AGAMA DAN AKHLAK
Surat Al-Mâ‘ûn memperingatkan kita bahwa beragama
dengan tulus tidaklah cukup hanya dengan mengerjakan segi-segi formal keagamaan
seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Keagamaan yang sejati menuntut
adanya wujud nyata konsekuensi ibadah, yaitu budi pekerti yang luhur, yang
dibidikkan oleh ibadah itu. Sebuah hadis yang amat terkenal mengisyaratkan
bahwa tujuan tugas suci atau risâlah dibangkitkannya Nabi Saw. adalah untuk menyempurnakan
berbagai keluhuran budi. Sejalan dengan ini Nabi juga menggambarkan bahwa di
antara semua kualitas manusia, tidak ada timbangan atau bobot nilai kebaikan
yang lebih erat daripada budi pekerti luhur. Lalu beliau menggambarkan
bahwa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga ialah takwa kepada
Allah dan keluhuran budi.
Penegasan-penegasan Nabi itu merupakan kelanjutan dari
ajaran Al-Quran tentang apa yang dinamakan nilai kebajikan (al-birr atau
amal saleh). Allah Swt. menegaskan, Kamu sekalian tidak akan memperoleh
kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari (harta) yang kamu cintai
(Q., 3: 92). Dan penegasan-Nya lagi yang lebih terinci, Bukanlah kebajikan
itu bahwa kamu menghadapkan mukamu ke timur dan ke barat. Tetapi kebajikan
ialah (jika) orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para malaikat,
kitab-kitab suci dan para nabi; dan orang yang mendermakan hartanya,
betapapun cinta orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, peminta-minta, dan
untuk membebaskan para budak; dan orang yang menepati janji jika membuat
janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan, kesusahan dan masa perang.
Mereka itulah orang-orang benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang
berbakti (bertakwa) (Q., 2: 177).
Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar
A. Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya: “Seakan untuk
menekankan lagi peringatan melawan formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran
yang indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan. Orang itu harus
menaati aturan-aturan yang membawa kebaikan, tapi ia harus memusatkan
pandangannya kepada cinta Tuhan dan cinta sesama manusia. Kita diberi empat
pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita harus memperlihatkannya
dalam tindakan-tindakan kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi
warga masyarakat yang baik, yang mendukung organisasi-organisasi sosial; dan
(4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala keadaan.
Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih dapat dipandang secara
terpisah. Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus menyadari
kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita menyadari itu, maka hal-hal besar menjadi
kecil di depan mata kita, segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini akan
tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat Hari Kemudian seolah-olah
terjadi sekarang ini. Kita juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan
ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari kita, melainkan datang dalam
pengalaman kita sendiri. Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai
nilai hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari motif-motif yang lain.
Dalam hal ini, juga, kewajiban kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud
jenjang yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim (termasuk siapa saja
yang tidak punya topangan hidup atau bantuan); orang yang benar-benar
memerlukan pertolongan tapi tidak pernah meminta (kewajiban kita menemukan
mereka itu, dan mereka didahulukan sebelum orang yang meminta, dan memang
berhak untuk meminta, yakni, bukan sekedar pengemis yang malas, tetapi orang
yang memerlukan bantuan dalam bentuk tertentu (kewajiban kita untuk tanggap
kepada mereka); dan budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat
dilakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan mereka). Perbudakan mengandung
berbagai bentuk yang tersembunyi dan berbahaya, dan semuanya tercakup di situ”.
Dalam menafsirkan firman itu, Muhammad Asad menegaskan
bahwa Al-Quran menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk
lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Disebutkan bahwa masalah menghadapkan
wajah ke arah ini atau itu dalam shalat adalah kelanjutan dari pembahasan
tentang kiblat dalam urutan ayat-ayat sebelumnya. Dan memang menghadapkan muka
ke arah tertentu dalam ibadah hanyalah bentuk formal lahiriah semata dari
sebuah amalan, sehingga tidak seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri, sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan.
Jadi, agama kita mengajarkan bahwa formalitas ritual
belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga
tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan,
sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru
sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal akan
sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Prinsip ini dipertegas oleh
Nabi Saw. dalam sebuah hadis mengenai dua wanita:
Abu Hurairah meriwayatkan prinsip penting yang
diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras kepada orang yang suka pamer
kebajikan palsu dan kemunafikan dalam menekuni segi-segi formal keagamaan.
Seseorang yang datang kepada Nabi dan menceritakan tentang seorang wanita yang
rajin mengerjakan shalat, puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menyakiti
sanak keluarganya. Maka Nabi Saw. bersabda, “Tempat dia di neraka!”.
Kemudian orang itu menceritakan tentang seorang wanita yang kedengarannya
jelek, karena ia melalaikan shalat dan puasa, namun ia rajin memberi pertolongan
kepada orang-orang sengsara, dan tidak pernah menyakiti hati sanak keluarganya.
Maka Rasul Saw. bersabda, “Tempat dia di surga!”.
Seorang tokoh Islam Indonesia, Prof. A. Mukti Ali,
pernah mengatakan bahwa orang-orang Muslim banyak yang lebih peka kepada
masalah-masalah keagamaan daripada masalah-masalah sosial. Yang dimaksud
ialah, banyak orang Islam yang lebih cepat bereaksi kepada gejala-gejala yang
dinilai menyimpang dari ketentuan lahiriah keagamaan, seperti soal pakaian
atau tingkah laku “tidak sopan” dan “tidak bermoral” tertentu, namun reaksi
kepada masalah-masalah kepincangan sosial seperti kemiskinan dan kezaliman
masih lemah. Maka hadis di atas dapat dirujuk sebagai sebuah ilustrasi tentang
apa yang dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak bahwa Nabi Saw.
justru lebih peka pada masalah-masalah sosial yang lebih substantif daripada
masalah-masalah formal keagamaan semata yang simbolik.
0 Comment