AGAMA ETIKA
Dalam Islam, kebahagiaan hidup yang diperoleh melalui
amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab
Suci. Itulah yang dimaksud para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama ketika
mereka mengatakan bahwa Islam, sama dengan Yahudi, adalah agama etika (ethical
religion), yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diraih dengan
perbuatan baik atau amal shalih. Sedangkan agama Kristen, disebabkan teologinya
berdasarkan doktrin kejatuhan (fall) manusia (Âdam) dari surga yang
membawa kesengsaraan hidup secara abadi, mengajarkan bahwa manusia memerlukan
Penebusan oleh kemurahan grace Tuhan (dengan mengorbankan putera tunggal-Nya,
yaitu Isa al-Masîh untuk disalib dan menjadi “sang penebus”). Karena
itu kajian ilmiah menggolongkan agama Kristen sebagai agama sakramental (sacramental
religion), yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui
penerimaan kepada adanya sang penebus dan penyatuan diri kepadanya dengan
memakan roti dan meminum anggur yang telah ditransubstansiasi menjadi daging
dan darah Isa al-Masîh dalam upacara sakramen Ekaristi.
Islam sebagai agama amal atau aktivitas lebih terbuka
kepada contoh-contoh baik dari amal atau aktivitas golongan lain ataupun yang
paling baik. Sungguh, sikap terbuka inilah yang dipuji Allah dan dijanjikan
kabar gembira kebahagiaan, serta disebutkan sebagai tanda adanya hidayah Ilahi
pada seseorang (Q., 39: 17-18).
AGAMA: INKLUSIF DAN EKSKLUSIF
Sesungguhnya terdapat dua aliran di kalangan ahli-ahli
ilmu kemasyarakatan mengenai kriteria atau definisi agama. Pertama ialah
yang lebih bersifat inklusif, yaitu suatu definisi yang dikemukakan oleh para
penganut konsepsi tentang sistem sosial yang menekankan perlunya
individu-individu dalam masyarakat dikontrol oleh kesetiaan menyeluruh kepada
seperangkat sentral kepercayaan dan nilai. Contoh definisi inklusif ini dianut
Weber yang memberi penekanannya kepada daerah the grounds of meaning.
Contoh kedua dibuat oleh Emile Durkheim, yang memberi penekanan kepada
persoalan kesucian, kekudusan atau ketabuan. Ia mendefinisikan agama sebagai
“suatu sistem yang memadukan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek
yang berhubungan dengan hal-hal yang suci, yaitu, hal-hal yang terpisah dan
terlarang—kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan semua
pengikutnya ke dalam satu komunitas moral tunggal yang disebut Umat”. Contoh
lainnya ialah yang dianut oleh Parsons dan Bellah, dua orang yang termasuk
sosiolog mutakhir terkemuka di Amerika, yang memberi batasan pengertian agama
sebagai “tingkat” yang paling tinggi dan paling umum dari budaya manusia. Argumentasinya
ialah bahwa, dalam setiap sistem tindakan manusia, individu-individu dikontrol
oleh norma-norma interaksi yang telah ditentukan oleh sistem sosial, dan sistem
sosial dikontrol oleh sisitem budaya yang terdiri atas kepercayaan, nilai dan
simbol. Sistem budaya menjalankan fungsi menyediakan pedoman-pedoman umum
untuk tindakan manusia; pada tingkat paling umum dari sistem budaya itu
sendiri terletak the grounds of meaning, dan ini secara tipikal
diidentifikasikan sebagai daerah kepercayaan dan nilai keagamaan. Definisi
agama yang inklusif lainnya ialah yang dikemukakan oleh Luckmann. Ia merumuskan
agama sebagai kemampuan organisme manusia untuk mengangkat alam biologisnya
melalui pembentukan alam-alam makna yang obyektif, yang memiliki daya ikat
moral dan serba meliputi.
Kedua, definisi agama
yang lebih bersifat eksklusif, yaitu definisi yang menekankan pengertian agama
sebagai konfigurasi representasi-representasi keagamaan yang membentuk suatu
alam kesucian, yaitu agama dalam bentuk khusus sosial historis dan sosial
kulturalnya. Definisi ini sejalan dengan konotasi kultural biasa mengenai
agama, tetapi tidak berarti cukup memadai hanya dengan menggunakan istilah
agama secara longgar sebagaimana dalam percakapan sehari-hari. Harus ada
pengetatan pengertiannya sampai tingkat tertentu untuk memberi bentuk
analitisnya. Dalam ketentuan-ketentuan ini, definisi agama meliputi dua persoalan:
budaya dan tindakan. Budaya keagamaan ialah perangkat tertentu kepercayaan dan
simbol (dan nilai yang langsung diambil darinya) yang menyangkut pembedaan
antara kenyataan empiris dan kenyataan supra-empiris, transendental;
persoalan-persoalan empiris, dalam hal maknanya, diletakkan di bawah
persoalan-persoalan non-empiris. Tindakan keagamaan didefinisikan semata-mata
sebagai tindakan yang dibentuk oleh pengakuan adanya perbedaan antara yang
empiris dan yang supra-empiris.
Keberatan terhadap definisi inklusif disebabkan oleh kesukarannya untuk dipakai menganalisis mana gejala yang betul-betul bersifat keagamaan dan mana pula yang bukan. Jadi kesulitannya ialah untuk pembahasannya mengenai maju mundurnya suatu sikap keagamaan, baik perseorangan maupun masyarakat. Misalnya, menurut definisi inklusif, gejala umum dalam masyarakat modern, seperti penghargaan kepada keberhasilan duniawi (usaha ekonomi, ilmu pengetahuan, karir dan seterusnya), pasti termasuk the grounds of meaning, atau ultimate concern atau sacredness. Tetapi, justru orientasi hidup serupa itu sering disebut sebagai a-religius. Demikian pula nilai-nilai kemasyarakatan seperti demokrasi, fasisme, komunisme, humanisme, bahkan psikoanalitisme dan lain-lain. Ideologi-ideologi itu, menurut definisi inklusif, (seharusnya) termasuk agama, lebih-lebih komunisme yang dengan tegas melepaskan diri dari agama-agama yang dikenal. Tetapi, common sense umum mengatakan bahwa komunisme justru musuh utama agama-agama, dan tindakan komunistis (yang mengikuti ideologi dan teori komunisme) adalah tindakan-tindakan a-religius. Karena itu, paling jauh komunisme hanya dapat dikatakan sebagai functional equivalent terhadap agama (karena, komunisme benar-benar telah berfungsi seperti agama), atau pengganti keagamaan (surrogate religiosity). Meskipun kekaburan-kekaburan serupa itu ditiadakan oleh Weber dalam analisisnya tentang masyarakat modern, dan oleh Parsons dan Bellah dengan konsepsinya mengenai agama sipil (civil religion), tetapi peniadaan-peniadaan tersebut sedikit banyak mengganggu konsistensi definisi. Karena itu, definisi tersebut bisa menjadi tidak begitu integral lagi.
Dalam konteks Indonesia, keagamaan dan tidak keagamaan, menurut definisi eksklusif ini, menjadi terkait erat dengan keislaman, kekristenan (Protestan ataupun Katolik), kehinduan dan kebudhaan, menurut konteks sosial dan sejarahnya masing-masing. Tanpa memperhitungkan konteks-konteks itu, maka kita akan tidak mampu mengenali kenyataan-kenyataan halus yang membedakan jenis dan tingkat religiusitas, tidak saja dari suatu kelompok agama dengan kelompok agama yang lain, tetapi terlebih-lebih dalam lingkungan satu agama: antara satu kelompok sosial keagamaan dan kelompok sosial keagamaan lainnya, dan antara satu kelompok sosial keagamaan dari satu masa sejarah tertentu dan kelompok sosial keagamaan itu sendiri dari satu masa sejarah yang lain.
0 Comment