PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AGAMA DI ABAD XXI

Abad XXI, yang oleh sebagian pemikir disebut sebagai “abad ke­ruhanian”, agaknya akan me­nyak­sikan tingkat kegairahan baru umat ma­nusia dalam meyakini dan me­ng­amalkan agama. Kecenderungan kembali ke agama ini bagi banyak orang mendukung kebenaran pan­dangan keseimbangan hidup manu­sia antara yang material dan yang spiritual. Seolah-olah sebuah pen­dulum yang sedang berayun ke arah lain dari gejala umum kehidup­an modern yang serba material, yaitu berayun ke arah yang lebih spi­ritual; kecenderungan kehidupan manusia abad XXI sedang menuju kepada keseimbangan yang telah lama didambakan.

Indikasi ke arah itu su­dah banyak terlihat dalam bentuk “ke­bangkitan” agama-agama: Pro­testan, Katolik Roma, Kato­lik Ortodoks, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, bahkan agama-agama Jepang (Tenrikyo, misalnya). Tetapi kebang­kitan agama-agama itu, sebagaimana kita ketahui, juga membawa serta ek­sesnya ma­sing-masing, seperti funda­men­talisme Moral Majority di Amerika; keke­rasan konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara; reaksi-reaksi fanatik dan penuh kebencian kepada para pekerja tamu (yang kebanyakan Muslim) di Eropa (yang sering menyatu dengan gerakan-gerakan Neo-Nazi atau semacam itu); ke­kerasan kaum Yahudi funda­men­talis dan tekad mereka untuk men­dirikan “The Third Temple” (dengan kemungkinan merobohkan mo­numen-monumen Islam dan Kris­ten di Yerusalem atau Bait al-Maqdis) di Israel; kecenderungan radikal dan revolusioner pada se­bagian kelompok Islam di Timur Tengah; fanatisme kaum Hindu dari Partai Janata serta radikalisme kaum Sikh dan Islam di India; sikap-sikap ingin saling menghan­cur­kan antara kaum Hindu (Tamil) dan kaum Budhis (Sinhala) di Sri Lanka; bentrokan-bentrokan sengit etnis dan keagamaan (Bu­dhisme terhadap Islam) di Myanmar; sisa-sisa hubungan sulit antara minoritas Muslim de­ngan pemerintahan yang Budhis di Thailand dan de­ngan pemerintahan yang Katolik di Fili­pina, dan se­te­rusnya.

Dari semua itu, perubahan yang terjadi di kalangan bangsa-bangsa Muslim nampaknya muncul dalam skala yang lebih besar dan ber­dimensi yang lebih mendasar dari­pada yang terjadi di ka­langan lain. Disebabkan oleh hubungan dengan bangsa-bangsa (Kristen) Barat yang hampir tidak pernah sepi dari rasa permusuhan sepanjang sejarah, bangsa-bangsa Muslim memandang dominasi Barat terhadap dunia sekarang ini dengan tingkat kepa­hitan yang lebih menggigit daripada pandangan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah satu sebab mengapa bangsa-bangsa Muslim praktis merupakan “pendatang paling akhir” dalam dunia ilmu pe­nge­tahuan dan teknologi, menyusul kaum Hindu (India), Budhis-Taois-Konfusianis (Jepang dan NIC’s), Konfusianis-Komunis (Cina), Yahudi (Israel), Katolik Ortodoks (Eropa Timur), Katolik Roma (Eropa Selatan), dan Protestan (Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru). Jadi da­lam sains dan teknologi, bangsa-bangsa Muslim praktis merupakan papan bawah du­nia. Dengan per­kataan lain, tidak satu pun umat agama non-Islam yang dalam sains dan tek­no­logi le­bih rendah da­ripada umat Islam. Umat Islam adalah yang terendah dari semua­nya.

Dalam bidang kemakmuran ekonomi, beberapa negeri Muslim jauh berada di atas banyak negeri-negeri non-Muslim, hampir se­mata-mata karena rahmat Allah melalui kekayaan minyak. Sebagian dari negeri-negeri petro-dollar ini berusaha memanfaatkan kekayaan yang melimpah un­tuk menopang program-program investasi sumber daya manusia melalui pendidikan seperti, mi­sal­nya, yang dilakukan oleh almarhum Raja Faisal di Saudi Arabia. Beberapa negeri Teluk lain se­per­ti Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman juga nampak mampu dengan bijaksana memanfaatkan kekayaan minyak yang melimpah itu untuk mendorong proses-proses modernisasi bangsanya da­lam cara yang lebih bermakna.

Walaupun begitu, kemakmuran yang tinggi (antara lain membuat mereka memiliki kemu­dahan lebih besar untuk mengenal dunia luar) tanpa diimbangi oleh human de­velop­ment yang memadai (karena investasi sumber daya manusianya belum seluruhnya menghasilkan, mengingat jangka waktu pelaksa­naan­nya yang relatif masih singkat), telah menunjukkan akibat yang kurang menguntungkan berupa krisis-krisis sosial-politik yang ga­wat. Peristiwa pendu­dukan dan penyanderaan Masjid Haram di Makkah oleh suatu kelompok Islam radikal beberapa tahun yang lalu, juga kecenderungan semakin ba­nyak­nya kelompok-kelompok Islam radikal di ber­bagai negeri Muslim di Timur Tengah, dapat dipandang dan dinilai antara lain dari sudut pandangan ini. Kesenjangan ter­sebut akhirnya tidak hanya dirasa­kan oleh kalangan penduduk negeri bersangkutan saja (misalnya, intern Saudi Arabia saja), tapi merambah ke seluruh kawasan Timur Tengah. Krisis Irak-Kuwait dan bagaimana dunia Arab memberi reaksi kepada­nya merupakan salah satu konse­kuensi dari situasi hu­bungan antar­negara Arab yang penuh ke­sen­jangan itu. Dan yang paling mu­takhir adalah dampak dari peristiwa 11 September 2001, di mana ba­nyak krisis hubungan Barat dan Islam termanifestasi secara lebih transparan, di samping harus dica­tat kemungkinan untuk saling pe­ngertian.

0 Comment