AGAMA DAN KEADILAN
Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang
pertama-tama dapat dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan
salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sesudah umat
manusia mengenal peradaban di lembah Mesopotamia, Irak sekarang, sekitar 6000
tahun yang lalu, persoalan keadilan merupakan tantangan hidup manusia yang
tidak pernah berhenti diperjuangkan. Penemuan sistem pertanian (sebagai berkah
langsung dari dua sungai yang banjir secara periodik dan pasang-surut) serta
dijinakkannya binatang (yang membuat manusia tidak lagi hanya bersandar kepada
kekuatan fisiknya dalam bertani), telah memungkinkan terjadinya akumulasi
kekayaan pada manusia.
Karena manusia mendapati dirinya, persis karena
adanya kemakmuran itu, harus menyusun masyarakat dengan membagi pekerjaan,
termasuk kekuasaan, antara para anggotanya, maka mulailah masyarakat manusia
tersusun menjadi tinggi-rendah, di mana yang kuat mengalahkan atau menguasai
yang lemah. Pembagian manusia menjadi empat tingkat (yang kelak setelah
ditiru dan diambil alih oleh bangsa-bangsa Arya melahirkan sistem kasta), pada
mulanya muncul sebagai keharusan pembagian kerja masyarakat beradab, dan
selanjutnya mewujud nyata dalam konsep kenegaraan. Tetapi serentak dengan itu
pula muncul masalah keadilan. Maka tampillah para literati, yaitu kelas
tertinggi dalam sistem masyarakat yang bersusun itu, yang tugasnya ialah
“meneropong langit” dengan jaminan hidup sepenuh-penuhnya, atau seorang tokoh
dari mereka, yang mampu mengenali adanya ketidakadilan, kemudian ia berusaha merombak
masyarakat atas dasar “wisdom”
yang diperolehnya.
Padanan fungsional kaum literati itu pada waktu
sekarang ialah kaum intelektual, atau mungkin lebih tepat lagi kaum
inteligensia. Yaitu, suatu kelompok dalam masyarakat yang karena tingkat kemampuan
inteleknya yang tinggi dan komitmen moralnya yang kukuh, mampu tetap bertahan
untuk tidak “terlibat langsung” dalam persoalan hidup keseharian. Sikap “detachment” ini membuat mereka berpeluang lebih baik untuk
melihat masalah hidup secara “obyektif”, karena itu mereka berotoritas.
Kaum literati zaman Sumeria-Babilonia itu, terlebih lagi penampilan tokoh tokohnya yang sangat menonjol dengan wisdom dan karisma, adalah juga padanan fungsional para Nabi dan Rasul. Sekalipun jumlah mereka tidak pernah banyak, namun merupakan penentu jalan sejarah umat manusia. Disebabkan oleh berakarnya wawasan mereka dalam nilai kemanusiaan yang tinggi dan murni, maka terdapat kesamaan asasi antara sesama mereka dalam misi dan tugas suci. Perbedaan yang ada di antara mereka hanyalah dalam segi-segi “teknis” pelaksanaan atau pewujudan misi sebagai akibat dari tuntutan ruang dan waktu yang berbeda-beda.
Dari situ kita sudah mulai dapat melihat korelasi antara agama dan usaha mewujudkan keadilan (atau, secara negatifnya, antara agama dan usaha melawan kezaliman). Seorang tokoh dari mereka, yang memiliki tingkat wisdom yang demikian tinggi dan wawasan kemanusiaan yang demikian luhur, dipandang sebagai “orang yang mendapat berita” (makna asal kata-kata Arab Nabîy). Jika wisdom yang diperolehnya itu tidak hanya untuk diri sendiri saja, dan tokoh itu mengemban misi suci (risâlah) untuk disampaikan kepada masyarakat pada umumnya, maka dalam bahasa Arab ia disebut “Rasûl” (pengemban atau pemilik misi suci) sekaligus dipandang sebagai “Utusan” dari Tuhan Maha Tinggi. Karena itu tidak heran bahwa hampir semua unsur pokok agama dapat ditelusuri kembali ke Sumeria-Babilonia. Hal ini antara lain dibuktikan atau dilambangkan dalam wawasan dan penampilan Nabi Ibrahim, seorang tokoh dari Ur atau Kaldea di Mesopotamia, yang kelak berdiam dan wafat di Kana’an atau Palestina Selatan, setelah ia meninggalkan negerinya dan terlebih dahulu pergi ke Harran di daerah hulu lembah Furat-Dajlah.
0 Comment