PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023


 AGAMA DAN KEADILAN

Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama-tama dapat dikatakan ia­lah bahwa usaha me­wujudkan keadilan merupakan salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sesudah umat manusia mengenal peradaban di lembah Mesopotamia, Irak seka­rang, sekitar 6000 tahun yang lalu, per­soalan keadilan merupakan tan­tangan hidup manusia yang tidak per­nah berhenti diperjuangkan. Pe­nemuan sistem pertanian (sebagai berkah langsung dari dua sungai yang banjir secara periodik dan pasang-surut) serta dijinakkannya binatang (yang membuat manusia tidak lagi hanya bersandar kepada kekuatan fisiknya dalam bertani), telah memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan pada manusia.

Karena manusia mendapati diri­nya, persis karena adanya ke­mak­mur­an itu, harus menyusun masya­rakat dengan membagi peker­jaan, termasuk kekuasaan, antara para anggotanya, maka mulailah masya­rakat manusia tersusun men­jadi tinggi-rendah, di mana yang kuat meng­alahkan atau menguasai yang lemah. Pembagian manusia men­jadi empat tingkat (yang kelak sete­lah ditiru dan diambil alih oleh bangsa-bangsa Arya melahirkan sis­tem kasta), pada mu­la­nya muncul sebagai keharusan pembagian kerja masyarakat beradab, dan selanjut­nya mewujud nyata dalam konsep kenegaraan. Tetapi serentak dengan itu pula muncul masalah keadilan. Maka tampillah para literati, yaitu kelas tertinggi dalam sistem masya­rakat yang bersusun itu, yang tugas­nya ialah “meneropong langit” dengan jaminan hidup sepenuh-penuh­nya, atau se­orang tokoh dari mereka, yang mampu mengenali adanya ketidakadilan, kemudian ia berusaha me­rombak masyarakat atas dasar “wisdom”  yang diperoleh­nya.

Padanan fungsional kaum litera­ti itu pada waktu sekarang ialah kaum intelektual, atau mungkin lebih tepat lagi kaum inteligensia. Yaitu, suatu kelompok dalam ma­sya­rakat yang karena tingkat ke­mam­puan inteleknya yang tinggi dan komitmen moralnya yang kukuh, mampu tetap bertahan untuk tidak “terlibat langsung” dalam persoalan hidup keseharian. Sikap “de­tach­ment”  ini membuat mereka berpeluang lebih baik un­tuk melihat masalah hidup secara “obyektif”, karena itu mereka berotoritas.

Kaum literati zaman Sumeria-Babilonia itu, terlebih lagi penam­pil­an tokoh to­koh­nya yang sangat menonjol dengan wisdom dan ka­risma, adalah juga padanan fung­sio­nal para Nabi dan Rasul. Sekalipun jumlah mereka tidak pernah banyak, namun merupakan pe­nentu jalan sejarah umat manusia. Disebabkan oleh berakarnya wa­was­an mereka dalam nilai kema­nusiaan yang tinggi dan murni, maka terdapat kesamaan asasi antara sesama mereka dalam misi dan tugas suci. Perbedaan yang ada di antara mereka hanyalah dalam segi-segi “tek­nis” pelaksanaan atau pewujudan misi sebagai akibat dari tuntutan ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Dari situ kita sudah mulai dapat melihat korelasi antara agama dan usaha mewujudkan keadilan (atau, secara negatifnya, antara agama dan usaha melawan kezaliman). Seorang tokoh dari mereka, yang memiliki tingkat wisdom yang demikian tinggi dan wawasan kemanusiaan yang demikian luhur, dipandang sebagai “orang yang mendapat berita” (makna asal kata-kata Arab Nabîy).  Jika wisdom yang diper­olehnya itu tidak hanya untuk diri sendiri saja, dan tokoh itu me­ngemb­an misi suci (risâlah) untuk disampaikan kepada masyarakat pada umumnya, maka dalam ba­hasa Arab ia disebut “Rasûl” (pe­ngemban atau pemilik misi su­ci) sekaligus dipandang sebagai “Utus­an” dari Tuhan Maha Tinggi. Kare­na itu tidak heran bahwa hampir semua unsur pokok agama dapat ditelusuri kem­bali ke Sumeria-Babilonia. Hal ini antara lain di­buktikan atau dilambangkan dalam wawasan dan penampilan Nabi Ibrahim, seorang tokoh dari Ur atau Kaldea di Mesopotamia, yang kelak berdiam dan wafat di Kana’an atau Palestina Selatan, setelah ia meninggalkan negerinya dan terlebih dahulu pergi ke Har­ran di daerah hulu lembah Furat-Dajlah.

0 Comment