AGAMA DAN KEHIDUPAN MODERN
Peranan agama dalam kehidupan modern biasanya dihubungkan
dengan konotasi modernitas yang mengalami-atau malah menderita-ekses. Ekses
itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar,
hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan (suatu pernyataan
yang bersifat karikatural). Kepentingan serta persoalan ilmu dan teknologi
ialah obyektivitas. Karena itu, dengan sendirinya obyektivisme itu akan sering
berbenturan dengan subyektivisme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin
tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) yang
berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan
ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya,
atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu
dan teknologi berhubungan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan
nilainya, sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan
berada dalam posisi yang antagonistis dengan kesakralan atau rasa kesucian
tersebut.
Sebuah magnit tak mungkin ada tanpa kedua unsurnya
yang antagonistis-kutub utara dan selatan. Demikian pula kehidupan yang wajar,
ia memerlukan keseimbangan antara aspek profan dan aspek sakral. Maka, tidak
heran pada masyarakat modern-dalam konotasi tersebut masalah mencari dan
menemukan makna hidup yang ultimate, yang berarti sakral, menjadi
semakin serius dan akut. Indikasi-indikasi ke arah itu dapat disebutkan dalam
dua hal yang berlawanan: negatif dan positif. Yang negatif berupa gejala bahwa
penyakit jiwa lebih banyak pada masyarakat modern daripada masyarakat yang
lebih sederhana (untuk Indonesia: lebih banyak di kota-kota besar daripada di
desa-desa). Yang positif berupa gejala semakin tertariknya orang-orang
modern kepada pemikiran-pemikiran spekulatif (di Amerika lebih banyak
orang membaca Alkitab sekarang ini daripada dulu, meskipun pengunjung gereja
menurun).
Karena itu yang paling aman adalah mengatakan bahwa
agama, betapapun, akan dibutuhkan manusia, dan dengan demikian ia akan tetap
berperan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Julian Huxley: “Manusia selalu concerned
tentang nasibnya artinya, tentang kedudukan dan peranannya di alam raya,
tentang bagaimana ia memenuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia
mengembangkan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini alat-alat
untuk mengarahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk membina sikap-sikap
batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konsepsi
mereka tentang nasibnya. Semua alat sosial yang berkenaan dengan nasib itu,
menurut saya, dapatlah secara sepenuhnya dimasukkan di bawah judul agama”.
Kalau masa depan tetap terbuka, lalu apa yang hendak
diajukan? Jika agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi
perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga
hal. Ia harus merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan
secara mendalam oleh pribadi apa yang hendak dilakukan oleh seseorang dalam kesendiriannya kata
Whitehead, sebagai suatu way of life bersama yang didasarkan pada
pendekatan spiritual dan emosional tertentu, kepercayaan-kepercayaan
tertentu, pedoman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap tertentu
dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada
masyarakat-masyarakat agama atau jamaah-jamaah, maka demikian pula, agama di
masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sebagai rangkanya. Dan
akhirnya dan inilah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara
dasar-dasar pemikiran religius dan ilmiah masyarakat agama dan kehidupan
individual orang-orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral
dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan
nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya
senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu itu
berarti perubahan. Karena itu, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat
(social change).
0 Comment