AGAMA KEMANUSIAAN DAN
GLOBALISASI
Tekanan kepada segi kemanusiaan dari agama menjadi
semakin relevan, bahkan mendesak, untuk menghadapi apa yang disebut era
globalisasi, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya
peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan
transportasi. Barangkali peradaban umat manusia tidak akan menyatu secara
total sehingga hanya ada satu peradaban di seluruh muka bumi (tentunya sedikit
saja orang yang menghendaki demikian, karena akan membosankan). Setiap
tempat mempunyai tuntutannya sendiri, dan tuntutan itu melahirkan pola
peradaban yang spesifik bagi masyarakat setempat. Tetapi jelas tidak ada cara
untuk menghindari dampak kemudahan berkomunikasi dan berpindah tempat, berupa
kemestian terjadinya interaksi dan saling mempengaruhi antara berbagai
kelompok manusia. Maka, diperlukan adanya landasan keruhanian yang kokoh
untuk mempertahankan identitas, sekaligus untuk memantapkan pandangan kemajemukan
dan sikap positif kepada sesama manusia dan saling menghargai.
Berkenaan dengan ini, umat Islam boleh merasa mujur,
karena mereka mewarisi peradaban yang pernah benar-benar berfungsi sebagai
peradaban global. Kosmopolitanisme Islam pernah menjadi kenyataan sejarah,
yang meratakan jalan bagi terbentuknya warisan kemanusiaan yang tidak dibatasi
oleh pandangan-pandangan kebangsaan sempit dan parokialistik. Karena itu jika
sekarang kita harus menumbuhkan semangat kemanusiaan universal pada umat
Islam, maka sebagian besar hal itu berarti merupakan pengulangan sejarah, yaitu
menghidupkan kembali pandangan dan pengalaman yang dahulu pernah ada pada
umat Islam sendiri. Menyadari masalah itu sebagai pengulangan sejarah tentunya
akan berdampak meringankan beban psikologis perubahan sosial yang menyertai
pergantian dari pandangan yang ada sekarang ke pandangan yang lebih global.
cd
AGAMA, MARXISME, KOMUNISME
Sistem Eropa Timur yang Marxis-Leninis adalah
percobaan yang paling bersungguh-sungguh untuk menghapus agama dan melepaskan
manusia dari peranan agama. Tetapi percobaan itu, biarpun Marx dan para
pendukungnya mengklaim sebagai “ilmiah”, ternyata menemui kegagalan. Pertama,
kaum Marxis tidak mampu benar-benar menghapus agama di sana, meskipun telah
mengerahkan segenap dana dan daya. Kedua, justru amat ironis, Marxisme
sendiri telah menjadi agama pengganti (quasi religion) yang lebih rendah
dan kasar, jika tidak dapat dikatakan primitif.
Mereka yang yakin kepada ajaran komunisme boleh jadi
memang benar telah berhasil membebaskan dirinya dari percaya kepada obyek penyembahan
(Arab: ilâh, yang mengandung makna etimologis, antara lain “obyek
sesembahan”). Sebab, dalam pandangan mereka, menyembah akan berakibat pada
perbudakan dan perampasan kemerdekaan manusia. Namun ternyata mereka
kemudian terjerembab ke dalam praktik penyembahan kepada obyek-obyek yang
jauh lebih membelenggu, lebih memperbudak, dan merampas lebih banyak
kemerdekaan mereka, yaitu para pemimpin yang bertindak tiranik dan otoriter.
Apalagi para pemimpin itu dianggap personifikasi ajaran yang “suci”, sehingga
wajar sekali ajaran itu dinamakan selalu dalam kaitannya dengan seorang tokoh
pemimpin, seperti “Marxisme”, “Leninisme”, “Stalinisme”, “Maoisme”, dan
lain-lain. Dalam istilah teknis keagamaan Islam, mereka jatuh ke dalam praktik
syirik, atau bahkan lebih buruk lagi (disebut demikian sebab pengertian “syrik”,
terutama sepanjang penggunaannya untuk penduduk kota Makkah yang menentang
Nabi, berarti percaya kepada Tuhan namun beranggapan bahwa Tuhan itu mempunyai syarîk,
yakni “peserta”, “associate”, meskipun derajat “peserta” itu lebih rendah
daripada Tuhan sendiri, [Q., 39: 3]).
Meskipun Marxisme dapat dipandang sebagai padanan
agama (religion equivalent) atau agama pengganti, namun karena secara
sadar dan sistematis menolak setiap kemungkinan percaya kepada suatu wujud
maha tinggi, maka ia tumbuh menjadi agama palsu (ersatz religion),
lebih rendah dan kasar daripada agama-agama konvensional, serta lebih
memperbudak manusia dan membelenggu kemerdekaannya. Marxisme, terutama dalam
bentuknya yang dogmatis dan tertutup dalam komunisme, menjadi sebuah peristiwa
tragis manusia dalam usaha mencari makna hidupnya dan menemukan pemecahan yang
“ilmiah” bagi persoalan hidup.
0 Comment