Karena sifatnya yang amythical dan anti-sacramentalism, Islam adalah agama yang sangat antipelukisan atau penggambaran obyek-obyek kepercayaan seperti Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka, Setan, bahkan para Nabi. Lebih-lebih berkenaan dengan Tuhan dan alam gaib, ikonoklasme Islam sedikit pun tidak berkompromi. Hal ini agak sedikit berbeda berkenaan dengan para Nabi dan tokoh-tokoh lain, akibat pengaruh budaya Asia Tengah. Namun hal itu terjadi tanpa sedikit pun tanggapan mitologis, yakni hanya dalam batas nilai seni yang dekoratif dan ornamental belaka, seperti dapat dilihat dengan jelas pada banyak seni lukis miniatur dalam kitab-kitab kesusastraan dan ilmu pengetahuan Islam klasik, terutama yang datang dari Persia dan Transoksiana.
Campbell mengatakan bahwa Islam, setelah mengembangkan
ilmu pengetahuan selama lima atau enam abad, akhirnya memusuhi ilmu pengetahuan
tersebut, sehingga mengakibatkan kematian ilmu pengetahuan dan agama Islam itu
sendiri. Tentu Campbell sangat berlebihan, jika bukannya keliru, dengan
pernyataannya tersebut. Ilmu pengetahuan Islam mati bukan terutama karena
dimusuhi oleh umat Islam sendiri (hanya sebagian kecil saja dari umat Islam
yang benar-benar secara serius dan konsepsional memusuhi ilmu pengetahuan).
Barangkali tesis Robert N. Bellah mengenai masyarakat Islam klasik dapat
dipinjam dan diterapkan di sini. Bellah mengatakan bahwa Islam klasik, di
bidang konsep sosial-politiknya, menurut ukuran tempat dan zamannya, adalah
sangat modern. Justru terlalu modern untuk dapat berhasil (It was too
modern to succeed). Timur Tengah waktu itu, kata Bellah, belum mempunyai
prasarana sosial untuk mendukung modernitas Islam. Karena itu sistem dan
konsep yang sangat modern itu pun gagal, dan kekhalifahan yang bijaksana (al-khilâfah
al-râsyidah) yang terbuka di Madînah digantikan oleh kekhalifahan Umawî
yang tertutup di Damaskus.
Di balik hijrah, terdapat nilai-nilai yang luar biasa
luhurnya untuk menjadi bekal bagi kebangkitan Islam. Memang, pada abad sekarang
ini, yaitu pada abad ke-15 Hijriah atau menjelang abad ke-21 Masehi, seluruh
dunia ditandai oleh kebangkitan Islam. Tidak hanya di negeri-negeri Muslim,
tetapi juga di negeri-negeri non-Muslim. Di Prancis, misalnya, agama Islam sudah
menjadi agama nomor dua setelah agama Katholik dan mengalahkan agama
Protestan. Gejala tersebut ada di mana-mana, termasuk di Amerika.
Kenapa itu bisa terjadi? Jawabannya adalah
karena dalam agama Islam, secara negatif, tidak ada mitologi atau bebas
dari misteri-misteri atau mitologi misteri. Dalam Islam telah jelas bahwa, Dan
janganlah kau ikut apa yang tidak kau ketahui (Q., 17: 36). Artinya, tidak
ada mitologi dalam Islam, semuanya harus melalui pemikiran.
Inilah yang menyebabkan agama Islam diramalkan akan
menjadi agama masa depan. Karya Emile Dermenghem, Muhammad and the
Religious Tradition in Islam, menguraikan bahwa kalau umat manusia ingin
tetap modern, namun tetap beragama, maka agama yang harus dipilih ialah Islam,
karena dalam Islam tidak ada mitologi dan mitos. Untuk itu, ilmu pengetahuan
merupakan salah satu prasyarat yang mutlak dan sangat besar pengaruhnya
bagi kebangkitan Islam. Ini sesuai dengan pernyataan Nabi dalam sebuah Hadis, “Barang
siapa menginginkan keunggulan di dunia, dia harus mempunyai ilmu, barang siapa
menginginkan keunggulan di akhirat dia harus mempunyai ilmu, dan barang siapa
menginginkan keunggulan di dunia dan akhirat dia harus berilmu”.
Awal mula dari ilmu pengetahuan, sesuai dengan etos
Al-Quran, ialah membaca. Sebelum Allah Swt. memerintahkan manusia untuk shalat,
puasa, zakat, dan haji, yang diperintahkan pertama kali ialah iqra’ (bacalah!).
Atas dasar ini, di mata para ahli Islam ialah agama melek huruf atau “The
Religion of Literacy”. Artinya, di mana pun berada Islam selalu mengajarkan
orang untuk bisa membaca, sehingga di Jawa orang Islam disebut santri, yang menurut
para ahli, sebetulnya berasal dari perkataan Sanskerta “sastri”, artinya
orang yang tahu baca-tulis.
AGAMA DALAM MASYARAKAT INDUSTRI
Terdapat common sense mengenai masa depan
agama dalam suatu masyarakat industrial, yang dicerminkan oleh percakapan
sehari-hari, bahwa industrialisasi dan modernisasi merupakan ancaman terhadap
religiusitas. Meskipun penilaian itu sering disertai dengan banyak contoh
kasus, namun tidak berarti ia mengandung kebenaran yang bersifat menyeluruh.
Memang benar bahwa bentuk-bentuk perubahan sosial yang
menyertai proses industrialisasi telah mempengaruhi secara negatif kehidupan
keagamaan. Misalnya, bahwa, dalam masyarakat industri, peranan pengelompokan
sekunder semakin menggeser pengelompokkan primer. Adapun yang termasuk
pengelompokkan sekunder ialah unit dan organissai kerja atau produksi,
sedangkan kelompok primer ialah keluarga, suku, agama dan sebagainya. Sifat
kelompok sekunder adalah gesellschaft, sedangkan yang primer adalah gemeinschaft.
Dengan perkataan lain, formalitas, zaklijkheid dan rasionalitas semakin
menggeser keakraban, kekeluargaan dan afektivitas. Karena itu melalui berbagai
sebab, peranan orang tua, khususnya ayah, sebagai agen sosialis anak, akan
semakin berkurang untuk digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang
lain, misalnya sekolah dan pergaulan. Hal ini tentu mempunyai pengaruh dalam
bentuk pengenduran pola-pola religiusitas tertentu.
Tetapi, pergeseran religiusitas dalam masyarakat
industrial terutama disebabkan oleh semakin dominannya peranan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun lainnya, adalah bentuk
kesadaran seseorang tentang lingkungannya, baik yang jauh maupun yang dekat,
serta pengetahuan atau penguasaannya atas masalah-masalah yang ada. Hal itu
berarti paling tidak semakin sempitnya daerah kegaiban atau misteri. Padahal,
sebagaimana telah diterangkan, tindakan keagamaan dilakukan karena pengakuan
adanya kenyataan supra-empiris atau gaib dan misteri.
Berkaitan dengan konsep kegaiban atau misteri itu
ialah perasaan tidak berdaya manusia menghadapi kenyataan-kenyataan yang diperkirakan
tidak akan mampu dimengerti. Pada masyarakat yang didominasi oleh nilai-nilai
ilmu pengetahuan, suatu terra incognita akan menyuguhkan tantangan untuk
diselidiki dan dibongkar rahasianya. Tetapi, pada masyarakat lain,
ketidakberdayaan manusia menghadapi alam telah melahirkan konsep dan tindakan
yang bersifat religius magistis. Memuja suatu obyek alam yang dianggap memiliki
rahasia dan keagungan dapat dilihat sebagai lompatan jauh seorang manusia
dalam usahanya menundukkan obyek tersebut untuk kepentingan dirinya.
Sedangkan jalan yang wajar (bukan loncatan jauh) ialah meneliti, menyelidiki
dan mempelajari obyek tersebut.
Jadi, proses industrialisasi akan membawa serta akibat
menurunnya religio-magisme yang, untuk sebagian masyarakat, merupakan religiusitas
itu sendiri. Karena itu, bagi mereka ini, industrialisasi memerosotkan religiusitas.
Tetapi, bagi masyarakat lain, industrialisasi dan
modernisasi mungkin justru menopang dan meningkatkan religiusitas. Seperti
telah diungkapkan mengenai empat dimensi religiusitas, bahwa religiusitas yang
paling murni dan sejati ialah yang berdimensi budaya intrinsik, atau cultural
consumatory. Yaitu sikap keagamaan yang memandang kepercayaan atau iman
sebagai tujuan pada dirinya sendiri, yang menimbulkan perasaan bahagia karena
nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengharapkan kegunaan
di luar imannya sendiri. Dimensi religiusitas inilah yang agaknya akan semakin
diperkuat oleh adanya pola-pola hubungan masyarakat industrial. Karena hal-hal
yang bernilai instrumental telah dengan melimpah disediakan oleh struktur dan pola
masyarakat industrial itu, maka agama menjadi semakin murni, dalam arti bahwa
keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. (Contoh sederhana
ialah, karena “instrumen” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu
masyarakat industrial telah disediakan oleh ilmu dan teknologi—misalnya dalam
bentuk insektisida—maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan—misalnya
dalam bentuk doa—dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama;
ia mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural
instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat
sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan).
Jadi, religiusitas yang tidak terancam oleh proses
industrialisasi dan modernisasi, malahan
memperoleh dukungan dan pengukuhan, merupakan religiusitas yang bebas dari
magisme, yaitu naturalisasi tindakan-tindakan manusia (physiomorphism of
man). Tetapi, syarat lainnya ialah religiusitas itu harus bersandar kepada
konsep wujud supra-empiris yang tidak akan bergeser menjadi empiris. Dengan
perkataan lain, sumber kepercayaan dan nilai keagamaannya harus dapat dijamin
bahwa ia tidak akan dapat dimengerti manusia dan diketahui rahasia-rahasianya.
Apakah ada kenyataan serupa itu? Seorang penganut
filsafat materialisme (komunisme) akan mengatakan tidak ada. Sebab, dengan
kecerdasannya, manusia, menurut filsafat itu, selalu mempunyai potensi untuk
memahami dan membuka kenyataan apa
saja dalam alam raya ini. Suatu obyek yang dahulu dianggap agung dan penuh
misteri atau kegaiban sehingga patut dipuja, misalnya matahari, kini sudah
semakin dipahami manusia dan terbuka rahasia-rahasianya. Matahari telah
berhenti sebagai kenyataan supra-empiris, dan hanya menjadi obyek empiris
biasa, sehingga tidak pantas lagi manusia menyembahnya. Maka, bagi seseorang
yang religiusitasnya berkaitan dengan konsep kegaiban matahari, proses
industrialisasi dan modernisasi benar-benar telah menghapuskan sama sekali
religiusitas itu.
Teori komunis itu masih harus ditunggu bukti kebenarannya sampai dengan lengkapnya pengalaman manusia dan pengetahuannya yang meliputi segala wujud di jagad raya ini. Tetapi, di sinilah letak paradoksnya: justru suatu kenyataan disebut supra-empiris karena ia tidak mungkin dibuktikan ada-tidaknya melalui prosedur dan norma empiris. Manifestasi tunggal adanya kenyataan supra-empiris itu hanya dirasakan oleh mereka yang meyakini dan menerima dengan sungguh-sungguh ajaran tentang adanya kenyataan itu. Hal ini membawa kita ke ungkapan sederhana, namun mungkin sekali mengandung kebenaran yang bersifar prinsipal, bahwa ada atau tidak adanya religiusitas, baik di masyarakat industrial maupun lainnya, tergantung kepada kegiatan penanaman iman oleh masyarakat bersangkutan, yaitu pendidikan keagamaan pada umumnya.
0 Comment