PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023


 AGAMA ETIKA

Dalam Islam, kebahagiaan hi­dup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Itulah yang dimaksud para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama ketika mere­ka mengatakan bahwa Islam, sama dengan Yahudi, adalah agama etika (ethical religion), yaitu agama yang meng­ajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal shalih. Sedangkan agama Kristen, disebabkan teologinya berdasarkan doktrin kejatuhan (fall) manusia (Âdam) dari surga yang membawa kesengsaraan hidup secara abadi, mengajarkan bahwa manusia memerlukan Penebusan oleh kemurahan grace Tuhan (de­ngan mengorbankan putera tung­gal-Nya, yaitu Isa al-Masîh untuk disalib dan menjadi “sang pene­bus”). Karena itu kajian ilmiah menggolongkan agama Kristen sebagai agama sakramental (sacra­mental religion), yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui penerimaan kepada adanya sang penebus dan penyatuan diri kepadanya dengan memakan roti dan meminum ang­gur yang telah ditransubstansiasi men­jadi daging dan darah Isa al-Masîh dalam upacara sakramen Ekaristi.

Islam sebagai agama amal atau aktivitas lebih terbuka kepada contoh-contoh baik dari amal atau aktivitas golongan lain ataupun yang paling baik. Sungguh, sikap terbuka inilah yang dipuji Allah dan dijanjikan kabar gembira keba­hagiaan, serta disebutkan sebagai tanda adanya hidayah Ilahi pada seseorang (Q., 39: 17-18).

AGAMA: INKLUSIF DAN EKSKLUSIF

Sesungguhnya terdapat dua aliran di kalangan ahli-ahli ilmu kemasyarakatan mengenai kriteria atau definisi agama. Pertama ialah yang lebih bersifat inklusif, yaitu suatu definisi yang dikemukakan oleh para penganut konsepsi ten­tang sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam masyarakat dikontrol oleh kesetiaan menyeluruh kepada seperangkat sentral kepercayaan dan nilai. Contoh definisi inklusif ini dianut Weber yang memberi pene­kanan­nya kepada daerah the grounds of meaning. Contoh kedua dibuat oleh Emile Durkheim, yang memberi penekanan kepada persoalan kesu­cian, kekudusan atau ketabuan. Ia mendefinisikan agama sebagai “suatu sistem yang memadukan ke­per­cayaan-kepercayaan dan prak­tek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal yang suci, yaitu, hal-hal yang terpisah dan terlarang—kepercayaan-kepercayaan dan prak­tek-praktek yang menyatukan se­mua pengikutnya ke dalam satu komunitas moral tunggal yang disebut Umat”. Contoh lainnya ialah yang dianut oleh Parsons dan Bellah, dua orang yang termasuk sosiolog mutakhir terkemuka di Amerika, yang memberi batasan pengertian agama sebagai “tingkat” yang paling tinggi dan paling umum dari budaya manusia. Argu­mentasinya ialah bahwa, dalam setiap sistem tindakan manusia, individu-individu dikontrol oleh norma-norma interaksi yang telah ditentukan oleh sistem sosial, dan sistem sosial dikontrol oleh sisitem budaya yang terdiri atas keper­cayaan, nilai dan simbol. Sistem budaya menjalankan fungsi menye­dia­kan pedoman-pedoman umum untuk tindakan manusia; pada tingkat paling umum dari sistem bu­daya itu sendiri terletak the grounds of meaning, dan ini secara tipikal diidentifikasikan sebagai daerah kepercayaan dan nilai ke­aga­maan. Definisi agama yang inklusif lainnya ialah yang dikemukakan oleh Luckmann. Ia merumuskan agama sebagai kemampuan orga­nisme manusia untuk mengangkat alam biologisnya melalui pem­bentukan alam-alam makna yang obyektif, yang memiliki daya ikat moral dan serba meliputi.

Kedua, definisi agama yang lebih bersifat eksklusif, yaitu definisi yang menekankan pengertian agama sebagai konfigurasi representasi-representasi keagamaan yang mem­bentuk suatu alam kesucian, yaitu agama dalam bentuk khusus sosial historis dan sosial kulturalnya. Definisi ini sejalan dengan konotasi kultural biasa mengenai agama, tetapi tidak berarti cukup memadai hanya dengan menggunakan istilah agama secara longgar sebagaimana dalam percakapan sehari-hari. Harus ada pengetatan penger­tiannya sampai tingkat tertentu untuk memberi bentuk analitisnya. Dalam ketentuan-ketentuan ini, definisi agama meliputi dua per­soalan: budaya dan tindakan. Buda­ya keagamaan ialah perangkat tertentu kepercayaan dan simbol (dan nilai yang langsung diambil dari­nya) yang menyangkut pem­bedaan antara kenyataan empiris dan kenyataan supra-empiris, tran­sendental; persoalan-persoalan empiris, dalam hal maknanya, diletakkan di bawah persoalan-persoalan non-empiris. Tindakan keagamaan didefinisikan semata-mata sebagai tindakan yang diben­tuk oleh pengakuan adanya perbe­daan antara yang empiris dan yang supra-empiris.

Keberatan terhadap definisi inklusif disebabkan oleh kesu­karannya untuk dipakai meng­analisis mana gejala yang betul-betul bersifat keagamaan dan mana pula yang bukan. Jadi kesulitannya ialah untuk pembahasannya me­ngenai maju mundurnya suatu sikap keagamaan, baik per­se­orang­an maupun masyarakat. Misalnya, menurut definisi inklusif, gejala umum dalam masyarakat modern, seperti penghargaan kepada keber­hasilan duniawi (usaha ekonomi, ilmu pengetahuan, karir dan sete­rus­nya), pasti termasuk the grounds of meaning, atau ultimate concern atau sacredness. Tetapi, justru orien­tasi hidup serupa itu sering disebut sebagai a-religius. Demikian pula nilai-nilai kemasyarakatan seperti demokrasi, fasisme, komunisme, humanisme, bahkan psi­ko­ana­litisme dan lain-lain. Ideologi-ideologi itu, menurut definisi inklusif, (seharusnya) termasuk agama, lebih-lebih komunisme yang dengan tegas melepaskan diri dari agama-agama yang dike­nal. Tetapi, com­mon sense umum me­nga­­takan bah­wa komu­nis­me justru musuh uta­ma agama-agama, dan tindakan komunistis (yang meng­ikuti ideo­logi dan teori komunis­me) adalah tindakan-tindakan a-religius. Ka­rena itu, paling jauh komunisme hanya dapat dikatakan sebagai functional equivalent ter­hadap agama (karena, komunisme benar-benar telah berfungsi seperti aga­ma), atau pengganti keagamaan (surrogate religiosity). Meskipun kekaburan-kekaburan serupa itu ditiadakan oleh Weber dalam ana­lisis­nya tentang masyarakat mo­dern, dan oleh Parsons dan Bellah dengan konsepsinya mengenai agama sipil (civil religion), tetapi peniadaan-peniadaan tersebut se­dikit banyak mengganggu konsis­tensi definisi. Karena itu, definisi tersebut bisa menjadi tidak begitu integral lagi.

Dalam konteks Indonesia, ke­aga­­maan dan tidak keagamaan, menurut definisi eksklusif ini, menjadi terkait erat dengan k­e­islaman, kekristenan (Protestan atau­pun Katolik), kehinduan dan kebudhaan, menurut konteks sosial dan sejarahnya masing-masing. Tanpa memperhitungkan konteks-konteks itu, ma­ka kita akan ti­dak mampu me­ngenali ke­nya­taan-kenyataan halus yang me­m­bedakan jenis dan tingkat religiusitas, tidak saja dari suatu kelompok agama dengan kelompok agama yang lain, tetapi terlebih-lebih dalam ling­kungan satu agama: antara satu kelompok sosial keagamaan dan kelompok sosial keagamaan lain­nya, dan antara satu kelompok sosial keaga­maan dari satu masa sejarah ter­tentu dan kelompok sosial kea­ga­ma­an itu sendiri dari satu masa sejarah yang lain.

0 Comment