AGAMA DI ABAD XXI
Abad XXI, yang oleh sebagian pemikir disebut sebagai
“abad keruhanian”, agaknya akan menyaksikan tingkat kegairahan baru umat manusia
dalam meyakini dan mengamalkan agama. Kecenderungan kembali ke agama ini bagi
banyak orang mendukung kebenaran pandangan keseimbangan hidup manusia antara
yang material dan yang spiritual. Seolah-olah sebuah pendulum yang sedang
berayun ke arah lain dari gejala umum kehidupan modern yang serba material,
yaitu berayun ke arah yang lebih spiritual; kecenderungan kehidupan manusia
abad XXI sedang menuju kepada keseimbangan yang telah lama didambakan.
Indikasi ke arah itu sudah banyak terlihat dalam bentuk
“kebangkitan” agama-agama: Protestan, Katolik Roma, Katolik Ortodoks,
Yahudi, Islam, Hindu, Budha, bahkan agama-agama Jepang (Tenrikyo, misalnya).
Tetapi kebangkitan agama-agama itu, sebagaimana kita ketahui, juga membawa
serta eksesnya masing-masing, seperti fundamentalisme Moral Majority
di Amerika; kekerasan konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara;
reaksi-reaksi fanatik dan penuh kebencian kepada para pekerja tamu (yang
kebanyakan Muslim) di Eropa (yang sering menyatu dengan gerakan-gerakan
Neo-Nazi atau semacam itu); kekerasan kaum Yahudi fundamentalis dan tekad
mereka untuk mendirikan “The Third Temple” (dengan kemungkinan
merobohkan monumen-monumen Islam dan Kristen di Yerusalem atau Bait
al-Maqdis) di Israel; kecenderungan radikal dan revolusioner pada sebagian
kelompok Islam di Timur Tengah; fanatisme kaum Hindu dari Partai Janata serta
radikalisme kaum Sikh dan Islam di India; sikap-sikap ingin saling menghancurkan
antara kaum Hindu (Tamil) dan kaum Budhis (Sinhala) di Sri Lanka;
bentrokan-bentrokan sengit etnis dan keagamaan (Budhisme terhadap Islam) di
Myanmar; sisa-sisa hubungan sulit antara minoritas Muslim dengan pemerintahan
yang Budhis di Thailand dan dengan pemerintahan yang Katolik di Filipina, dan
seterusnya.
Dari semua itu, perubahan yang terjadi di kalangan
bangsa-bangsa Muslim nampaknya muncul dalam skala yang lebih besar dan berdimensi
yang lebih mendasar daripada yang terjadi di kalangan lain. Disebabkan oleh
hubungan dengan bangsa-bangsa (Kristen) Barat yang hampir tidak pernah sepi
dari rasa permusuhan sepanjang sejarah, bangsa-bangsa Muslim memandang dominasi
Barat terhadap dunia sekarang ini dengan tingkat kepahitan yang lebih
menggigit daripada pandangan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi salah satu sebab
mengapa bangsa-bangsa Muslim praktis merupakan “pendatang paling akhir” dalam
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, menyusul kaum Hindu (India),
Budhis-Taois-Konfusianis (Jepang dan NIC’s), Konfusianis-Komunis (Cina),
Yahudi (Israel), Katolik Ortodoks (Eropa Timur), Katolik Roma (Eropa Selatan),
dan Protestan (Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru). Jadi
dalam sains dan teknologi, bangsa-bangsa Muslim praktis merupakan papan bawah
dunia. Dengan perkataan lain, tidak satu pun umat agama non-Islam yang dalam
sains dan teknologi lebih rendah daripada umat Islam. Umat Islam adalah
yang terendah dari semuanya.
Dalam bidang kemakmuran ekonomi, beberapa negeri
Muslim jauh berada di atas banyak negeri-negeri non-Muslim, hampir semata-mata
karena rahmat Allah melalui kekayaan minyak. Sebagian dari negeri-negeri
petro-dollar ini berusaha memanfaatkan kekayaan yang melimpah untuk menopang
program-program investasi sumber daya manusia melalui pendidikan seperti, misalnya,
yang dilakukan oleh almarhum Raja Faisal di Saudi Arabia. Beberapa negeri Teluk
lain seperti Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman juga nampak mampu dengan
bijaksana memanfaatkan kekayaan minyak yang melimpah itu untuk mendorong
proses-proses modernisasi bangsanya dalam cara yang lebih bermakna.
Walaupun begitu, kemakmuran yang tinggi (antara lain
membuat mereka memiliki kemudahan lebih besar untuk mengenal dunia luar) tanpa
diimbangi oleh human development yang memadai (karena investasi sumber
daya manusianya belum seluruhnya menghasilkan, mengingat jangka waktu pelaksanaannya
yang relatif masih singkat), telah menunjukkan akibat yang kurang menguntungkan
berupa krisis-krisis sosial-politik yang gawat. Peristiwa pendudukan dan
penyanderaan Masjid Haram di Makkah oleh suatu kelompok Islam radikal beberapa
tahun yang lalu, juga kecenderungan semakin banyaknya kelompok-kelompok Islam
radikal di berbagai negeri Muslim di Timur Tengah, dapat dipandang dan dinilai
antara lain dari sudut pandangan ini. Kesenjangan tersebut akhirnya tidak
hanya dirasakan oleh kalangan penduduk negeri bersangkutan saja (misalnya,
intern Saudi Arabia saja), tapi merambah ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Krisis Irak-Kuwait dan bagaimana dunia Arab memberi reaksi kepadanya merupakan
salah satu konsekuensi dari situasi hubungan antarnegara Arab yang penuh kesenjangan
itu. Dan yang paling mutakhir adalah dampak dari peristiwa 11 September 2001,
di mana banyak krisis hubungan Barat dan Islam termanifestasi secara lebih
transparan, di samping harus dicatat kemungkinan untuk saling pengertian.
0 Comment