PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AGAMA DI MASA DEPAN

Apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama di masa de­pan? Atau, lebih prinsipil lagi: Adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi generasi yang akan datang? Kiranya pertanyaan-per­tanyaan serupa itu adalah absah, meng­ingat adanya pandangan ba­nyak orang bahwa Zaman Mo­dern dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya akan me­rong­rong kehidupan keagamaan. Da­lam beberapa se­gi, pandangan yang pesimis ter­ha­dap peran aga­ma itu mengandung unsur ke­benaran; tetapi secara keseluruhan, pe­nga­lam­an dua abad umat ma­nusia me­masuki Zaman Modern tidak me­nunjukkan bahwa agama-agama akan runtuh begitu saja. Orang malah mulai menunjuk ambruknya sis­tem Komunis sebagai bukti pa­ling akhir keteguhan aga­ma-agama menghadapi zaman.

Walaupun begitu pertanyaan-per­tanyaan di atas cukup baik un­tuk kita jadikan titik tolak pe­re­nungan ini. Bagi mereka yang telah dari semula percaya kepada agama, jawab atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah jelas dan tegas. Agama ber­laku untuk segala zaman: yang lalu, kini, dan mendatang. Karena itu selalu ada harapan baik bagi kehidupan agama di masa depan, sebagaimana demikian itulah yang telah terjadi di masa silam dan yang sedang terjadi di masa sekarang. Dan agama adalah untuk kebaikan manusia. Karena itu akan selalu ada kebaikan bagi kehidupan kea­ga­ma­an di masa mendatang. Tidak ada ragu dan tidak ada persoalan. Maka untuk kelompok yang yakin ini, jawab atas per­tanyaan itu ten­tu bersifat pene­guhan, yaitu “ya”. Karena ba­ng­sa Indo­ne­sia, sebagai­mana sering digam­barkan, sangat berjiwa keagamaan, maka sebagian besar kita, jika bukan semua kita, barangkali juga akan menjawab pertanyaan tersebut dengan “ya”.

Tetapi di antara kita mungkin ada yang secara pribadi berpen­dapat samasekali kebalikan dari kaum percaya yang optimis itu. Dalam berbagai forum diskusi, antara lain di Paramadina (karena di sana orang bebas menyatakan diri dan pendapatnya), sering mun­cul sikap yang meragukan faedah agama, atau faedah suatu bentuk tertentu amalan keagamaan, baik diungkapkan terang-terangan mau­pun tersamar.  Pembicaraan kita di sini harus dilakukan dengan mem­per­hatikan kaum pesimis itu. Per­ha­tian itu perlu, jika bukan karena pesimisme mereka itu sendiri, adalah karena fungsi pesimisme sebagai faktor pengecek atas opti­misme yang mungkin berlebihan atau tidak realistis.

Adalah seorang novelis dan war­tawan dari Inggris, bernama A.N. Wilson. Ia menulis sebuah buku berjudul Against Religion: Why We Should Try to Live Without It (Me­lawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Dili­hat dari judul dan isinya, buku itu tidak cocok untuk bangsa Indo­nesia yang terkenal bersemangat keaga­maan ini. Tapi dilihat dari per­cobaannya sebagai orang luar dalam memandang agama, dan untuk bahan perbandingan bagi mereka yang yakin kepada kebaikan agama, maka beberapa pernyataan dalam buku itu patut sekali kita telaah dan kaji bersama. Pada bagian per­mulaan sekali buku itu, kita dapat membaca pernyataan keras—dan dapat dikatan ber­semangat peng­hujatan kepada agama—seperti ini:

Dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah akar segala kejahatan. Mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala kejahatan. Agama adalah tragedi umat ma­nusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang ter­tidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, un­tuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas pe­ra­sa­an dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.

Sungguh suatu pandangan yang sangat pesimis dan patut diper­tanya­kan, mengapa pesimisme se­ma­cam itu muncul? Mengapa pan­dangan yang amat negatif kepada agama itu justru tampil (kembali) ketika sistem Soviet runtuh, yang—keruntuhan sistem tersebut—sebe­nar­nya sekaligus menunjukkan vita­litas agama-agama di bekas negeri-negeri komunis itu?

Ketika kutipan di atas saya ke­mu­­kakan dalam dialog tentang agama dan pluralisme yang di­se­lenggarakan oleh PGI di Evergreen, Puncak, pada 1992, seorang tokoh Kristen yang hadir dengan sung­guh-sungguh memper­tanyakan, mengapa saya me­nyempatkan diri mengutip suatu pendapat yang demikian keras mencela agama? Mengapa harus mengingat lagi ung­kap­an Marx, ketika sistem-         nya sendiri sekarang terbukti am­bruk?

Wilson kita kutip sebagai per­ingatan kepada kita bahwa dalam agama-agama, atau, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya. Sinyalemen serupa itu biasanya disanggah oleh para penganut agama, sambil mengakui bahwa keonaran memang senan­tiasa muncul di kalangan para penganut agama, namun agama tidak dapat dipersalahkan. Yang salah ialah para penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama seca­ra benar. Tetapi seorang yang kritis akan membalik argumen itu de­ngan mengatakan: Kalau agama itu memang benar namun tidak mam­pu mempengaruhi para pemeluk­nya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak peme­luknya? Sydney Hook, misalnya, pernah mengajukan argumen sang­gah­an serupa itu.

Maka, sebagai seorang novelis ter­kenal dan wartawan yang pro­duktif, Wilson mengamati dengan penuh keprihatinan bagaimana masyarakatnya di Inggris dicabik-cabik oleh masalah agama. Ia tidak setuju dengan keputusan almarhum Ayatullah Khumaini menghukum mati Salman Rushdi. Maka ia men­jadi gusar karena Observatore Roma­no termasuk salah satu jurnal yang me­nya­takan solidaritas kepada Khumaini. Padahal Paus sendiri, kata Wilson, menganjurkan tole­ransi, termuat dalam pesannya pada Hari Perdamaian Dunia, 3 Februari 1991. Paus mengatakan: “Adalah esensial bahwa hak menyatakan keyakinan keagamaan masing-masing di depan umum dan dalam semua bidang kehidupan kewarga­an tetap terpelihara kalau umat ma­nusia memang harus hidup dalam kedamaian.” Selanjutnya Paus berkata, “Ancaman gawat terhadap per­damaian datang dari sikap tidak toleran, yang menyatakan diri dalam sikap menolak kebebasan nurani pada orang lain. Ekses yang diakibatkan oleh sikap tidak toleran merupakan salah satu pelajaran paling pahit dalam sejarah.” Tetapi, kata Wilson, beberapa waktu yang lalu Paus menghalangi orang yang tak bersalah dan banyak dicintai masyarakat menjadi Uskup Agung Cologne hanya karena Uskup itu berani mengisyaratkan bahwa per­soalan moral yang menyangkut pem­batasan kelahiran (KB) bukan persoalan paling penting yang dihadapi umat manusia. Di banyak universitas Katolik di Eropa, kata Wilson, banyak guru besar terke­muka, seperti Hans Kung, tidak diberi hak mengajar karena mereka berani mempersoalkan perkara Paus yang tidak dapat salah (infallible), atau karena mereka menyuarakan pendekatan ilmiah terbuka kepada kajian Bibel. “Di seluruh Jerman, negeri Belanda, Spanyol, Perancis, dan Amerika Serikat, orang-orang Katolik harus membaca seruan Bapak Suci kepada toleransi agama. Tapi mereka ber­tanya-tanya me­ng­apa ia (Paus) tidak men­e­rap­kan toleransi itu kepada dirinya sen­diri,” kata Wil­­­son penuh ke­­­­heran­an. Jawabnya ialah, kata Wilson lagi, bahwa Paus “mengutuk sikap tidak toleran di kalangan kaum Komunis dan kaum Muslim dan di kalangan kelompok manusia yang lain karena mereka itu tidak lebih daripada sekedar manusia. Ia tidak me­ngutuk sikap tidak toleran da­lam dirinya sendiri karena ia adalah jurubicara Tuhan; dan ia tidak hanya diizinkan, malah diwajibkan, berkat jabatannya, untuk meng­aniaya kekeliruan di mana pun ia temukan.”

Bagi Wilson, pernyataan Paus pada Hari Perdamaian Dunia meng­­­­gam­barkan dilema seorang agamawan yang baik hati, apakah ia itu Katolik, Hindu, Muslim, Pro­tes­tan, Buddhis, atau lain-lainnya. Wilson pernah mendengar seorang Uskup Ortodoks Yunani dalam suatu khutbah, bahwa seorang agamawan yang baik ialah orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya orang lain karena kekeliruan keagamaan. Jadi, semen­tara seorang agamawan yang baik acapkali mencela sikap sempit pi­kiran dan tidak toleran pada orang lain yang ingin meng­ania­ya­nya, namun mereka sendiri mem­per­­ta­han­kan hak untuk memaksa dan me­­­nyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan ada kalanya mereka menganggap mem­bu­nuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban.

0 Comment