Agama dan Korupsi
Sebagai bangsa yang bagian terbesar berpenduduk
Muslim, kita tidak dibenarkan bersandar hanya kepada kenyataan statistik
jumlah penganut Islam. Justru, sejalan dengan hukum “coruptio optimi
pessima” (“kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan yang terburuk”, “corruption
by the best is the worst”), maka pelanggaran prinsip keadilan dan
keseimbangan oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda.
Hukum yang sama berlaku atas para penganut setiap agama, sebab setiap agama
juga mengajarkan prinsip yang sama. Karena itu para penganut setiap agama
dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam
masing-masing agama itu. Tidak melaksanakan ajaran Allah dalam masing-masing
agama itu adalah kekafiran, kezaliman dan kefasikan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, inti pokok
tugas suci para nabi ialah pembebasan manusia dari perbudakan oleh sesamanya
dengan memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan (balance).
Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup
yang kokoh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan, dan manusia
dipersilahkan dengan bebas untuk memilih sendiri, sehingga tidak boleh ada paksaan
dalam agama. Sebab, memaksa itu sendiri adalah tindakan tiranik. Sistem
demokratis adalah antitesa dari sistem tiranik, dengan dimensi metafisis
pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesamanya berdasarkan keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk Indonesia, jalan pikiran di atas dianut oleh
Bung Hatta, salah seorang tokoh pendiri bangsa yang berpandangan paling baik
mengenai kenegaraan. Menurut Bung Hatta, semua kegiatan kenegaraan harus
berlangsung di bawah sinar Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana sila pertama
itu menyinari empat sila yang lain dalam Pancasila. Dengan begitu kegiatan
kenegaraan kita memiliki dasar metafisis, sehingga menghasilkan komitmen yang
total, yang tumbuh dari kesadaran bahwa semua perbuatan dan tingkah laku
manusia adalah bermakna, dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Sama halnya dengan banyak bidang kehidupan lain, pandangan itu sebenarnya telah
disadari juga oleh sebagian kalangan pemerintah. Pak Harto, misalnya,
menetapkan semacam ketentuan bahwa para pejabat negara harus bertaqwa kepada
Tuhan. Di samping taqwa seseorang merupakan rahasia Allah yang tidak dapat diukur
dengan angka dan tidak dapat diuji oleh sesama manusia, penetapan ketentuan
itu dapat dibenarkan jika diartikan bahwa para pejabat negara harus
melaksanakan tugas kewajibannya dalam semangat kesadaran Ketuhanan sebagai
sikap kejiwaan pribadinya yang tersimpan dalam rahasia lubuk hatinya.
Sesuai dengan petunjuk agama bahwa asas hidup yang
benar, termasuk hidup kenegaraan, ialah taqwa dan ridla Allah, ketentuan petugas
negara harus bertaqwa berarti bahwa semua tindakan melaksanakan kewajiban kenegaraan
harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan hadir dalam setiap
kegiatan. Tuhan mengetahui, mengawasi dan akan meminta pertanggungjawaban
setiap noktah tindakan dan perilakunya serta dampak-dampaknya. Dengan kesadaran
itu, seseorang akan terbimbing ke arah budi pekerti luhur atau akhlak mulia,
prasyarat bagi kebahagiaan lahir dan batin. Budi pekerti luhur adalah
salah satu wujud kedirian manusia yang paling tinggi. Di hadapan budi pekerti
luhur semua kekuatan, baik fisik maupun mental, juga kekuasaan, tidak akan
berdaya : “Suro-diro jayaningrat lebur dening pangastuti”, “kekuatan
jiwa-raga dan kekuasaan lebur oleh budi pekerti luhur”.
Dalam hal itu kita melihat banyak orang dari berbagai
kalangan di antara kita yang menunjukkan kesenjangan antara yang diucapkan
dan yang dikerjakan. Meskipun kita secara formal menganut suatu agama yang
mengajarkan taqwa, bahkan banyak dari kita yang merasa atau mengaku telah
bertaqwa kepada Tuhan, namun kita bertingkahlaku seolah-olah tidak ada Tuhan,
suatu bentuk kekafiran yang nyata! sehingga kita menampilkan diri sebagai orang
yang fasik (fasiq), bertingkahlaku tanpa peduli kepada ukuran-ukuran
moral, al akhlâq al karîmah atau budi pekerti luhur. Itu semua merupakan
contoh “corruption optimi pessima”.
Dari sudut pandang itulah muncul salah satu alasan
penilaian bahwa kita sedang mengalami kemerosotan moral. Seperti dengan
jelas dikemukakan Gibbon berkenaan dengan runtuhnya kekaisaran Romawi,
kemerosotan moral adalah penyebab hancurnya bangsa-bangsa di dunia. Karena itu
bangsa kita, dalam perjalanannya menuju masa depan, sangat memerlukan tindakan
penyelamatan penuh kesungguhan, khususnya dalam usaha menegakkan standar moral
yang setinggi-tingginya.
0 Comment