PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Sabtu, 11 Februari 2023

 


ADIL DALAM PENGGUNAAN KEKAYAAN

Arti semula kata ‘adl (bahasa Arab) ialah sesuatu yang sedang, se­imbang, atau wajar. Begitu pula, arti kata just (bahasa Inggris) ialah wajar, dan dengan demikian, arti justice (keadilan) ialah kewajaran. Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus. Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku.

Dengan demikian, orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama.

Penilaian, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya berdasar pada kebenaran walaupun kepada diri sendiri, saat di mana berperilaku adil terasa berat dan sulit.

Kedua, keadilan adalah milik seluruh umat manusia tanpa memandang suku, agama, status jabatan ataupun strata sosial.

Ketiga, di bidang yang selain persoalan hukum, keadilan bermakna bahwa seseorang harus dapat membuat penilaian obyektif dan kritis kepada siapapun. Mengakui adanya kebenaran, kebaikan dan hal-hal positif yang dimiliki kalangan lain yang berbeda agama, suku dan bangsa dan dengan lapang dada membuka diri untuk belajar serta dengan bijaksana memandang kelemahan dan sisi-sisi negatif mereka.

Perilaku adil, sebagaimana disinggung di muka, merupakan salah satu tiket untuk mendapat kepercayaan orang; untuk mendapatkan reputasi yang baik. Karena dengan reputasi yang baik itulah kita akan memiliki otoritas untuk berbagi dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dengan orang lain. Tanpa itu, kebaikan apapun yang kita bagi dan sampaikan hanya akan masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan. Karena, perilaku adil itu identik dengan konsistensi antara perilaku dan perkataan

Pola penggunaan kekayaan ha­rus juga adil, sehingga kekayaan me­menuhi kewajaran: suatu keada­an yang dapat diterima oleh semua orang dengan penuh kerelaan dan ke­legaan. Pola tersebut ialah pola prihatin. Dalam kepribadian dan ke­­prihatinan terdapat unsur dan se­mangat solidaritas sosial: suatu si­kap yang selalu memperhitungkan dan memperhatikan keadaan dan ke­pentingan orang banyak; tidak egois atau berpusat pada diri sen­diri. Dengan keprihatinan, harta kita sendiri digunakan sesuai de­ngan ke­butuh­an hidup yang wajar, tak lebih dan tak kurang, menyisih­kan se­ba­gian untuk mendorong pro­­duktifitas ma­syarakat (um­­pama­nya, dengan sistem tabungan), dan mengeluarkan sebagian lagi untuk kepentingan langsung sosial. De­ngan menekan penampakkan men­colok kekayaan, maka satu lagi hal bisa didapat: mengurangi sum­ber ketegangan-ketegangan sosial yang amat ber­ba­haya.

Tentang pola prihatin ekonomi ini, agama memberi petunjuk se­per­ti tertera dalam firman-Nya, Dan mereka (orang-orang beriman), jika menggunakan harta mereka, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan, berada di antara keduanya (Q., 25: 67).


Wajarlah bila kita, bangsa Indo­nesia, menempuh cara hidup priha­tin dan disertai solidaritas sosial sebagai salah satu jalan me­nuju Keadilan Sosial. Sebab Bebe­rapa negara telah menempuh jalan se­macam itu.

Adil dan Ihsan

 Dinyatakan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan berbuat adil, me­ngerjakan amal kebaikan, ber­murah hati kepada kerabat dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan kekejaman. Ia meng­ajar­kan kamu supaya menjadi pe­ringatan bagimu (Q., 16: 90).

Adil (al-‘adl) dalam ayat di atas adalah tindakan mengatakan bahwa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Tetapi di samping itu juga harus ada al-ihsân, yaitu meng­akui kebaikan orang apabila orang itu betul-betul baik. Sebab tidak ada orang yang sepenuhnya buruk, sebagaimana tidak ada orang yang sepenuhnya baik. Surga dan neraka telah dijanjikan Allah Swt. ber­kaitan dengan, Maka barang siapa timbangannya (amal kebaikannya) berat. Akan hidup bahagia. Tetapi barang siapa timbangannya (amal kebaikannya) ringan. Maka tempat ting­galnya lubang yang paling da­lam. Dan apa yang akan menje­laskan kepadamu apa itu? (Itulah) api yang membara (Q., 101: 6-11).

Jadi, tidak ada orang yang sera­tus persen baik tanpa cacat. Demi­kian juga tidak ada orang yang seratus persen buruk tanpa kebaik­an. Maka kutipan ayat (Q., 16: 90) di atas adalah untuk mengingatkan kepada kita semua agar tidak mela­kukan generalisasi secara seram­pangan. Kita harus adil sebagai­mana Allah juga adil kepada kita. Kita juga harus melakukan ihsan, sebagaimana Allah telah melakukan ihsan kepada kita.

ADIL DAN SEIMBANG

Dalam Q., 42: 38-43, Al-Quran menggambarkan bagaimana umat Islam harus bertindak seimbang dan adil di muka bumi ini. Re­nung­an atas ayat ini juga bisa mem­berikan kearifan tindakan bagi kita dalam memecahkan masalah-ma­salah sosial yang dihadapi umat Islam, dalam kaitan dengan ke­rumit­an hubungan antaragama yang sedang kita hadapi. Kita kutip terlebih dahulu terjemah ayat Al-Quran tersebut: Dan mereka yang memenuhi seruan Tuhan dan men­diri­kan shalat, dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka, dan mereka infakkan seba­gian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan bila ada per­buatan sewenang-wenang menimpa mereka, mereka membela diri. Balas­an atas suatu kejahatan, adalah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa dapat memberi maaf dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah. Sungguh, Ia tak menyukai orang yang berbuat zalim. Tetapi sungguh barangsiapa membela diri setelah dianiaya, tak ada alasan menyalahkan mereka. Kesalahan hanyalah pada mereka yang menganiaya manusia, dan melanggar batas di bumi tanpa sebab. Bagi mereka itulah azab yang pedih. Tetapi sungguh, barangsiapa mau sabar dan memberi maaf, sungguh itulah sikap yang terbaik.

Mari kita renungkan ayat ter­sebut dimulai dengan perkataan mereka yang memenuhi seruan Tuhan, mendirikan shalat, dan memusyawarahkan atas apa saja ma­salah yang dihadapi. Musyawarah dalam ayat ini mendapatkan per­hatian utama, sebagai prinsip ke­hidupan sosial-politik yang benar, mulai dari rumah tangga atau keluarga, kehidupan bermasyarakat, hingga hubungan kenegaraan. Musyawarah pun menjadi kata kunci surat tersebut (surat Al-Syûrâ, surat mengenai musyawarah). Prin­sip musyawarah ini juga yang telah dipraktikkan secara sangat ekspresif oleh Nabi Saw. sehingga dapat menjadi model bagi kaum Muslim untuk mengerti kehidupan modern mengenai demokrasi, sesuai dengan asas partisipatif-egaliter.

Tetapi, jika musyawarah ini tidak bisa dicapai, dan kaum Mus­lim—hak-hak pribadi maupun kolektifnya—merasa diinjak-injak, ma­ka mereka diperbolehkan ber­ta­han dan membalas demi membela  kebenaran. Balasan atas suatu keja­hat­an, adalah kejahatan yang setim­pal. Tetapi dalam membela diri, dan membalas atas hak-hak pribadi maupun kolektif yang diinjak-injak itu, kaum Muslim diingatkan un­tuk tidak boleh melebihi dari kezaliman yang dideritanya, sehing­ga menjadi bentuk  balas-dendam. Karena itulah, menghindari bentuk balas dendam yang dapat menim­bulkan kezaliman, Al-Quran mem­beri jalan keluar, bahwa yang ideal itu bukan balas dendam tetapi mengikuti cara yang lebih baik ke arah kerukunan kembali dengan orang-orang yang melakukan pe­langgaran. Inilah langkah moral terbaik dari ajaran agama, yang mem­balik sikap permusuhan men­ja­di persahabatan dan per­sau­daraan, yang penuh dengan maaf dan rasa kasih sayang. Dari segi Agama, Allah lebih meridlai sikap persahabatan, persaudaraan, maaf dan rasa kasih-sayang daripada permusuhan dan balas dendam tak berkesudahan. Barangsiapa dapat memberi maaf dan menciptakan perdamaian, maka balasannya dari Allah. Walaupun Al-Quran juga menegaskan, Barangsiapa membela diri setelah dianiaya, tak ada alasan menyalahkan mereka. Kesalahan hanyalah pada mereka yang meng­aniaya manusia, dan melanggar batas di bumi tanpa sebab. Bagi me­reka itulah azab yang pedih. Tetapi tetap, pada akhirnya, “Sungguh, barangsiapa mau sabar dan mem­beri maaf, sungguh itulah sikap yang terbaik”

Maka dari itu menjadi orang Islam yang menegakkan “jalan tengah”—sebagai saksi, sebagai umat terbaik—itu sulit. Sebab kita harus tahu, kapan harus membela diri dengan menghancurkan musuh yang telah meng­aniaya kita, tapi kita juga harus tahu, kapan ha­rus bersabar dan memaafkan. Ini­lah yang harus kita minta setiap hari kepada Allah Swt. sebanyak 17 kali melalui raka­at-rakaat shalat wajib, “Ihdinâ ‘l-shirâtha ‘l-mustaqîm” (Tunjukilah kami ke jalan yang lurus). Menurut ajaran agama, mempertahankan diri itu boleh, membalas boleh, tapi membalas secara berlebihan itu zalim. Dan dari sejarah kita belajar, setiap pembalasan cenderung sering ber­lebihan. Daripada membalas ber­lebihan, agama mengajarkan lebih baik berdamai. Kalau kita hanya menonjolkan yang keras, maka Allah memperingatkan ja­ngan-jangan kamu nanti zalim; tapi kalau kita hanya bisa memaafkan, akibat ke­tidakpedualian kita pada per­soalan kezaliman yang sesung­guhnya, maka kita nanti terje­rembab dalam kelembekan moral, dan hukum tidak berjalan dalam ma­syarakat, sehingga masyarakat ditandai oleh tidak adanya hukum yang menegakkan pembeda antara yang benar dan salah.

Maka kita petik hikmah ayat di atas, bahwa bersabar dan memberi maaf memang le­bih berat di­ja­lan­­kan, daripada mem­perlakukan orang dengan ka­sar dan keras untuk mem­ba­las-dendam, de­ngan meng­hu­kum mereka yang bersalah. Sebab menurut Al-Quran, ber­sabar dan memberi maaf itu adalah bentuk keberanian, pemecahan masalah yang paling tinggi dan mulia. Karena itu adalah bagian dari fitrah manusia—yaitu ketika kembali kepada kesucian asal kita—kita pun kembali kepada dâr al-salâm (Darussalam)  kampung perdamaian, Pacem in Terris, sehing­ga dapat tercapai damai di bumi, dan berbahagialah seluruh umat manusia.

ADIL

Isu peradaban ialah keadilan, al-‘adâlah, al-‘adl. Dalam Al-Quran disebut juga al-qishth atau al-mîzân (keseimbangan). Dalam surat Al-Rahmân, kata-kata mîzân memang dikaitkan dengan keadilan, Dan langit Ia tinggikan, dan Ia letakkan neraca (keadilan) (Q., 55: 7). Di sini Tuhan berbicara tentang ma­kro-kosmos, bahwa seluruh alam raya dikuasai oleh hukum keseim­bangan, sehingga arti sebenarnya ‘adl ialah keseimbangan, yaitu konsep tentang tengah. Maka bang­un dari ruku’ dalam shalat disebut i‘tidâl, karena menengahi seluruh proses shalat sejak dari takbir sampai sujud. Al-Quran mengata­kan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh hukum keseimbang­an, karena itu manusia dilarang melanggar prinsip keseimbangan. Setelah bi­cara tentang jagat raya, ada perintah kepada hal yang sangat praktis, yaitu ke pasar, menyangkut tim­bangan. Dalam Al-Quran, ada perintah kepada manusia untuk menepati timbangan-timbangan itu dengan jujur dan dilarang curang dalam menimbang.

Timbangan di pasar sebenarnya adalah realisasi dari bekerjanya hukum gravitasi. Artinya, ia bekerja mengikuti hukum yang menguasai seluruh jagat raya. Einstein menga­ta­kan bahwa kekuatan yang paling dahsyat terdapat pada benda kecil, yaitu atom bersama dengan atom ke­mudian berangkulan satu sama lain dan menjadi benda-benda yang keras sekali, sedang kekuatan yang paling lemah justru menguasai seluruh jagat raya, yaitu gravitasi.

Timbangan, dengan begitu, bekerja karena hukum jagat raya. Barangsiapa yang curang dalam timbangan, sebetulnya ia melanggar hukum kosmos, hukum seluruh jagat raya, sehingga menimbulkan dosa besar sekali, yaitu dosa ke­tidak­adilan. Program-program ad hoc-nya memiliki wujud banyak sekali, seperti menyantuni anak yatim, mendirikan rumah jompo, dan seterusnya, yang semuanya berada dalam target menegakkan keadilan sosial. Program-program itu sulit dicapai karena umumnya orang tidak mau melakukannya. Dalam beragama, manusia biasanya mengambil yang paling gampang meskipun dengan risiko disalah­pahami. Misalnya shalat; naik haji, yang sekarang ada fasilitas-fasilitas VIP, bahkan ada restoran KFC, dan sebagainya. Pendeknya, Makkah sekarang ini mirip sekali dengan Paris. Tetapi Al-Quran mengatakan, Tetapi dia tak menempuh jalan yang terjal. Dan apa yang akan menjelas­kan kepadamu apa jalan yang terjal? (Yaitu) membebaskan perbudakan. Atau memberi makan dalam sehari orang yang dalam kelaparan. Anak yatim yang dalam pertalian kerabat. Atau orang miskin (bergelimang) di atas debu (Q., 90: 11-16). Ter­jemahan kontemporernya ke­mung­kin­an adalah, membebaskan orang dari belenggu kemiskinan struktural; atau, memberi makan pada waktu kesulitan makanan; atau juga, menyantuni orang-orang yang tidur di tanah dan di kolong jembatan.

Dalam masalah ini, orang Islam mungkin harus mengelus dada, meng­apa misalnya hadiah Nobel di­berikan kepada Ibu Theressa, orang yang persis seperti digam­bar­kan dalam Al-Quran. Orang Islam belum ada yang mendapatkan hadiah Nobel semacam itu. Se­be­tul­nya itulah yang disebut ‘aqabah, jalan yang sulit. Sementara itu, keberagamaan kita sekarang ini cenderung memilih yang gampang-gampang saja, padahal Tuhan meng­­­gugat kita. Ini yang kita kaitkan dengan masalah keadilan.

Dari sudut pandang ini pula, kita bisa memahami mengapa Baghdad jatuh atau mengapa selu­ruh dunia Islam dijajah, kecuali Afghanistan (yang terakhir ini me­mang bisa berbangga karena mereka adalah bangsa Muslim yang tidak pernah dijajah, tetapi juga yang paling mundur dan paling rusak sekarang ini). Dari sinilah harus dili­hat beroperasinya sunnatullah, yang harus dipelajari dalam sejarah. 

0 Comment