[1]
Adab Guru-MuridDalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan adab
mengajar dan belajar (guru-murid), kita sering mendengar etika hubungan antara
guru dengan murid, yang dalam beberapa hal membuat mati ilmu pengetahuan. Di
pesantren sebuah kitâb yang sangat terkenal, yaitu Ta‘lîm-al-Muta‘allim,
mengajarkan bahwa seorang murid pantang membantah guru, karena sikap semacam
itu akan melahirkan kutukan dari guru, dan ilmu yang diperolehnya tidak akan
bermanfaat. Prof. Mukti Ali pernah mengangkat Ta‘lîm al-Muta‘allim
sebagai persoalan pembahasan untuk memahami hubungan guru-murid, yang di
pesantren menimbulkan ekses tidak produktif. Sebab di kalangan pesantren,
perkataan yang paling mengerikan dari seorang guru adalah, “ilmumu tidak
bermanfaat!” yang berarti “kutukan”. Inilah salah satu ekses dari al-Ghazali.
Dikatakan ekses, sebab al-Ghazali sendiri tidak bermaksud demikian.
Sebagai murid, bahkan al-Ghazali sendiri sangat kreatif, sehingga sering terkesan seperti menentang gurunya. Kira-kira ada sekitar 6.000 perbedaan pendapat dengan gurunya—seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Sementara itu, perbedaan akan nampak semakin banyak antara madzhab Maliki dan Hanafi karena Abu Hanifah lebih mementingkan penalaran. Menurut Kiai Hasyim Asyari, perbedaan antara kedua mazhab itu menyangkut 14.000 bidang masalah. Demikian pula jika diperbandingkan dengan Ibn Hanbal yang merupakan murid Imam Syafi’i, tetapi kemudian mendirikan mazhab sendiri, yaitu mazhab Hanbali. Banyak sekali perbedaan antara mazhab Hanbali dengan mazhab Syafi’i. Kendati begitu, menurut Kiai Hasyim, keduanya tidak pernah saling bermusuhan, saling menyalahkan, dan saling mencerca, apalagi saling mengutuk.
Ketika Abu Hanifah ditanya mengenai polemik dan serangan-serangan yang ditujukan kepadanya, dia dengan tenang mengatakan, “ternyata kita benar tetapi masih ada kemungkinan salah, pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar”. Begitulah, dulu orang Islam menyikapi perbedaan pendapat yang sampai sekarang warisannya masih ada di kalangan para ulama, yaitu di ujung setiap persoalan selalu diucapkan wallâhu a‘lam bish-shawâb (hanya Allah yang mengetahui yang benar), dan kita tidak tahu apa-apa.
0 Comment