PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 

AGAMA DAN AKHLAK

Surat Al-Mâ‘ûn memperingat­kan kita bahwa beragama dengan tulus tidaklah cukup hanya dengan mengerjakan segi-segi formal keaga­ma­an seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Keagamaan yang sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi ibadah, yaitu budi pekerti yang luhur, yang dibidikkan oleh ibadah itu. Sebuah hadis yang amat terkenal mengisyaratkan bahwa tujuan tugas suci atau risâlah dibangkitkannya Nabi Saw. adalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. Sejalan dengan ini Nabi juga menggambarkan bahwa di antara semua kualitas manusia, tidak ada timbangan atau bobot nilai kebaikan yang lebih erat daripada budi pekerti luhur. Lalu beliau menggambarkan bahwa yang paling banyak menyebabkan manu­sia masuk surga ialah takwa kepada Allah dan keluhuran budi.

Penegasan-penegasan Nabi itu merupakan kelanjutan dari ajaran Al-Quran tentang apa yang dina­ma­kan nilai kebajikan (al-birr atau amal saleh). Allah Swt. mene­gaskan, Kamu sekalian tidak akan mem­peroleh kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian dari (harta) yang kamu cintai (Q., 3: 92). Dan penegasan-Nya lagi yang lebih terinci, Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan muka­mu ke timur dan ke barat. Tetapi kebajikan ialah (jika) orang yang beriman kepada Allah, Hari kemu­dian, para malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi; dan orang yang men­der­makan hartanya, betapapun cinta orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para budak; dan orang yang menepati janji jika mem­buat janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan, kesusahan dan masa perang. Mereka itulah orang-orang benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang berbakti (bertakwa) (Q., 2: 177).

Dalam kaitan itu menarik sekali memperhatikan komentar A. Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya: “Seakan untuk menekankan lagi peringatan mela­wan formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan. Orang itu harus menaati aturan­-aturan yang mem­bawa kebaikan, tapi ia harus me­mu­satkan pandangannya kepada cinta Tuhan dan cinta sesama ma­nusia. Kita diberi empat pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala keadaan. Keempat pokok itu saling ber­kaitan, tapi masih dapat dipandang secara terpisah. Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita me­nyadari itu, maka hal-hal besar menjadi kecil di depan mata kita, segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini akan tidak lagi mem­perbudak kita, sebab kita melihat Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini. Kita juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari kita, melainkan datang dalam pe­nga­laman kita sendiri. Tindakan-tin­dakan derma yang praktis mem­punyai nilai hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari motif-motif yang lain. Dalam hal ini, juga, kewajiban kita dapat berben­tuk berbagai macam, berujud jen­jang yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim (termasuk siapa saja yang tidak punya topang­an hidup atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan perto­long­an tapi tidak pernah meminta (kewajiban kita menemukan mere­ka itu, dan mereka didahulukan sebelum orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta, yakni, bukan sekedar pengemis yang malas, tetapi orang yang me­merlukan bantuan dalam bentuk tertentu (kewajiban kita untuk tang­gap kepada mereka); dan bu­dak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat dilakukan un­tuk memberi atau membeli kemer­dekaan mereka). Perbudakan me­ngan­dung berbagai bentuk yang tersembunyi dan berbahaya, dan semuanya tercakup di situ”.

Dalam menafsirkan firman itu, Muhammad Asad menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prin­sip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Disebutkan bahwa masalah meng­ha­dap­kan wajah ke arah ini atau itu dalam shalat adalah kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan ayat-ayat sebelumnya. Dan memang menghadapkan muka ke arah tertentu dalam ibadah hanya­lah bentuk formal lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak seharusnya dipandang dalam ke­rang­ka sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan.

Jadi, agama kita mengajarkan bah­wa formalitas ritual belaka tidak­lah cukup sebagai wujud ke­agamaan yang be­nar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan meng­hantarkan kita me­­­nuju keba­ha­giaan, sebelum ki­ta meng­isinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru sikap-sikap mem­batasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal akan sama de­ngan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Prinsip ini dipertegas oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadis mengenai dua wanita:

Abu Hurairah meriwayatkan prinsip penting yang diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras kepada orang yang suka pamer kebajikan palsu dan kemu­nafikan dalam menekuni segi-segi formal keagamaan. Seseorang yang datang kepada Nabi dan mencerita­kan tentang seorang wanita yang rajin mengerjakan shalat, puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menya­kiti sanak keluarganya. Maka Nabi Saw. bersabda, “Tempat dia di neraka!”. Kemudian orang itu men­ceritakan tentang seorang wanita yang kedengarannya jelek, karena ia melalaikan shalat dan puasa, na­mun ia rajin memberi perto­longan kepada orang-orang sengsara, dan tidak pernah me­nyakiti hati sanak ke­luar­ga­nya. Maka Ra­sul Saw. ber­sabda, “Tempat dia di surga!”.

Seorang to­koh Islam Indo­nesia, Prof. A. Mukti Ali, per­nah menga­takan bahwa orang-orang Muslim banyak yang lebih peka kepada masalah-masalah keagamaan dari­pada ma­salah-masalah sosial. Yang di­maksud ialah, banyak orang Islam yang lebih cepat bereaksi kepada gejala-gejala yang dinilai menyim­pang dari ketentuan lahiriah keaga­maan, seperti soal pakaian atau ting­kah laku “tidak sopan” dan “tidak bermoral” tertentu, namun reaksi kepada masalah-masalah kepincangan sosial seperti kemis­kinan dan kezaliman masih lemah. Maka hadis di atas dapat dirujuk sebagai sebuah ilustrasi tentang apa yang dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak bahwa Nabi Saw. justru lebih peka pada masa­lah-masalah sosial yang lebih subs­tantif daripada masalah-masalah formal keagamaan semata yang sim­bolik.

0 Comment