PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Agama dan Korupsi

Sebagai bangsa yang bagian terbesar berpenduduk Muslim, kita tidak dibenarkan bersandar hanya ke­pada kenyataan statistik jumlah penganut Islam. Justru, sejalan dengan hukum “coruptio optimi pessima” (“kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan yang terburuk”, “corruption by the best is the worst”), maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan oleh kaum Mus­lim akan mendatangkan malapeta­ka berlipat ganda. Hukum yang sama berlaku atas para penganut setiap agama, sebab setiap agama juga mengajarkan prinsip yang sama. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk meng­amalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu. Tidak melaksanakan ajaran Allah dalam masing-masing agama itu adalah kekafiran, ke­zalim­an dan kefasikan.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, inti pokok tugas suci para nabi ialah pembebasan manusia dari perbudakan oleh sesamanya dengan memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan  menegakkan keadilan dan keseimbangan (balance). Per­lawanan terhadap tirani dan ke­iman­an kepada Tuhan adalah pe­gangan hidup yang kokoh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan, dan manusia dipersilah­kan dengan bebas untuk memilih sendiri, sehingga tidak boleh ada pak­saan dalam agama. Sebab, me­maksa itu sendiri adalah tindakan tiranik. Sistem demokratis adalah antitesa dari sistem tiranik, dengan dimensi metafisis pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesamanya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk Indonesia, jalan pikiran di atas dianut oleh Bung Hatta, salah seorang tokoh pendiri bangsa yang berpandangan paling baik mengenai kenegaraan. Menurut Bung Hatta, semua kegiatan kene­ga­raan harus berlangsung di bawah sinar Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama itu me­nyi­nari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dengan begitu kegiatan kenegaraan kita memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen yang total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua per­buatan dan tingkah laku manusia adalah bermakna, dan akan diper­tang­gungjawabkan di hadapan Tuhan. Sama halnya dengan banyak bidang kehidupan lain, pandangan itu sebenarnya telah disadari juga oleh sebagian kalangan pemerintah. Pak Harto, misalnya, menetapkan semacam ketentuan bahwa para pejabat negara harus bertaqwa kepada Tuhan. Di samping taqwa seseorang merupakan rahasia Allah yang tidak dapat diukur dengan angka dan tidak dapat diuji oleh sesama manusia, penetapan keten­tuan itu dapat dibenarkan jika di­arti­kan bahwa para pejabat negara harus melaksanakan tugas ke­waji­bannya dalam semangat kesadaran Ketuhanan sebagai sikap kejiwaan pribadinya yang tersimpan dalam rahasia lubuk hatinya.

Sesuai dengan petunjuk agama bah­wa asas hidup yang benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah, ketentuan pe­tugas negara harus bertaqwa berarti bahwa semua tindakan melaksanakan kewajiban kenegara­an harus dilakukan dengan kesadar­an penuh bahwa Tuhan hadir da­lam setiap kegiatan. Tuhan menge­tahui, mengawasi dan akan me­minta pertanggungjawaban setiap noktah tindakan dan perilakunya serta dampak-dampaknya. Dengan kesadaran itu, seseorang akan ter­bimbing ke arah budi pekerti lu­hur atau akhlak mulia, prasyarat bagi ke­baha­giaan lahir dan batin. Budi pe­ker­ti luhur ada­lah salah satu wu­jud kedirian ma­nusia yang pa­­ling tinggi. Di hadapan budi pe­kerti luhur semua kekuatan, baik fisik maupun mental, juga kekua­saan, tidak akan berdaya : “Suro-diro jayaningrat lebur dening pa­ngastuti”, “kekuatan jiwa-raga dan kekuasaan lebur oleh budi pekerti luhur”.

Dalam hal itu kita melihat banyak orang dari berbagai ka­lang­an di antara kita yang me­nun­jukkan kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Meskipun kita secara formal meng­anut suatu agama yang meng­ajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita yang merasa atau mengaku telah bertaqwa kepada Tuhan, namun kita bertingkahlaku seolah-olah tidak ada Tuhan, suatu bentuk kekafiran yang nyata! sehingga kita menampilkan diri sebagai orang yang fasik (fasiq), bertingkahlaku tanpa peduli kepada ukuran-ukuran moral, al akhlâq al karîmah atau budi pekerti luhur. Itu semua meru­pakan contoh “corruption optimi pessima”.

Dari sudut pan­dang itulah mun­cul salah satu alasan pe­ni­laian bah­wa kita sedang meng­alami ke­me­ro­sot­an moral. Seperti dengan jelas di­ke­mukakan Gib­bon berke­naan dengan runtuhnya kekaisaran Ro­mawi, kemerosotan moral adalah pe­nyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. Karena itu bangsa kita, dalam perjalanannya me­nuju masa depan, sangat me­mer­lukan tin­dakan penyelamatan penuh ke­sungguhan, khususnya dalam usaha menegakkan standar moral yang setinggi-tingginya.

0 Comment