ADIL DALAM PENGGUNAAN KEKAYAAN
Arti semula kata ‘adl (bahasa Arab) ialah
sesuatu yang sedang, seimbang, atau wajar. Begitu pula, arti kata just
(bahasa Inggris) ialah wajar, dan dengan demikian, arti justice
(keadilan) ialah kewajaran.
Dengan demikian, orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama.
Penilaian, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya berdasar pada kebenaran walaupun kepada diri sendiri, saat di mana berperilaku adil terasa berat dan sulit.
Kedua, keadilan adalah milik seluruh umat manusia tanpa memandang suku, agama, status jabatan ataupun strata sosial.
Ketiga, di bidang yang selain persoalan hukum, keadilan bermakna bahwa seseorang harus dapat membuat penilaian obyektif dan kritis kepada siapapun. Mengakui adanya kebenaran, kebaikan dan hal-hal positif yang dimiliki kalangan lain yang berbeda agama, suku dan bangsa dan dengan lapang dada membuka diri untuk belajar serta dengan bijaksana memandang kelemahan dan sisi-sisi negatif mereka.
Perilaku adil, sebagaimana disinggung di muka, merupakan salah satu tiket untuk mendapat kepercayaan orang; untuk mendapatkan reputasi yang baik. Karena dengan reputasi yang baik itulah kita akan memiliki otoritas untuk berbagi dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dengan orang lain. Tanpa itu, kebaikan apapun yang kita bagi dan sampaikan hanya akan masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan. Karena, perilaku adil itu identik dengan konsistensi antara perilaku dan perkataan
Pola penggunaan kekayaan harus juga adil, sehingga kekayaan memenuhi kewajaran: suatu keadaan yang dapat diterima oleh semua orang dengan penuh kerelaan dan kelegaan. Pola tersebut ialah pola prihatin. Dalam kepribadian dan keprihatinan terdapat unsur dan semangat solidaritas sosial: suatu sikap yang selalu memperhitungkan dan memperhatikan keadaan dan kepentingan orang banyak; tidak egois atau berpusat pada diri sendiri. Dengan keprihatinan, harta kita sendiri digunakan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar, tak lebih dan tak kurang, menyisihkan sebagian untuk mendorong produktifitas masyarakat (umpamanya, dengan sistem tabungan), dan mengeluarkan sebagian lagi untuk kepentingan langsung sosial. Dengan menekan penampakkan mencolok kekayaan, maka satu lagi hal bisa didapat: mengurangi sumber ketegangan-ketegangan sosial yang amat berbahaya.
Tentang pola prihatin ekonomi ini, agama memberi petunjuk seperti tertera dalam firman-Nya, Dan mereka (orang-orang beriman), jika menggunakan harta mereka, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan, berada di antara keduanya (Q., 25: 67).
Wajarlah bila kita, bangsa Indonesia, menempuh cara
hidup prihatin dan disertai solidaritas sosial sebagai salah satu jalan menuju
Keadilan Sosial. Sebab Beberapa negara telah menempuh jalan semacam itu.
Adil dan Ihsan
Dinyatakan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kerabat dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan kekejaman. Ia mengajarkan kamu supaya menjadi peringatan bagimu (Q., 16: 90).
Adil (al-‘adl) dalam ayat di atas adalah
tindakan mengatakan bahwa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Tetapi
di samping itu juga harus ada al-ihsân, yaitu mengakui kebaikan
orang apabila orang itu betul-betul baik. Sebab tidak ada orang yang sepenuhnya
buruk, sebagaimana tidak ada orang yang sepenuhnya baik. Surga dan neraka telah
dijanjikan Allah Swt. berkaitan dengan, Maka barang siapa timbangannya
(amal kebaikannya) berat. Akan hidup bahagia. Tetapi barang siapa timbangannya
(amal kebaikannya) ringan. Maka tempat tinggalnya lubang yang paling dalam.
Dan apa yang akan menjelaskan kepadamu apa itu? (Itulah) api yang membara
(Q., 101: 6-11).
Jadi, tidak ada orang yang seratus persen baik tanpa
cacat. Demikian juga tidak ada orang yang seratus persen buruk tanpa kebaikan.
Maka kutipan ayat (Q., 16: 90) di atas adalah untuk mengingatkan kepada kita
semua agar tidak melakukan generalisasi secara serampangan. Kita harus adil
sebagaimana Allah juga adil kepada kita. Kita juga harus melakukan ihsan,
sebagaimana Allah telah melakukan ihsan kepada kita.
ADIL DAN SEIMBANG
Dalam Q., 42: 38-43, Al-Quran menggambarkan bagaimana
umat Islam harus bertindak seimbang dan adil di muka bumi ini. Renungan atas
ayat ini juga bisa memberikan kearifan tindakan bagi kita dalam memecahkan
masalah-masalah sosial yang dihadapi umat Islam, dalam kaitan dengan kerumitan
hubungan antaragama yang sedang kita hadapi. Kita kutip terlebih dahulu
terjemah ayat Al-Quran tersebut: Dan mereka yang memenuhi seruan Tuhan dan
mendirikan shalat, dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka,
dan mereka infakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan bila
ada perbuatan sewenang-wenang menimpa mereka, mereka membela diri. Balasan
atas suatu kejahatan, adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa dapat
memberi maaf dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah. Sungguh,
Ia tak menyukai orang yang berbuat zalim. Tetapi sungguh barangsiapa membela
diri setelah dianiaya, tak ada alasan menyalahkan mereka. Kesalahan hanyalah
pada mereka yang menganiaya manusia, dan melanggar batas di bumi tanpa sebab.
Bagi mereka itulah azab yang pedih. Tetapi sungguh, barangsiapa mau sabar dan
memberi maaf, sungguh itulah sikap yang terbaik.
Mari kita renungkan ayat tersebut dimulai dengan
perkataan mereka yang memenuhi seruan Tuhan, mendirikan shalat, dan memusyawarahkan
atas apa saja masalah yang dihadapi. Musyawarah dalam ayat ini mendapatkan perhatian
utama, sebagai prinsip kehidupan sosial-politik yang benar, mulai dari rumah
tangga atau keluarga, kehidupan bermasyarakat, hingga hubungan kenegaraan.
Musyawarah pun menjadi kata kunci surat tersebut (surat Al-Syûrâ, surat
mengenai musyawarah). Prinsip musyawarah ini juga yang telah dipraktikkan
secara sangat ekspresif oleh Nabi Saw. sehingga dapat menjadi model bagi kaum
Muslim untuk mengerti kehidupan modern mengenai demokrasi, sesuai dengan asas
partisipatif-egaliter.
Tetapi, jika musyawarah ini tidak bisa dicapai, dan
kaum Muslim—hak-hak pribadi maupun kolektifnya—merasa diinjak-injak, maka
mereka diperbolehkan bertahan dan membalas demi membela kebenaran. Balasan atas suatu kejahatan,
adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi dalam membela diri, dan membalas
atas hak-hak pribadi maupun kolektif yang diinjak-injak itu, kaum Muslim
diingatkan untuk tidak boleh melebihi dari kezaliman yang dideritanya, sehingga
menjadi bentuk balas-dendam. Karena
itulah, menghindari bentuk balas dendam yang dapat menimbulkan kezaliman,
Al-Quran memberi jalan keluar, bahwa yang ideal itu bukan balas dendam tetapi
mengikuti cara yang lebih baik ke arah kerukunan kembali dengan orang-orang
yang melakukan pelanggaran. Inilah langkah moral terbaik dari ajaran agama,
yang membalik sikap permusuhan menjadi persahabatan dan persaudaraan, yang
penuh dengan maaf dan rasa kasih sayang. Dari segi Agama, Allah lebih meridlai
sikap persahabatan, persaudaraan, maaf dan rasa kasih-sayang daripada
permusuhan dan balas dendam tak berkesudahan. Barangsiapa dapat memberi maaf
dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah. Walaupun Al-Quran
juga menegaskan, Barangsiapa membela diri setelah dianiaya, tak ada alasan
menyalahkan mereka. Kesalahan hanyalah pada mereka yang menganiaya manusia,
dan melanggar batas di bumi tanpa sebab. Bagi mereka itulah azab yang pedih.
Tetapi tetap, pada akhirnya, “Sungguh, barangsiapa mau sabar dan memberi maaf,
sungguh itulah sikap yang terbaik”
Maka dari itu menjadi orang Islam yang menegakkan
“jalan tengah”—sebagai saksi, sebagai umat terbaik—itu sulit. Sebab kita harus
tahu, kapan harus membela diri dengan menghancurkan musuh yang telah menganiaya
kita, tapi kita juga harus tahu, kapan harus bersabar dan memaafkan. Inilah
yang harus kita minta setiap hari kepada Allah Swt. sebanyak 17 kali melalui
rakaat-rakaat shalat wajib, “Ihdinâ ‘l-shirâtha ‘l-mustaqîm” (Tunjukilah
kami ke jalan yang lurus). Menurut ajaran agama, mempertahankan diri itu
boleh, membalas boleh, tapi membalas secara berlebihan itu zalim. Dan dari
sejarah kita belajar, setiap pembalasan cenderung sering berlebihan. Daripada
membalas berlebihan, agama mengajarkan lebih baik berdamai. Kalau kita hanya
menonjolkan yang keras, maka Allah memperingatkan jangan-jangan kamu nanti
zalim; tapi kalau kita hanya bisa memaafkan, akibat ketidakpedualian kita pada
persoalan kezaliman yang sesungguhnya, maka kita nanti terjerembab dalam
kelembekan moral, dan hukum tidak berjalan dalam masyarakat, sehingga
masyarakat ditandai oleh tidak adanya hukum yang menegakkan pembeda antara yang
benar dan salah.
Maka kita petik hikmah ayat di atas, bahwa bersabar dan memberi maaf memang lebih berat dijalankan, daripada memperlakukan orang dengan kasar dan keras untuk membalas-dendam, dengan menghukum mereka yang bersalah. Sebab menurut Al-Quran, bersabar dan memberi maaf itu adalah bentuk keberanian, pemecahan masalah yang paling tinggi dan mulia. Karena itu adalah bagian dari fitrah manusia—yaitu ketika kembali kepada kesucian asal kita—kita pun kembali kepada dâr al-salâm (Darussalam) kampung perdamaian, Pacem in Terris, sehingga dapat tercapai damai di bumi, dan berbahagialah seluruh umat manusia.
ADIL
Isu peradaban ialah keadilan, al-‘adâlah, al-‘adl.
Dalam Al-Quran disebut juga al-qishth atau al-mîzân
(keseimbangan). Dalam surat Al-Rahmân, kata-kata mîzân memang
dikaitkan dengan keadilan, Dan langit Ia tinggikan, dan Ia letakkan neraca
(keadilan) (Q., 55: 7). Di sini Tuhan berbicara tentang makro-kosmos,
bahwa seluruh alam raya dikuasai oleh hukum keseimbangan, sehingga arti
sebenarnya ‘adl ialah keseimbangan, yaitu konsep tentang tengah. Maka
bangun dari ruku’ dalam shalat disebut i‘tidâl, karena menengahi
seluruh proses shalat sejak dari takbir sampai sujud. Al-Quran mengatakan
bahwa jagat raya ini dikuasai oleh hukum keseimbangan, karena itu manusia
dilarang melanggar prinsip keseimbangan. Setelah bicara tentang jagat raya,
ada perintah kepada hal yang sangat praktis, yaitu ke pasar, menyangkut timbangan.
Dalam Al-Quran, ada perintah kepada manusia untuk menepati timbangan-timbangan
itu dengan jujur dan dilarang curang dalam menimbang.
Timbangan di pasar sebenarnya adalah realisasi dari
bekerjanya hukum gravitasi. Artinya, ia bekerja mengikuti hukum yang menguasai
seluruh jagat raya. Einstein mengatakan bahwa kekuatan yang paling dahsyat
terdapat pada benda kecil, yaitu atom bersama dengan atom kemudian berangkulan
satu sama lain dan menjadi benda-benda yang keras sekali, sedang kekuatan yang
paling lemah justru menguasai seluruh jagat raya, yaitu gravitasi.
Timbangan, dengan begitu, bekerja karena hukum jagat
raya. Barangsiapa yang curang dalam timbangan, sebetulnya ia melanggar hukum
kosmos, hukum seluruh jagat raya, sehingga menimbulkan dosa besar sekali, yaitu
dosa ketidakadilan. Program-program ad hoc-nya memiliki wujud banyak
sekali, seperti menyantuni anak yatim, mendirikan rumah jompo, dan seterusnya,
yang semuanya berada dalam target menegakkan keadilan sosial. Program-program
itu sulit dicapai karena umumnya orang tidak mau melakukannya. Dalam beragama,
manusia biasanya mengambil yang paling gampang meskipun dengan risiko disalahpahami.
Misalnya shalat; naik haji, yang sekarang ada fasilitas-fasilitas VIP, bahkan
ada restoran KFC, dan sebagainya. Pendeknya, Makkah sekarang ini mirip sekali
dengan Paris. Tetapi Al-Quran mengatakan, Tetapi dia tak menempuh jalan yang
terjal. Dan apa yang akan menjelaskan kepadamu apa jalan yang terjal? (Yaitu)
membebaskan perbudakan. Atau memberi makan dalam sehari orang yang dalam
kelaparan. Anak yatim yang dalam pertalian kerabat. Atau orang miskin
(bergelimang) di atas debu (Q., 90: 11-16). Terjemahan kontemporernya kemungkinan
adalah, membebaskan orang dari belenggu kemiskinan struktural; atau, memberi
makan pada waktu kesulitan makanan; atau juga, menyantuni orang-orang
yang tidur di tanah dan di kolong jembatan.
Dalam masalah ini, orang Islam mungkin harus mengelus dada, mengapa misalnya hadiah Nobel diberikan kepada Ibu Theressa, orang yang persis seperti digambarkan dalam Al-Quran. Orang Islam belum ada yang mendapatkan hadiah Nobel semacam itu. Sebetulnya itulah yang disebut ‘aqabah, jalan yang sulit. Sementara itu, keberagamaan kita sekarang ini cenderung memilih yang gampang-gampang saja, padahal Tuhan menggugat kita. Ini yang kita kaitkan dengan masalah keadilan.
Dari sudut pandang ini pula, kita bisa memahami mengapa Baghdad jatuh atau mengapa seluruh dunia Islam dijajah, kecuali Afghanistan (yang terakhir ini memang bisa berbangga karena mereka adalah bangsa Muslim yang tidak pernah dijajah, tetapi juga yang paling mundur dan paling rusak sekarang ini). Dari sinilah harus dilihat beroperasinya sunnatullah, yang harus dipelajari dalam sejarah.
0 Comment