AGAMA KUBURAN
Kalau kita berada di Madinah, kita akan menyaksikan
hansip yang selalu siap sedia memukul orang yang terlihat ingin memuja Makam
Nabi, karena perbuatan itu tidak diisyaratkan oleh agama kita. Mengapa ?
Inilah salah satu kesuksesan agama Islam. Agama Islam itu begitu besar, dan
begitu besar, dan begitu sukses untuk mencegah pemeluknya menyembah tokoh yang
mendirikan. Semua agama yang lain “terperangkap” dalam praktek menyembah tokoh
yang mendirikan. Agama Buddha, misalnya, malahan berbicara mengenai Tuhan saja
tidak berani. Sebetulnya ada konsep Ketuhanan yang luar biasa tingginya pada
ajaran Buddha Gautama. Oleh karena itu ada yang mengira bahwa Buddhisme adalah
agama yang ateis. Itu nggak betul. Hanya memang para penganut agama
Buddha itu nggak mau membicarakan tentang Tuhan, karena Tuhan itu tidak
bisa dibicarakan. Tapi akibatnya kemudian banyak orang Buddha sekarang ini
menyembah patungnya Buddha Gautama, pendiri agama Buddha.
Yang agak lucu, Konghucu itu tidak pernah mengaku
dirinya sebagai pemimpin Agama. Dia hanya seorang failasuf saja. Tetapi orang
Cina sekarang malahan menyembah patung Konghucu. Coba kalau kita lihat ke
Klenteng. Pada Kristen juga terjadi semacam ini. Umat Kristen menyembah ‘Îsâ
al-Masîh yang kemudian mereka sebut sebagai Tuhan Yesus.
Jadi hampir semua agama terjatuh menyembah tokoh
pendirinya. Hanya ada dua agama yang tidak menyembah tokoh yang mendirikannya,
yaitu agama Yahudi yang didirikan oleh Nabi Mûsâ As. dan agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pelarangan menyembah kepada tokoh ini dalam
Islam sangatlah keras. Tidak saja pelarangan itu datang dari Nabi sendiri, tapi
juga dari Al-Qurân yang banyak sekali menegaskan bahwa Muhammad itu tidak lain
adalah manusia biasa. Jadi kita tidak boleh memitoskan Muhammad lebih dari
semestinya. Jelas dia adalah seorang manusia yang sangat agung. Tuhan sendiri
juga memuji Muhammad sebagai berakhlaq agung. Tetapi sekaligus juga diingatkan
“Innamâ anta Basyar-un” (sesungguhnya kamu itu hanya manusia biasa).
Malahan Nabi sendiri diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan kepada kita
semuanya, para pengikutnya, bahwa beliau itu adalah manusia biasa :
Katakan Hai Muhammad, “Aku ini manusia seperti kamu juga, hanya saja
diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa” (Q., 18:110).
Karena itu ketika beliau wafat banyak orang
terguncang. Rupanya orang Arab dulu meskipun sudah menyaksikan Nabi mengajarkan
sedemikian rupa mengenai Islam, masih banyak yang salah mempersepsi tentang
siapa itu seorang Nabi. Banyak yang mengira Nabi itu nggak bisa mati,
sehingga begitu ketika mendapat berita wafatnya Nabi, banyak dari mereka yang tidak bisa menerimanya dan tidak
percaya. Termasuk ‘Umar sendiri, ketika mendengar wafatnya Nabi, ‘Umar marah
dan mengancam membunuh kepada siapa-siapa yang bilang bahwa Muhammad meninggal.
Waktu itu ‘Umar ada di pinggiran kota, lalu dia pergi ke pusat kota (ke
Madînah), lalu ketemu Abû Bakr yang kemudian membacakan firman Allah:
Muhammad itu hanyalah seorang rasul Allah, sebelum dia sudah lewat
rasul-rasul yang lain, apakah kalau dia mati atau terbunuh kamu akan kembali
menjadi kafir ? (Q.,
3 : 144).
Ini pelajaran yang sangat penting bagi kita, yaitu
bahwa “kebenaran tidak boleh diukur dengan nasib orang yang membawanya.” Ada
saja kemungkinan seseorang membawa kebenaran tapi nasibnya nggak baik,
terbunuh misalnya. Atau tabrakan di jalan raya ketika mengendarai mobil. Para
Nabi pun banyak yang terbunuh. Dalam Perang Uhud, kalau tidak karena
para Sahabatnya yang begitu setia rela menjadikan diri mereka menjadi tameng,
Nabi mungkin akan terbunuh. Pada saat itu Nabi terperosok dalam sebuah
lobang yang sudah disediakan oleh orang kafir dan Nabi tidak bisa
keluar. Orang-orang kafir Makkah pun bersorak-sorai, meneriakkan keberhasilan
membunuh Nabi. Mereka mengira bahwa Nabi sudah betul-betul mati. Bahkan pada
saat itu gigi depan Nabi pecah terkena lemparan batu.
Semua peristiwa itu memberitahukan kepada kita, para
pengikutnya, bahwa Nabi Muhammad itu bukan seorang yang sakti mandragna. Tapi
beliau adalah manusia biasa. Karena itu Tuhan memperingatkan pada umat Islam
:
Apakah kalau Nabi itu meninggal atau terbunuh, lalu kamu sekalian akan
menjadi kafir (Q.,
3 : 144).
Agama kita mengajarkan bahwa kebenaran tetap
kebenaran, siapa pun yang membawakannya. Kebenaran janganlah diukur dengan
orang yang membawanya. Kalau dibalik boleh, yakni ukurlah orang itu dengan
kebenaran. Sayidina ‘Âli ibn Abî Thâlib, misalnya, terkenal sekali dengan
perkataannya, “Perhatikan yang dikatakan orang, jangan memperhatikan siapa
yang mengatakan.” Jadi, kalau kita memperhatikan siapa yang mengatakan,
kita bisa terpengaruh. Artinya kalau secara kebetulan kita tidak suka pada
orang yang membawa kebenaran itu, maka kebenaran yang dia ucapkan atau bawa
itu jelas akan kita tolak. Sebaliknya, karena kita suka sekali dengan orang
itu, apa pun yang diucapkan meskipun bâthil akan tetap kita terima saja.
Nah hal semacam ini tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Kita kembali pada pandangan bahwa Nabi adalah manusia
biasa, dan Al-Qurân penuh denan peringatan tentang hal itu. Keyakinan Nabi
sebagai manusia biasa inilah yang dihidupkan kembali dengan sangat fanatik oleh
madzhab di Madînah, yaitu Madzhab Wahhâbî. Oleh karena itu, semua bangunan
kuburan yang menunjukkan gejala akan disembah oleh masyarakat Muslim saat itu
dihancurkan menjadi rata dengan tanah oleh orang-orang Wahhâbî. Gerakan
Wahhâbî itu dulu menghancurkan semua kuburan yang cenderung disembah orang
Islam. Kalau sekarang kita melihat makam Nabi Muhammad itu masih elaborated
sekali, hal itu sebetulnya berkat ancaman keras dari Turki di Istanbul kepada
mereka (orang-orang Wahhâbî) hendak menghancurkannya. Tapi sebagai solusinya
sekarang ini makam Nabi dikamuflase, artinya kita tidak tahu persis di mana
kuburan Nabi. Selain dikamuflase, bangunan makam Nabi juga dijaga keras oleh
hansip, yang selalu siap mencegah dan bahkan memukul siapa-siapa yang mencoba
untuk menyembah.
Namun demikian masih saja ada banyak orang menganut
agama Islam sebagai agama kuburan. Yang paling mencolok adalah pada waktu
menjelang puasa dan pada saat Lebaran, sehingga kita menyaksikan, misalnya,
Pemakaman di Tanah Kusir sangat ramai. Coba kita lihat sekarang ini, makamnya
Imâm al-Syâfi’î selalu menerima ribuan surat. Apalagi makam Syaykh ‘Abd
al-Qâdir al-Jaylânî di Baghdâd. Malahan yang saya kaget sekali, saya
menyaksikan langsung adanya tempat bersembahyang di kuburan Imâm Khumaynî.
Sangat ironis sekali. Orang-orang Wahhâbî dulu dengan keras sekali meratakan
semua bangunan kuburan dengan tanah sehingga di Arabia tidak ada bangunan
kuburan yang lebih tinggi daripada sekadar tanah, kecuali kuburan Nabi
Muhammad, karena orang-orang Wahhâbî tidak sanggup menolak ultimatum dari
Turki.
0 Comment