Agama Kemanusiaan
Satu aspek penting di dalam perjuangan meningkatkan
kedaulatan rakyat adalah perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia.
Kedaulatan rakyat tidak mungkin ada tanpa tegaknya hak-hak asasi.
Dalam soal penegakkan hak-hak asasi manusia, kita
tidak perlu berkecil hati dengan gencarnya kritik dari luar negeri terhadap
reputasi negara kita. Meski mungkin ada di antara kritik-kritik itu yang
benar, namun tidak berarti bahwa keadaan hak-hak asasi di negara para pengkritik
itu sedemikian bagusnya. Justru, dalam beberapa hal, kita masih lebih baik
daripada mereka. Gaji wanita di Indonesia, misalnya, sama dengan pria jika
mereka memiliki pendidikan, tanggung jawab serta kedudukan pekerjaan yang sama.
Di Amerika, gaji wanita lebih rendah daripada pria, sekalipun pendidikan,
kedudukan pekerjaan dan tanggung jawab mereka sama.
Sejak merdeka, Indonesia memberi hak politik penuh
kepada kaum wanita untuk memilih dan dipilih. Karena itu, kita mempunyai
tradisi peran wantia yang besar dalam perpolitikan kita, baik di legislative,
eksekutif maupun di yudikatif. Tapi tidaklah demikian dengan Swedia, (negeri
yang disebut paling banyak dicontoh dalam sistem perundangan modern) baru
sejak 1980-an memberi hak politik kepada kaum wanita.
Walaupun begitu, harus diakui bahwa masih banyak hal
yang harus dibenahi dalam kesadaran politik dan demokrasi di Indonesia, termasuk
menyangkut wacana wanita menjadi pemimpin, yang sekarang masih ramai dibicarakan
(sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah karena agama secara substansial
memberi tempat sejajar atau setara secara jender, kepada laki-laki maupun
wanita untuk menjadi pemimpin). Laki-laki dan wanita mempunyai hak dan
kewajiban yang sama di hadapan Allah.
Islam adalah agama yang sangat tinggi menjunjung
hak-hak asasi manusia dalam inti ajarannya sendiri. Islam mengajarkan bahwa
manusia adalah makhluk kebaikan (fithrah) yang berpembawaan-asal
kebaikan dan kebenaran (hanîf). Manusia adalah makhluk yang
tertinggi (dibuat dalam sebaik-baik ciptaan), dan Allah memuliakan anak cucu
Adam ini serta melindunginya di daratan maupun di lautan. Lebih dari itu,
Allah mendekritkan, berdasarkan “pengalaman” pembunuhan Qabil atas Habil,
dua anak Adam,
Karena itu Kami tentukan kepada Bani Israil: Bahwa barangsiapa yang membunuh orang yang tidak membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka ia seolah membunuh semua orang; dan barangsiapa yang menyelamatkan nyawa orang, maka ia seolah menyelamatkan nyawa semua orang. Rasul-rasul Kami telah datang kepada mereka dengan bukti-bukti yang jelas. Tetapi kemudian setelah itu banyak di antara mereka melakukan pelanggaran di bumi (Q., 5:32).
Jadi, agama mengajarkan bahwa masing-masing jiwa
manusia mempunyai harkat dan martabat yang bernilai dengan manusia sejagad.
Masing-masing pribadi manusia mempunyai nilai kemanusiaan universal. Maka,
kejahatan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kejahatan kepada manusia
sejagad, dan kebaikan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kebaikan
kepada manusia sejagad. Inilah dasar yang amat tegas dan tandas bagi pandangan
kewajiban manusia untuk menghormati sesama dengan hak-hak asasinya yang sah.
Demikian pula berkenaan dengan hak-hak wanita, para
pekerja, dan seterusnya, Islam mengajarkan nilai-nilai yang jauh lebih luhur
daripada ajaran manapun. Mengenai buruh atau kaum pekerja, bahkan kaum
budak, misalnya, Nabi Saw. menegaskan dalam sebuah pidato pada saat-saat menjelang
wafat—yang dikenal dengan Khuthbat-u ‘l-wadâ’, antara lain demikian: “Wahai
sekalian manusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan
dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan
orang-orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu (budak, buruh, dll). Berilah
mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian seperti yang kamu
kenakan! Janganlah mereka kamu bebani dengan beban yang mereka tidak mampu
memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah, dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah,
bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu
di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka”.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika seorang
pejuang hak-hak asasi dari Filipina mengatakan kepada saya tentang respeknya
yang begitu tinggi kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam. Berdasarkan
itu ia juga menyatakan keyakinannya bahwa rumusan-rumusan internasional
tentang hak-hak asasi, seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi oleh PBB
pada 1948, tidak lain hanyalah “titik temu terendah” (lowest common denominator)
dari pandangan-pandangan kemanusiaan yang ada. Sebagai “titik temu terendah,”
sesungguhnya tuntutan hak-hak asasi dalam instrumen-instrumen internasional
itu masih lebih rendah nilainya daripada yang dituntut Islam.
Tapi herankah kita bahwa umat Islam tampak seperti
tidak banyak mengindahkan ajaran agamanya tentang hak-hak asasi manusia itu?
Tentu saja tidak, karena ada banyak contoh tentang bagaimana umat Islam
meninggalkan sebagian ajaran agamanya yang justru amat fundamental. Apalagi,
jika kita terpukau hanya kepada segi-segi simbolik dan formal dari agama, maka
kemungkinan banyak umat Islam tidak menjalankan hal-hal yang lebih esensial
menjadi lebih besar lagi.
Lantaran itu, jika umat Islam benar-benar berharap
memperoleh kejayaannya kembali seperti yang dijanjikan Allah, mereka harus
memperbarui komitmen mereka kepada berbagai nilai asasi ajaran Islam, dan tidak
terpukau kepada hal-hal yang lahiri semata. Hal-hal lahiri itu kita perlukan,
dan tetap harus kita perhatikan, namun dengan kesadaran penuh bahwa fungsinya
ialah untuk pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai yang lebih esensial
dan substantif.
Kini telah tiba saatnya bagi umat Islam mengambil
inisiatif kembali dalam usaha mengembangkan dan meneguhkan nilai-nilai
kemanusiaan, sejalan dengan kemestian ajaran agamanya sendiri. Untuk itu
umat Islam sebenarnya memiliki perbendaharaan sejarah yang amat kaya, yang
dapat dijadikan modal atau pangkal tolak.
Kesimpulannya: begitu penting dan mendesak umat Islam
memahami kembali ungkapan nilai-nilai ajaran agamanya yang lebih asasi,
misalnya perspektif kemanusiaan yang sangat universal, yang termuat dalam
teks-teks suci keagamaan. Hanya dengan peneguhan pandangan ini, Islam dapat
membuktikan diri sebagai agama kemanusiaan.
0 Comment