AGAMA DAN PEMBEBASAN DIRI
Huston Smith, seorang ahli Agama-agama Amerika
Serikat, pernah menyinggung bahwa keengganan manusia untuk menerima
kebenaran, antara lain, terjadi karena sikap menutup diri yang timbul dari
refleksi agnostik atau keengganan untuk tahu tentang kebenaran yang
diperkirakan justru akan lebih tinggi nilainya daripada yang sudah ada pada
kita. Padahal, kata Smith, kalau saja kita membuka diri untuk menerima kebenaran
itu, maka mungkin kita akan memperoleh kebaikan dan energi yang kita perlukan.
Itu dikatakan Smith dalam sinyalemennya tentang sikap orang Barat terhadap
Islam. Tetapi kiranya hal itu berlaku lebih umum, yaitu bahwa halangan kita
menerima kebenaran ialah keangkuhan dan belenggu yang kita ciptakan untuk diri
kita sendiri.
Belenggu itu dikenal dengan sebutan “hawa nafsu” (dari
bahasa Arab, hawâ al-nafs, yang secara harfiah berarti “keinginan diri
sendiri”). Inilah sumber pribadi untuk penolakan kebenaran, kesombongan dan
kecongkakan kita menghadapi hal-hal dari luar yang dirasa tidak sejalan dengan
kemauan atau pandangan kita sendiri, betapapun benarnya hal dari
luar itu. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif dan biased,
yang juga menghalangi kita dari kemungkinan melihat kebenaran (Q., 45:
23).
Seorang disebut menuhankan keinginan dirinya jika dia
memutlakkan diri dan pandangan atau pikirannya sendiri. Biasanya orang
seperti itu mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang amat
cepat bereaksi negatif kepada sesuatu yang datang dari luar, tanpa sempat mempertanyakan
kemungkinan segi kebenaran dalam apa yang datang dari luar itu. Inilah salah
satu bentuk kungkungan atau perbudakan oleh tirani vested interest (Q.,
2: 87-88 dan 5: 70).
Meskipun ayat suci itu melukiskan kelakuan kalangan
tertentu dari Bani Isra’il (bangsa Yahudi), namun “the moral behind the
story” jelas berlaku untuk semua golongan. Pelajaran moral itu
berada di sekitar bahaya penolakan kebenaran (kufr) karena kecongkakan
(istikbâr) dan sikap tertutup karena merasa telah penuh berilmu (ghulf).
Hanya dengan melawan itu semua melalui proses pembebasan diri (self-liberation)
seseorang akan mampu menangkap kebenaran dan, pada urutannya, hanya
dengan kemampuan menangkap kebenaran itu seseorang akan dapat berproses
untuk pembebasan dirinya. Inilah sesungguhnya salah satu makna esensial kalimat
persaksian (syahâdah) yang bersusunan negasi-konfirmasi “Lâ ilâha
illallâh” itu, dipandang dari sudut efeknya kepada peningkatan harkat dan
martabat kemanusiaan pribadi seseorang.
Pembebasan pribadi yang diperolehnya, yang membuat
seorang manusia merdeka sejati, akan menghilangkan dari dirinya sendiri
setiap halangan untuk melihat yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai
salah. Bentuk-bentuk subyektivisme, baik
yang positif ataupun yang negatif, yaitu perasaan senang atau benci kepada
sesuatu atau seseorang, tidak akan menjadikan pandangannya kabur dan kehilangan
wawasan tentang apa yang sungguh-sungguh benar atau salah, dan yang baik atau
buruk. Orang yang semacam itu mampu mengalahkan kekuatan tiranik (thâghût),
terutama kecenderungan tiranik diri sendiri pada saat ia menjadi sombong
karena merasa tidak perlu kepada orang lain (Q., 96: 6-7). Orang yang terbebas
itu juga selalu sanggup kembali kepada yang benar, tanpa terlalu peduli dari
mana datangnya kebenaran itu. Maka ia
termasuk yang mendapatkan “kabar gembira” (kebahagiaan) dan dinamakan “ulû
al-albâb”, “mereka yang berakal-pikiran” atau “kaum
terpelajar” (Q., 39: 17-18).
Sebutan “mengikuti yang terbaik daripadanya”
dalam Q. 39: 17-18, menunjukkan adanya acuan kepada sikap kritis dan
pertimbangan matang, sehingga pengikutan itu pun dapat sepenuhnya dipertanggung-jawabkan.
Oleh karena itu, ketika mendengar hal-hal yang dipercaya sebagai sumber
kebenaran pun orang yang ber-tawhîd tidaklah tunduk secara
“membabi-buta”, namun tetap kritis dan berdasarkan pertimbangan akal yang sehat
(Q., 25: 73). Berkenaan dengan firman Ilahi ini, A. Hassan mengatakan: “Tunduk
dan sujud dengan buta tuli waktu mendengar Al-Quran itu ialah sifat munâfiqîn.
Hamba-hamba Allah yang terpuji, tidak begitu, tetapi sujud dengan ikhlas dan
dengan pengetahuan”.
Dengan perkataan lain, orang yang bebas dari
perbudakan hawa nafsunya akan menjadi manusia yang terbuka, kritis dan selalu
tanggap kepada masalah-masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam
masyarakat. Dan sikap tanggap itu ia lakukan dengan keinsafan sepenuhnya akan
tanggung jawabnya atas segala pandangan dan tingkah laku serta kegiatannya
dalam hidup ini (Q., 17: 36).
Oleh karena itu, seorang yang ber-tawhîd
akan dengan bebas mampu menentukan sendiri pandangan dan jalan hidupnya menurut
pertimbangan akal sehat dan secara jujur tentang apa yang benar dan salah, yang
baik dan buruk, akan selalu tampil sebagai seorang yang berani, penuh percaya
kepada diri sendiri, dan berkepribadian kuat. Karena tidak terkungkung oleh
keangkuhan dirinya dan tidak menjadi tawanan egonya, maka ia berani mengatakan
tentang apa yang sebenarnya, meskipun mengandung kemungkinan (dalam jangka
pendek) merugikan dirinya sendiri atau mereka yang dicintainya. Demikian pula,
karena konfidensi kepada diri sendiri itu ia berani bersikap jujur dan adil,
sekalipun terhadap mereka yang kebetulan karena sesuatu hal dibencinya. Ini
semuanya tersimpul dari beberapa ajaran Kitab Suci (Q., 5: 105; 4: 135; 5: 8).
Maka kiranya jelas bahwa terdapat korelasi positif
antara tawhîd dengan nilai-nilai pribadi yang positif seperti
iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat (sikap rasional),
kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya kepada diri sendiri,
berani karena benar, serta kebebasan dan rasa tanggung jawab. Semua itu muncul dari rasa keadilan (al-‘adl)
dan pandangan serta perbuatan positif kepada sesama manusia (al-ihsân,
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian menegakkan keadilan dan
kebaikan…(Q., 16: 90).
0 Comment