AGAMA DAN PENDIDIKAN AGAMA
Banyak hal yang harus kita renungkan tentang agama dan
pendidikan agama, terutama dalam rumah tangga. Pertama, perenungan
tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Kedua, tentang apa
yang dimaksudkan dengan pendidikan agama? Dan, ketiga, apa yang
dimaksudkan dengan pendidikan agama dalam rumah tangga?
Renungan pertama untuk sementara orang barangkali
masih mengejutkan. Sebab, masihkah harus ada pertanyaan tentang apa yang
dimaksudkan dengan agama? Bukankah agama bagi semua orang sudah begitu
jelas sehingga mestinya tidak perlu lagi perenungan akan apa maksudnya? Tapi
bagi banyak orang renungan itu sudah sering terdengar. Misalnya, di antara para
muballigh dan tokoh agama ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah sekedar
tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca doa. Agama lebih dari itu,
yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi
memperoleh ridla atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan
tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan
manusia berbudi luhur (akhlâq karîmah), atas dasar percaya atau iman
kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Inilah makna
pernyataan dalam doa pembukaan (iftitâh) shalat, bahwa shalat
kita itu sendiri juga darma bakti kita, hidup kita dan mati kita, semua adalah
untuk atau milik Allah, seru sekalian alam. Inilah pernyataan tentang makna
dan tujuan hidup yang diperintahkan Tuhan untuk kita kemukakan setiap saat. Katakan
(wahai Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberi petunjuk kepadaku ke arah
jalan yang lurus, berupa agama yang benar, yaitu agama Ibrahim yang hanîf
dan dia itu tidak termasuk kaum yang musyrik”. Katakanlah (wahai Muhammad),
“Sesungguhnya shalatku, darma baktiku, hidupku dan matiku adalah untuk
Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada mempunyai sekutu. Untuk semua itulah
aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari golongan yang pasrah
(Muslim)” (Q., 6: 161-162).
Oleh karena itu, renungan tentang apa yang dimaksud
dengan pendidikan agama muncul secara logis, sebagai kelanjutan dari renungan
tentang apa itu agama. Karena agama adalah seperti yang dimaksud di
atas, maka agama tidak terbatas hanya kepada pengajaran tentang
ritus-ritus dan segi-segi formalistiknya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran
terhadap pentingnya ritus-ritus dan segi-segi formalistik agama, tidak pula
pengingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi-segi formal itu diajarkan
kepada anak. Semua orang telah menyadari dan mengakui hal itu. Sebab ritus dan
formalitas merupakan—atau ibarat—”bingkai” bagi agama, atau “kerangka” bagi
bangunan keagamaan. Karena itu setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan
ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan rukun”
keabsahannya.
Tetapi sebagai “bingkai” atau “kerangka”, ritus dan
formalitas bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Ritus dan
formalitas—yang dalam hal ini terwujud dalam apa yang biasa disebut “Rukun Islam”—baru
mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada
tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan
kebaikan kepada sesama manusia (akhlâq al-karîmah). Ini dapat kita
simpulkan dari penegasan dalam Kitab Suci bahwa orang yang tidak memiliki rasa
kemanusiaan, seperti sikap tidak peduli kepada nasib anak yatim dan tidak
pernah melibatkan diri dalam perjuangan mengangkat derajat orang miskin,
adalah palsu dalam beragama. Orang itu boleh jadi melakukan shalat, namun
shalatnya tidak berpengaruh kepada pendidikan budi pekertinya, dengan indikasi
ia suka pamrih dan bergaya hidup mementingkan diri. Maka ia dikutuk oleh
Allah. “Tahukah engkau (hai Muhammad), siapa yang mendustakan agama? Yaitu
yang mengabaikan anak yatim, dan yang tidak dengan tegas membela nasib orang
miskin. Maka celakalah mereka yang shalat itu! Yaitu mereka yang melupakan
shalat mereka sendiri. Mereka yang suka pamrih dan yang enggan menolong barang
sedikit” (Q., 107: 1-7).
Maka pendidikan agama sesungguhnya adalah
pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama
tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang
konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang
dikenal dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah—jelas sebagian besar
adalah baik dan harus dipertahankan—namun tidak dapat dibantah lagi bahwa
pengertian itu harus disempurnakan. Maka dalam pengertiannya yang tidak atau
belum sempurna itulah kita mendapatkan gejala-gejala tidak wajar berkenaan
dengan pendidikan agama: seorang tokoh agama misalnya, justru menumbuhkan dan
membesarkan anak-anaknya menjadi nakal dan binal. Padahal Nabi Saw. menegaskan
bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi. Hal
ini diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal, “Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”.
Kalau kita pahami bahwa agama akhirnya menuju kepada
penyempurnaan berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang anak tokoh
keagamaan menjadi anak yang nakal dan binal (baca: tidak berbudi) adalah suatu
ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya. Dan itulah barangkali wujud
bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan dalam firman Allah, Ketahuilah
bahwa sesungguhnya harta-bendamu dan anak-anakmu adalah ujian (fitnah) (dari
Tuhan), dan sedangkan Allah sesungguhnya menyediakan pahala yang agung
(Q., 8: 28).
Karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan memang pendidikan oleh orang tua bukan pengajaran. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, berwujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca Al-Quran dan mengerjakan ritus-ritus.
Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat efektif. Namun jelas bahwa segi efektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui orang tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sendiri.
0 Comment