AGAMA DI MASA DEPAN
Apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama di
masa depan? Atau, lebih prinsipil lagi: Adakah kebaikan dalam kehidupan
keagamaan bagi generasi yang akan datang? Kiranya pertanyaan-pertanyaan serupa
itu adalah absah, mengingat adanya pandangan banyak orang bahwa Zaman Modern
dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan merongrong kehidupan keagamaan.
Dalam beberapa segi, pandangan yang pesimis terhadap peran agama itu
mengandung unsur kebenaran; tetapi secara keseluruhan, pengalaman dua abad
umat manusia memasuki Zaman Modern tidak menunjukkan bahwa agama-agama akan
runtuh begitu saja. Orang malah mulai menunjuk ambruknya sistem Komunis
sebagai bukti paling akhir keteguhan agama-agama menghadapi zaman.
Walaupun begitu pertanyaan-pertanyaan di atas cukup
baik untuk kita jadikan titik tolak perenungan ini. Bagi mereka yang telah
dari semula percaya kepada agama, jawab atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah
jelas dan tegas. Agama berlaku untuk segala zaman: yang lalu, kini, dan
mendatang. Karena itu selalu ada harapan baik bagi kehidupan agama di masa
depan, sebagaimana demikian itulah yang telah terjadi di masa silam dan yang
sedang terjadi di masa sekarang. Dan agama adalah untuk kebaikan manusia.
Karena itu akan selalu ada kebaikan bagi kehidupan keagamaan di masa
mendatang. Tidak ada ragu dan tidak ada persoalan. Maka untuk kelompok yang
yakin ini, jawab atas pertanyaan itu tentu bersifat peneguhan, yaitu “ya”.
Karena bangsa Indonesia, sebagaimana sering digambarkan, sangat berjiwa
keagamaan, maka sebagian besar kita, jika bukan semua kita, barangkali juga
akan menjawab pertanyaan tersebut dengan “ya”.
Tetapi di antara kita mungkin ada yang secara pribadi
berpendapat samasekali kebalikan dari kaum percaya yang optimis itu. Dalam
berbagai forum diskusi, antara lain di Paramadina (karena di sana orang bebas
menyatakan diri dan pendapatnya), sering muncul sikap yang meragukan faedah
agama, atau faedah suatu bentuk tertentu amalan keagamaan, baik diungkapkan
terang-terangan maupun tersamar.
Pembicaraan kita di sini harus dilakukan dengan memperhatikan kaum
pesimis itu. Perhatian itu perlu, jika bukan karena pesimisme mereka itu
sendiri, adalah karena fungsi pesimisme sebagai faktor pengecek atas optimisme
yang mungkin berlebihan atau tidak realistis.
Adalah seorang novelis dan wartawan dari Inggris,
bernama A.N. Wilson. Ia menulis sebuah buku berjudul Against Religion: Why
We Should Try to Live Without It (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus
Mencoba Hidup Tanpa Dia). Dilihat dari judul dan isinya, buku itu tidak cocok
untuk bangsa Indonesia yang terkenal bersemangat keagamaan ini. Tapi dilihat
dari percobaannya sebagai orang luar dalam memandang agama, dan untuk bahan
perbandingan bagi mereka yang yakin kepada kebaikan agama, maka beberapa
pernyataan dalam buku itu patut sekali kita telaah dan kaji bersama. Pada
bagian permulaan sekali buku itu, kita dapat membaca pernyataan keras—dan dapat
dikatan bersemangat penghujatan kepada agama—seperti ini:
Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang
adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa
cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat manusia.
Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa
manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab
atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan
agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu.
Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya
sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan
dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai
pemilik kebenaran.
Sungguh suatu pandangan yang sangat pesimis dan patut
dipertanyakan, mengapa pesimisme semacam itu muncul? Mengapa pandangan
yang amat negatif kepada agama itu justru tampil (kembali) ketika sistem Soviet
runtuh, yang—keruntuhan sistem tersebut—sebenarnya sekaligus menunjukkan vitalitas
agama-agama di bekas negeri-negeri komunis itu?
Ketika kutipan di atas saya kemukakan dalam dialog
tentang agama dan pluralisme yang diselenggarakan oleh PGI di Evergreen,
Puncak, pada 1992, seorang tokoh Kristen yang hadir dengan sungguh-sungguh
mempertanyakan, mengapa saya menyempatkan diri mengutip suatu pendapat yang
demikian keras mencela agama? Mengapa harus mengingat lagi ungkapan Marx,
ketika sistem- nya sendiri
sekarang terbukti ambruk?
Wilson kita kutip sebagai peringatan kepada kita
bahwa dalam agama-agama, atau, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut
agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.
Sinyalemen serupa itu biasanya disanggah oleh para penganut agama, sambil
mengakui bahwa keonaran memang senantiasa muncul di kalangan para penganut
agama, namun agama tidak dapat dipersalahkan. Yang salah ialah para
penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama secara
benar. Tetapi seorang yang kritis akan membalik argumen itu dengan mengatakan:
Kalau agama itu memang benar namun tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya,
lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang
benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Sydney Hook, misalnya, pernah
mengajukan argumen sanggahan serupa itu.
Maka, sebagai seorang novelis terkenal dan wartawan
yang produktif, Wilson mengamati dengan penuh keprihatinan bagaimana
masyarakatnya di Inggris dicabik-cabik oleh masalah agama. Ia tidak setuju
dengan keputusan almarhum Ayatullah Khumaini menghukum mati Salman Rushdi. Maka
ia menjadi gusar karena Observatore Romano termasuk salah satu jurnal
yang menyatakan solidaritas kepada Khumaini. Padahal Paus sendiri, kata
Wilson, menganjurkan toleransi, termuat dalam pesannya pada Hari Perdamaian
Dunia, 3 Februari 1991. Paus mengatakan: “Adalah esensial bahwa hak menyatakan
keyakinan keagamaan masing-masing di depan umum dan dalam semua bidang
kehidupan kewargaan tetap terpelihara kalau umat manusia memang harus hidup
dalam kedamaian.” Selanjutnya Paus berkata, “Ancaman gawat terhadap perdamaian
datang dari sikap tidak toleran, yang menyatakan diri dalam sikap menolak
kebebasan nurani pada orang lain. Ekses yang diakibatkan oleh sikap tidak
toleran merupakan salah satu pelajaran paling pahit dalam sejarah.” Tetapi,
kata Wilson, beberapa waktu yang lalu Paus menghalangi orang yang tak bersalah
dan banyak dicintai masyarakat menjadi Uskup Agung Cologne hanya karena Uskup
itu berani mengisyaratkan bahwa persoalan moral yang menyangkut pembatasan
kelahiran (KB) bukan persoalan paling penting yang dihadapi umat manusia. Di
banyak universitas Katolik di Eropa, kata Wilson, banyak guru besar terkemuka,
seperti Hans Kung, tidak diberi hak mengajar karena mereka berani mempersoalkan
perkara Paus yang tidak dapat salah (infallible), atau karena mereka
menyuarakan pendekatan ilmiah terbuka kepada kajian Bibel. “Di seluruh Jerman,
negeri Belanda, Spanyol, Perancis, dan Amerika Serikat, orang-orang Katolik
harus membaca seruan Bapak Suci kepada toleransi agama. Tapi mereka bertanya-tanya
mengapa ia (Paus) tidak menerapkan toleransi itu kepada dirinya sendiri,”
kata Wilson penuh keheranan. Jawabnya ialah, kata Wilson lagi, bahwa
Paus “mengutuk sikap tidak toleran di kalangan kaum Komunis dan kaum Muslim dan
di kalangan kelompok manusia yang lain karena mereka itu tidak lebih daripada
sekedar manusia. Ia tidak mengutuk sikap tidak toleran dalam dirinya sendiri
karena ia adalah jurubicara Tuhan; dan ia tidak hanya diizinkan, malah
diwajibkan, berkat jabatannya, untuk menganiaya kekeliruan di mana pun ia
temukan.”
Bagi Wilson, pernyataan Paus pada Hari Perdamaian
Dunia menggambarkan dilema seorang agamawan yang baik hati, apakah ia itu
Katolik, Hindu, Muslim, Protestan, Buddhis, atau lain-lainnya. Wilson pernah
mendengar seorang Uskup Ortodoks Yunani dalam suatu khutbah, bahwa seorang
agamawan yang baik ialah orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya
orang lain karena kekeliruan keagamaan. Jadi, sementara seorang agamawan yang
baik acapkali mencela sikap sempit pikiran dan tidak toleran pada orang lain
yang ingin menganiayanya, namun mereka sendiri mempertahankan hak untuk
memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan ada
kalanya mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai
kewajiban.
0 Comment