PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 

AGAMA DAN NEGARA

Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan per­tumbuhan dan perkembangan sis­tem politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah Saw. melakukan hijrah dari Makkah ke Yatsrib yang kemudian diubah namanya men­jadi Madinah hingga saat seka­rang ini dalam wujud sekurang-kurangnya kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.

Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan nega­ra, di masa lalu dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. Pem­bicaraan hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam suasana yang stig­matis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara dalam Islam adalah yang paling menge­sankan dalam sejarah umat manu­sia. Kedua, sepanjang sejarah, hu­bungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegang­an. Dimulai dengan ekspansi mili­ter politik Islam klasik yang seba­gian besar atas kerugian Kristen (ham­pir seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan kul­mina­sinya berupa pembebasan Konstan­tinopel (ibu kota Eropa dan dunia Kristen saat itu), kemudian perang Salib yang kalah menang silih berganti namun akhirnya dime­nang­kan oleh Islam, lalu ber­kembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat imperialis kolo­nialis dengan dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fase­nya yang terkahir dunia Islam da­lam posisi “kalah”, maka pembica­raan tentang Islam berkenaan de­ngan pandangannya tentang negara ber­langsung dalam kepahitan meng­­­hadapi Barat sebagai “musuh”.

Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak lainnya sebagai “kafir” atau “mu­syrik” seperti yang terlihat dalam kedua pemerintahan kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, sebagai pelanjut paham Sunni mazhab Hanbali aliran Wahhabi, banyak menggu­nakan retorika yang paling keras menghadapi Iran sebagai pelanjut faham Syi’ah yang sepanjang sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.

Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sendiri sebagai musyrik ka­rena tunduk kepada kekuatan-ke­kuatan Barat yang non-Islam. Se­mua itu memberi gambaran betapa problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau menyebut dirinya “negara Islam”. Sikap saling mem­ba­tal­kan legitimasi masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran me­ngandung arti bahwa tidak mung­kin kedua-duanya benar. Yang mung­kin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.

0 Comment