PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

AGAMA ANTI-PELUKISAN

Karena sifatnya yang amythical dan anti-sacramentalism, Islam adalah agama yang sangat an­tipelukisan atau penggambaran obyek-obyek kepercayaan seperti Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka, Setan, bahkan para Nabi. Lebih-lebih berkenaan dengan Tuhan dan alam gaib, ikonoklasme Islam sedikit pun tidak berkompromi. Hal ini agak sedikit berbeda berke­na­an dengan para Nabi dan tokoh-tokoh lain, akibat pengaruh budaya Asia Tengah. Namun hal itu terjadi tanpa sedikit pun tanggapan mito­logis, yakni hanya dalam batas nilai seni yang dekoratif dan ornamental belaka, seperti dapat dilihat dengan jelas pada banyak seni lukis minia­tur dalam kitab-kitab kesusastraan dan ilmu pengetahuan Islam klasik, ter­utama yang datang dari Persia dan Transoksiana.

Campbell mengatakan bahwa Islam, setelah mengembangkan ilmu pengetahuan selama lima atau enam abad, akhirnya memusuhi ilmu pengetahuan tersebut, sehing­ga mengakibatkan kematian ilmu pengetahuan dan agama Islam itu sen­diri. Tentu Campbell sangat berlebihan, jika bukannya keliru, dengan pernyataannya tersebut. Ilmu pengetahuan Islam mati bu­kan terutama karena dimusuhi oleh umat Islam sendiri (hanya sebagian kecil saja dari umat Islam yang benar-benar secara serius dan kon­sep­sional memusuhi ilmu penge­tahuan). Barangkali tesis Robert N. Bellah mengenai masyarakat Islam klasik dapat dipinjam dan diterap­kan di sini. Bellah mengatakan bahwa Islam klasik, di bidang kon­sep sosial-politiknya, menurut ukur­an tempat dan zamannya, adalah sangat mo­­­dern. Justru terlalu modern untuk dapat ber­hasil (It was too modern to suc­ceed). Timur Te­ngah waktu itu, kata Bellah, be­lum mempunyai prasarana sosial untuk men­du­kung modernitas Islam. Karena itu sistem dan konsep yang sangat modern itu pun gagal, dan ke­khali­fahan yang bijaksana (al-khilâfah al-râsyidah) yang terbu­ka di Madînah digantikan oleh ke­khalifahan Uma­wî yang tertutup di Damaskus.

 Agama Bebas Mitos

Di balik hijrah, terdapat nilai-nilai yang luar biasa luhurnya untuk menjadi bekal bagi kebangkitan Islam. Memang, pada abad seka­rang ini, yaitu pada abad ke-15 Hijri­ah atau menjelang abad ke-21 Masehi, seluruh dunia ditandai oleh kebangkitan Islam. Tidak hanya di negeri-negeri Muslim, tetapi juga di negeri-negeri non-Muslim. Di Prancis, misalnya, agama Islam su­dah menjadi agama nomor dua setelah agama Katholik dan menga­lah­kan agama Protestan. Gejala tersebut ada di mana-mana, ter­masuk di Ameri­ka.

Kenapa itu bi­sa terjadi? Ja­wa­­­ban­nya adalah karena dalam aga­ma Islam, se­ca­ra negatif, ti­dak ada mitologi atau bebas dari misteri-mis­teri atau mitologi mis­teri. Dalam Islam telah jelas bahwa, Dan janganlah kau ikut apa yang tidak kau ketahui (Q., 17: 36). Artinya, tidak ada mitologi dalam Islam, semuanya harus melalui pemikiran.

Inilah yang menyebabkan agama Islam diramalkan akan menjadi agama masa depan. Karya Emile Der­menghem, Muhammad and the Religious Tradition in Islam, meng­urai­kan bahwa kalau umat manusia ingin tetap modern, namun tetap ber­agama, maka agama yang harus dipilih ialah Islam, karena dalam Islam tidak ada mitologi dan mitos. Untuk itu, ilmu pengetahuan mer­u­pa­kan salah satu prasyarat yang mutlak dan sangat besar penga­ruhnya bagi kebangkitan Islam. Ini sesuai dengan pernyataan Nabi dalam sebuah Hadis, “Barang siapa menginginkan keunggulan di dunia, dia harus mempunyai ilmu, barang siapa menginginkan keunggulan di akhirat dia harus mempunyai ilmu, dan barang siapa menginginkan keunggulan di dunia dan akhirat dia harus berilmu”.

Awal mula dari ilmu penge­tahuan, sesuai dengan etos Al-Quran, ialah membaca. Sebelum Allah Swt. memerintahkan manusia untuk shalat, puasa, zakat, dan haji, yang diperintahkan pertama kali ialah iqra’ (bacalah!). Atas dasar ini, di mata para ahli Islam ialah agama melek huruf atau “The Religion of Literacy”. Artinya, di mana pun berada Islam selalu mengajarkan orang untuk bisa membaca, sehing­ga di Jawa orang Islam disebut santri, yang menurut para ahli, sebetulnya berasal dari perkataan Sanskerta “sastri”, artinya orang yang tahu baca-tulis.

AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRI

Terdapat common sense menge­nai masa depan agama dalam suatu masyarakat industrial, yang dicer­minkan oleh percakapan sehari-hari, bahwa industrialisasi dan mo­dernisasi merupakan ancaman ter­hadap religiusitas. Meskipun peni­lai­an itu sering disertai dengan banyak contoh kasus, namun tidak berarti ia mengandung kebenaran yang bersifat menyeluruh.

Memang benar bahwa bentuk-bentuk perubahan sosial yang me­nyer­tai proses industrialisasi telah mempengaruhi secara negatif ke­hidup­an keagamaan. Misalnya, bah­wa, dalam masyarakat industri, peranan pengelompokan sekunder semakin menggeser pengelompok­kan primer. Adapun yang termasuk pengelompokkan sekunder ialah unit dan organissai kerja atau pro­duksi, sedangkan kelompok primer ialah keluarga, suku, agama dan sebagainya. Sifat kelompok sekun­der adalah gesellschaft, sedangkan yang primer adalah gemeinschaft. Dengan perkataan lain, formalitas, zaklijkheid dan rasionalitas semakin menggeser keakraban, kekeluargaan dan afektivitas. Karena itu melalui berbagai sebab, peranan orang tua, khu­susnya ayah, sebagai agen sosia­lis anak, akan semakin berkurang untuk digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang lain, misalnya sekolah dan pergaulan. Hal ini tentu mempunyai pengaruh dalam bentuk pengenduran pola-pola religiusitas tertentu.

Tetapi, pergeseran religiusitas dalam masyarakat industrial teruta­ma disebabkan oleh semakin domi­nan­nya peranan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun lainnya, adalah bentuk kesadaran seseorang tentang ling­kungannya, baik yang jauh maupun yang dekat, serta pengetahuan atau penguasaannya atas masalah-masa­lah yang ada. Hal itu berarti paling tidak semakin sempitnya daerah kegaiban atau misteri. Padahal, sebagaimana telah diterangkan, tindakan keagamaan dilakukan karena pengakuan adanya kenyata­an supra-empiris atau gaib dan misteri.

Berkaitan dengan konsep ke­gaib­­an atau misteri itu ialah pera­sa­an tidak berdaya manusia meng­hadapi kenyataan-kenyataan yang di­perkirakan tidak akan mampu dimengerti. Pada masyarakat yang di­dominasi oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan, suatu terra incognita akan menyuguhkan tantangan untuk diselidiki dan dibongkar rahasianya. Tetapi, pada masyarakat lain, ketidakberdayaan manusia meng­hadapi alam telah melahirkan konsep dan tindakan yang bersifat religius magistis. Memuja suatu obyek alam yang dianggap memi­liki rahasia dan keagungan dapat di­lihat sebagai lompatan jauh seorang ma­nusia dalam usahanya menun­dukkan obyek tersebut untuk ke­pen­tingan dirinya. Sedangkan jalan yang wajar (bukan loncatan jauh) ialah meneliti, menyelidiki dan mempelajari obyek tersebut.

Jadi, proses industrialisasi akan membawa serta akibat menurunnya religio-magisme yang, untuk seba­gian masyarakat, merupakan reli­giusitas itu sendiri. Karena itu, bagi mereka ini, industrialisasi memero­sot­kan religiusitas.

Tetapi, bagi masyarakat lain, indus­trialisasi dan modernisasi mung­kin justru menopang dan meningkatkan religiusitas. Seperti telah diungkapkan mengenai empat dimensi religiusitas, bahwa religiusi­tas yang paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya in­trin­sik, atau cultural consumatory. Yaitu sikap keagamaan yang me­man­dang kepercayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, yang menimbulkan perasaan baha­gia karena nilai intrinsiknya. Reli­giusitas dalam dimensi ini tidak mengharapkan kegunaan di luar imannya sendiri. Dimensi religiusi­tas inilah yang agaknya akan sema­kin diperkuat oleh adanya pola-pola hubungan masyarakat industrial. Karena hal-hal yang bernilai instru­mental telah dengan melimpah disediakan oleh struktur dan pola masyarakat industrial itu, maka agama menjadi semakin murni, dalam arti bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. (Contoh sederhana ialah, karena “instrumen” untuk mem­berantas hama tanaman dalam suatu masyarakat industrial telah disediakan oleh ilmu dan tekno­logi—misalnya dalam bentuk in­sek­tisida—maka orang akan sema­kin berkurang men­dekati Tu­han—mi­sal­nya dalam ben­tuk do­a—dengan tu­juan agar ta­na­mannya di sawah tidak terkena ha­ma; ia mung­­­kin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sum­ber kebahagiaan).

Jadi, religiusitas yang tidak terancam oleh proses industrialisasi  dan modernisasi, malahan mem­per­oleh dukungan dan pengukuhan, merupakan religiusitas yang bebas dari magisme, yaitu naturalisasi tindakan-tindakan manusia (physio­morphism of man). Tetapi, syarat lainnya ialah religiusitas itu harus bersandar kepada konsep wujud supra-empiris yang tidak akan ber­geser menjadi empiris. Dengan perkataan lain, sumber kepercayaan dan nilai keagamaannya harus dapat dijamin bahwa ia tidak akan dapat dimengerti manusia dan diketahui rahasia-rahasianya.

Apakah ada kenyataan serupa itu? Seorang penganut filsafat ma­terialisme (komunisme) akan me­ng­atakan tidak ada. Sebab, dengan kecerdasannya, manusia, menurut filsafat itu, selalu mempunyai po­tensi untuk me­mahami dan  mem­­buka ke­nya­taan apa saja dalam alam raya ini. Suatu obyek yang dahu­lu di­anggap agung dan penuh mis­te­ri atau kegaiban sehingga patut dipuja, misalnya matahari, kini sudah semakin dipahami ma­nu­sia dan terbuka rahasia-rahasia­nya. Matahari telah berhenti seba­gai kenyataan supra-empiris, dan hanya menjadi obyek empiris biasa, se­hingga tidak pantas lagi manusia menyembahnya. Maka, bagi se­se­orang yang religiusitasnya berkaitan dengan konsep kegaiban matahari, proses industrialisasi dan moderni­sasi benar-benar telah meng­hapus­kan sama sekali religiusitas itu.

Teori komunis itu masih harus ditunggu bukti kebenarannya sam­pai dengan lengkapnya pengalaman manusia dan pengetahuannya yang meliputi segala wujud di jagad raya ini. Tetapi, di sinilah letak para­doks­nya: justru suatu kenyataan di­sebut supra-empiris karena ia ti­dak mungkin dibuktikan ada-tidaknya melalui prosedur dan norma empi­ris. Manifestasi tunggal adanya kenyataan supra-empiris itu hanya dirasakan oleh mereka yang meya­kini dan menerima dengan sung­guh-sungguh ajaran tentang adanya kenyataan itu. Hal ini membawa kita ke ungkapan sederhana, namun mungkin sekali mengandung ke­benar­an yang bersifar prinsipal, bahwa ada atau tidak adanya reli­giusi­tas, baik di masyarakat indus­trial maupun lainnya, tergantung kepada kegiatan penanaman iman oleh masyarakat bersangkutan, yaitu pendidikan keagamaan pada umum­nya. 

0 Comment