PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AGAMA DAN PENDIDIKAN AGAMA

Banyak hal yang harus kita renungkan tentang agama dan pendidikan agama, terutama dalam rumah tangga. Pertama, pe­re­nung­an tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Kedua, tentang apa yang dimaksudkan dengan pen­didikan agama? Dan, ketiga, apa yang dimaksudkan dengan pen­di­dik­an agama dalam rumah tangga?

Renungan pertama untuk se­men­tara orang barangkali masih mengejutkan. Sebab, masihkah harus ada pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan dengan agama? Bukankah agama bagi semua orang sudah begitu jelas sehingga mesti­nya tidak perlu lagi perenungan akan apa maksudnya? Tapi bagi banyak orang renungan itu sudah sering terdengar. Misalnya, di antara para muballigh dan tokoh aga­ma ada yang memperingatkan bahwa agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca doa. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi ke­seluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (akhlâq karîmah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Inilah makna pernyataan dalam doa pembukaan (iftitâh) shalat, bahwa shalat kita itu sendiri juga darma bakti kita, hidup kita dan mati kita, semua adalah untuk atau milik Allah, seru seka­lian alam. Inilah pernyataan tentang makna dan tujuan hidup yang di­pe­rintahkan Tuhan untuk kita kemukakan setiap saat. Katakan (wahai Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberi petunjuk kepadaku ke arah jalan yang lurus, berupa agama yang benar, yaitu agama Ibrahim yang hanîf dan dia itu tidak termasuk kaum yang mu­syrik”. Katakanlah (wahai Mu­hammad), “Se­sung­guhnya sha­lat­ku, darma ba­k­tiku, hidupku dan matiku ada­lah untuk Allah, Tuhan seru se­ka­lian alam, tiada mempunyai seku­tu. Untuk semua itulah aku di­pe­rintahkan, dan aku adalah yang per­tama dari golongan yang pasrah (Muslim)” (Q., 6: 161-162).

Oleh karena itu, renungan ten­tang apa yang dimaksud dengan pendidikan agama muncul secara logis, sebagai kelanjutan dari re­nung­an tentang apa itu agama. Karena agama adalah seperti yang dimaksud di atas, maka agama tidak terbatas hanya kepada peng­ajaran tentang ritus-ritus dan segi-segi formalistiknya belaka. Ini tidak berarti pengingkaran terhadap pentingnya ritus-ritus dan segi-segi formalistik agama, tidak pula peng­ingkaran terhadap perlunya ritus-ritus dan segi-segi formal itu diajar­kan kepada anak. Semua orang telah menyadari dan mengakui hal itu. Sebab ritus dan formalitas me­ru­pakan—atau ibarat—”bingkai” bagi agama, atau “kerangka” bagi bangunan keagamaan. Karena itu setiap anak perlu diajari bagaimana melaksanakan ritus-ritus itu dengan baik dengan memenuhi segala “syarat dan rukun” keabsahannya.

Tetapi sebagai “bingkai” atau “kerangka”, ritus dan formalitas bukanlah tujuan da­­lam dirinya sen­­­diri. Ritus dan formalitas—yang dalam hal ini terwujud da­lam apa yang biasa disebut “Rukun Is­lam”—baru mempunyai makna yang hakiki jika menghantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah dan kebaikan kepada sesama ma­nusia (akhlâq al-karîmah). Ini dapat kita simpulkan dari penegasan dalam Kitab Suci bahwa orang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan, seperti sikap tidak peduli kepada nasib anak yatim dan tidak pernah me­libatkan diri dalam perjuangan mengangkat derajat orang miskin, adalah palsu dalam beragama. Orang itu boleh jadi melakukan shalat, namun shalatnya tidak berpengaruh kepada pendidikan budi pekertinya, dengan indikasi ia suka pamrih dan bergaya hidup mementingkan diri. Maka ia di­kutuk oleh Allah. “Tahukah engkau (hai Muhammad), siapa yang men­dustakan agama? Yaitu yang meng­abaikan anak yatim, dan yang tidak dengan tegas membela nasib orang miskin. Maka celakalah mereka yang shalat itu! Yaitu mereka yang me­lupa­kan shalat mereka sen­diri. Mereka yang suka pamrih dan yang enggan menolong barang sedi­kit” (Q., 107: 1-7).

Maka pendidikan agama sesung­guh­nya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyara­kat itu tidaklah seluruhnya salah—jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan—namun tidak dapat dibantah lagi bahwa penger­tian itu harus disempurnakan. Ma­ka dalam pengertiannya yang tidak atau belum sempurna itulah kita mendapatkan gejala-gejala tidak wajar berkenaan dengan pendidikan agama: seorang tokoh agama misal­nya, justru menumbuhkan dan membesarkan anak-anaknya menja­di nakal dan binal. Padahal Nabi Saw. menegaskan bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyem­purnakan berbagai keluhuran budi. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal, “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempur­nakan berbagai keluhuran budi”.

Kalau kita pahami bahwa agama akhirnya menuju kepada penyem­purnaan berbagai keluhuran budi, maka pertumbuhan seorang anak tokoh keagamaan menjadi anak yang nakal dan binal (baca: tidak berbudi) adalah suatu ironi dan kejadian menyedihkan yang tiada taranya. Dan itulah barangkali wujud bahwa anak adalah fitnah seperti dimaksudkan dalam firman Allah, Ketahuilah bahwa sesungguh­nya harta-bendamu dan anak-anakmu adalah ujian (fitnah) (dari Tuhan), dan sedangkan Allah sesung­guh­nya menyediakan pahala yang agung (Q., 8: 28).

Karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan memang pendidik­an oleh orang tua bukan peng­ajaran. Sebagian  dari usaha pen­didikan itu memang dapat dilim­pah­kan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama, misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain ter­utama hanyalah pengajaran agama, berwujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keaga­maan, termasuk membaca Al-Quran dan mengerjakan ritus-ritus.

Sebagai pengajaran, peran “orang lain” seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil meme­rankan pendidikan yang lebih ber­sifat efektif. Namun jelas bahwa segi efektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui orang tua dan suasana umum kerumahtanggaan itu sen­diri.

0 Comment