PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Agama Kemanusiaan

Satu aspek penting di dalam per­juangan meningkatkan ke­daulat­an rakyat adalah perjuangan me­negak­kan hak-hak asasi manusia. Kedaulatan rakyat tidak mungkin ada tanpa tegaknya hak-hak asasi.

Dalam soal penegakkan hak-hak asasi manusia, kita tidak perlu ber­kecil hati dengan gencarnya kritik dari luar negeri terhadap reputasi negara kita. Meski mung­kin ada di antara kritik-kritik itu yang benar, namun tidak berarti bahwa keadaan hak-hak asasi di negara para peng­kritik itu sede­mikian bagusnya. Justru, dalam be­berapa hal, kita masih lebih baik daripada mereka. Gaji wanita di Indonesia, misalnya, sama dengan pria jika mereka memiliki pendidikan, tanggung jawab serta kedudukan pekerjaan yang sama. Di Amerika, gaji wanita lebih rendah daripada pria, sekali­pun pendidikan, kedudukan peker­jaan dan tanggung jawab mereka sama.

Sejak merdeka, Indonesia mem­beri hak politik penuh kepada kaum wanita untuk memilih dan dipilih. Karena itu, kita mempunyai tradisi peran wantia yang besar dalam perpolitikan kita, baik di legislative, eksekutif maupun di yudikatif. Tapi tidaklah demikian dengan Swedia, (negeri yang dise­but paling banyak dicontoh dalam sistem perundangan modern) baru sejak 1980-an memberi hak politik kepada kaum wanita.

Walaupun begitu, harus diakui bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi dalam kesadaran politik dan demokrasi di Indonesia, ter­masuk menyangkut wacana wanita menjadi pemimpin, yang sekarang masih ramai dibicarakan (sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah karena agama secara subs­tansial memberi tempat sejajar atau setara secara jender, kepada laki-laki maupun wanita untuk menjadi pe­mimpin). Laki-laki dan wanita mem­punyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan Allah.

Islam adalah agama yang sangat tinggi menjunjung hak-hak asasi ma­nusia dalam inti ajarannya sendiri. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk kebaikan (fithrah) yang berpembawaan-asal kebaikan dan kebenaran (hanîf). Manusia adalah makhluk yang tertinggi (dibuat dalam sebaik-baik ciptaan), dan Allah memuliakan anak cucu Adam ini serta me­lin­dungi­nya di daratan maupun di lautan. Lebih dari itu, Allah men­dekrit­kan, berdasarkan “pe­ngalam­an” pembunuhan Qabil atas Habil, dua anak Adam,

      Karena itu Kami tentukan kepada Bani Israil: Bahwa barang­siapa yang membunuh orang yang tidak membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka ia seolah membunuh semua orang; dan barangsiapa yang menyela­mat­kan nyawa orang, maka ia seolah menyelamatkan nyawa semua orang. Rasul-rasul Kami telah datang kepada mereka de­ngan bukti-bukti yang jelas. Tetapi kemudian setelah itu banyak di antara mereka melakukan pe­langgaran di bumi (Q., 5:32).

 

Jadi, agama mengajarkan bahwa masing-masing jiwa manusia mem­punyai harkat dan martabat yang bernilai dengan manusia sejagad. Masing-masing pribadi manusia mempunyai nilai kemanusiaan universal. Maka, kejahatan kepada seorang pribadi adalah sama dengan kejahatan kepada manusia sejagad, dan kebaikan kepada seorang pri­badi adalah sama dengan kebaikan kepada manusia sejagad. Inilah dasar yang amat tegas dan tandas bagi pandangan kewajiban manusia untuk menghormati sesama dengan hak-hak asasinya yang sah.

Demikian pula berkenaan de­ngan hak-hak wanita, para pekerja, dan seterusnya, Islam mengajarkan nilai-nilai yang jauh lebih luhur dari­pada ajaran manapun. Me­nge­nai buruh atau kaum pe­ker­ja, bahkan kaum budak, misalnya, Nabi Saw. me­ne­gaskan dalam se­buah pidato pada saat-saat men­je­lang wafat—yang dikenal dengan Khuthbat-u ‘l-wadâ’, antara lain demikian: “Wa­hai sekalian ma­nusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu (budak, buruh, dll). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah pakaian seperti yang kamu kenakan! Jangan­lah mereka kamu bebani dengan beban yang mereka tidak mampu memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah, dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah, bahwa orang yang bertindak zalim kepada me­re­ka, maka akulah mu­suh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka”.

Karena itu, tidaklah meng­heran­kan jika seorang pejuang hak-hak asasi dari Filipina mengatakan kepada saya tentang respeknya yang begitu tinggi ke­pada nilai-nilai kemanusiaan da­lam Islam. Ber­dasar­kan itu ia juga menya­takan ke­ya­ki­nan­­nya bahwa rumusan-ru­mu­s­­an inter­nasio­nal tentang hak-hak asasi, seperti Deklarasi Uni­ver­sal Hak-Hak Asasi oleh PBB pada 1948, tidak lain hanyalah “titik temu terendah” (lowest com­mon de­no­minator) dari pandangan-pan­dangan kemanusiaan yang ada. Se­bagai “titik temu terendah,” se­sungguhnya tuntutan hak-hak asasi dalam instrumen-instrumen inter­nasional itu masih lebih rendah ni­lai­nya daripada yang dituntut Islam.

Tapi herankah kita bahwa umat Islam tampak seperti tidak banyak mengindahkan ajaran agamanya tentang hak-hak asasi manusia itu? Tentu saja tidak, karena ada banyak contoh tentang bagaimana umat Islam meninggalkan sebagian ajaran agamanya yang justru amat funda­mental. Apalagi, jika kita terpukau hanya kepada segi-segi simbolik dan formal dari agama, maka ke­mung­kinan banyak umat Islam tidak menjalankan hal-hal yang lebih esensial menjadi lebih besar lagi.

Lantaran itu, jika umat Islam benar-benar berharap memperoleh ke­jayaannya kembali seperti yang dijanjikan Allah, mereka harus memperbarui komitmen mereka kepada berbagai nilai asasi ajaran Islam, dan tidak terpukau kepada hal-hal yang lahiri semata. Hal-hal lahiri itu kita perlukan, dan tetap harus kita perhatikan, namun dengan kesadaran penuh bahwa fungsinya ialah untuk pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai yang lebih esensial dan substantif.

Kini telah tiba saatnya bagi umat Islam mengambil inisiatif kembali dalam usaha mengem­bang­kan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan, sejalan dengan ke­mes­­tian ajaran agamanya sendiri. Untuk itu umat Islam sebenarnya memiliki perbendaharaan sejarah yang amat kaya, yang dapat dijadi­kan modal atau pangkal tolak.

Kesimpulannya: begitu penting dan mendesak umat Islam mema­hami kembali ungkapan nilai-nilai ajaran agamanya yang lebih asasi, misalnya perspektif kemanusiaan yang sangat universal, yang termuat dalam teks-teks suci keagamaan. Hanya dengan peneguhan pan­dangan ini, Islam dapat membuk­tikan diri sebagai agama kema­nusiaan.

0 Comment