PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AGAMA DAN KEHIDUPAN MODERN

Peranan agama dalam kehidup­an modern biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami-atau malah menderi­ta-ekses. Ekses itu adalah akibat do­minasi ilmu dan teknologi yang, me­nurut Ashadi Siregar, hanya mam­pu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan (suatu per­nyataan yang bersifat kari­katural). Kepentingan serta per­soalan ilmu dan teknologi ialah obyektivitas. Karena itu, dengan sendirinya obyektivisme itu akan sering berbenturan dengan subyek­tivisme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin tanpa pera­saan, mengingkari perseorang­an (depersonalization) yang berarti me­ngu­rangi arti kemanusiaan (de­humaniza­tion) dan mengakibat­kan ketidaksanggupan se­­seorang me­nge­nali dirinya sendiri dan mak­na hidup­nya, ata­u meng­alami apa yang di­na­makan keter­asingan (aliena­­tion). Ilmu dan teknologi ber­hu­bungan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya, sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan ke­profanan berada dalam posisi yang antagonistis dengan kesakralan atau rasa kesu­cian tersebut.

Sebuah magnit tak mungkin ada tanpa kedua unsurnya yang antago­nistis-kutub utara dan selatan. Demikian pula kehidupan yang wajar, ia memerlukan keseimbang­an antara aspek profan dan aspek sakral. Maka, tidak heran pada masya­rakat modern-dalam kono­tasi tersebut masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate, yang berarti sakral, men­jadi semakin serius dan akut. Indi­kasi-indikasi ke arah itu dapat dise­butkan dalam dua hal yang ber­lawanan: negatif dan positif. Yang negatif berupa gejala bahwa pe­nyakit jiwa lebih banyak pada masyarakat modern daripada ma­sya­rakat yang lebih sederhana (untuk Indonesia: lebih banyak di kota-kota besar daripada di desa-desa). Yang po­sitif berupa ge­jala semakin ter­tarik­nya orang-orang modern ke­pada pe­mi­kiran-pe­mikiran spe­kulatif (di Ame­rika le­bih ba­nyak orang membaca Alkitab sekarang ini daripada dulu, mes­ki­pun peng­unjung gereja menurun).

Karena itu yang paling aman adalah mengatakan bahwa agama, be­tapapun, akan dibutuhkan ma­nu­sia, dan dengan demikian ia akan tetap berperan. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Julian Huxley: “Manusia selalu concerned tentang nasibnya artinya, tentang ke­dudukan dan peranannya di alam raya, tentang bagaimana ia me­menuhi peranan tersebut. Semua masyarakat manusia mengem­bang­kan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini alat-alat untuk mengarahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk mem­bi­na sikap-sikap batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konsepsi mereka tentang nasibnya. Semua alat sosial yang berkenaan dengan nasib itu, menurut saya, dapatlah secara sepenuhnya dimasukkan di bawah judul agama”.

Kalau masa depan tetap terbuka, lalu apa yang hendak diajukan? Jika agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga hal. Ia harus merupa­kan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi apa yang hendak dilaku­kan oleh seseorang dalam ke­sen­diriannya kata Whitehead, seba­gai suatu way of life bersama yang didasarkan pada pendekatan spiri­tual dan emosional tertentu, keper­ca­yaan-kepercayaan tertentu, pe­doman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap ter­tentu dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana seka­rang ini pun telah ada masyarakat-masyarakat agama atau jamaah-jamaah, maka demikian pula, aga­ma di masa mendatang memer­lukan organisasi sendiri sebagai rangkanya. Dan akhirnya dan inilah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasar-dasar pemikiran religius dan ilmiah masyarakat agama dan kehidupan individual orang-orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masya­rakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebe­narnya senantiasa berkembang. Se­dang­kan dalam setiap per­kem­bangan, tentu itu berarti perubah­an. Karena itu, keagamaan harus mampu menampung perubahan ma­syarakat (social change).

0 Comment