PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Agama Modern

Salah satu yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (rech staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Da­lam pengalaman negara-negara Ero­pa, ide itu merupakan pem­balikan dan perlawanan terhadap ke­cen­de­rungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman mo­dern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Yang menarik adalah, se­perti halnya dengan bidang-bidang dalam ke­hidupan yang lebih rasio­nal dan manusiawi (seperti ilmu pengeta­huan dan wawasan ke­manusiaan atau humanisme), bang­sa-bangsa Barat baru mulai benar-benar me­nge­nal ide dan praktik tentang ne­gara hukum dari penge­tahuan me­reka tentang dunia Islam.

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam me­rembes dan mempengaruhi Barat yang kemudian berhasil menerobos zaman memasuki sejarah modern.

Tentang perkembangan modern tersebut, beberapa kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan per­bedaan antara “modernisme” dan “modernitas.” Yang pertama berko­notasi kuat pengagungan pola hidup zaman mutakhir sebagai “kebijaksanaan final” umat manu­sia, yaitu perwujudan terakhir proses panjang sejarah pertumbuh­an dan perkembangan peradaban manusia. Jadi “modernisme” (se­bagai “isme”), mirip dengan sebuah ideologi tertutup; ia adalah sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lain.

Sedangkan “modernitas” adalah sebuah ungkapan kenyataan me­nge­nai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif negatif yang campur-aduk, dengan pen­dekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya, dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorgani­sasian, pengelolaan, dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan umat manusia, yang tingkat peradabannya, jika dibandingkan dengan zaman-za­man sebelumnya, tidak lagi terlu­kis­kan menurut deret hitung, me­lainkan menurut deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar.

Tetapi, tentang rasa moral dan kesucian yang benar (yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Perasa­an moral dan kesucian dalam mak­na­nya yang paling hakiki, meru­pakan masalah kemanusiaan yang abadi dan perennial. Dan dalam beberapa hal, zaman modern seka­rang menunjukkan segi-segi pelak­sanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya, tetapi dalam beberapa hal lain lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern (Barat), berupa pe­merosotan harkat dan martabat ke­manusiaan orang-orang Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas bina­tang (Portugis mempunyai peranan yang besar sekali di bidang ini), pemburuan dan pembunuhan orang-orang Aborigin untuk kese­nangan dan cenderamata orang-orang kaya Eropa(!) dan pengisi museum antropologi mereka, pem­bersihan etnis, dan genosida oleh bangsa-bangsa (“modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan pe­negakan sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan me­rampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam masalah-masalah ini, repu­tasi bangsa-bangsa Muslim adalah amat jauh mengatasi bangsa-bangsa “modern” tersebut, bahkan ketika sejarah Dunia Islam berada dalam fase yang paling rendah.

Oleh karena itu, sebenarnya posisi umat Islam menghadapi modernitas tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang Islam cen­derung minder, kemudian me­nu­tup diri dan men­jadi agresif, kare­na secara keliru merasa terkalah­kan oleh orang Barat), yang di­hadapi umat Is­lam tidak lain ia­lah tantangan ba­gai­­mana menghidupkan dan mene­guh­kan kembali nilai-nilai ke­islaman klasik (salaf) yang murni, dan menerjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah menjadi pengakuan sejarah mu­takhir, dari semua sistem ajaran khususnya agama yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri, Islam adalah agama yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern. Ernest Gellner, misalnya, menga­takan bahwa hanya Islamlah dari semua agama yang ada yang esensi ajarannya sangat relevan dengan tuntutan segi positif modernitas, dan proses  ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kom­promi dan mengalah kepada desak­an-desakan luar, tetapi justru de­ngan kembali ke asal dan me­ngembangkan nilai-nilai asasi sen­diri.

“Hanya Islam yang bias berta­han hidup se­bagai suatu ke­yakinan serius yang meliputi baik Tradisi Be­sar maupun tra­disi rakyat,” be­gitu kata Ernest Gellner di da­lam bukunya Mus­lim Society. “Tradisi yang be­sar dapat dibuat modern; dan pelaksanaannya dapat  dite­rapkan bukan sebagai sebuah ino­vasi atau konsesi kepada pihak luar, tapi lebih sebagai kelanjutan dan pe­nyempurnaan dialog lama di dalam Islam...Maka di Islam, dan hanya di dalam Islam, pemurnian/mo­derni­sasi di satu segi, dan pe­negasan ulang identitas lokal lama di sisi lain, dapat dilakukan dengan baha­sa yang sama lewat serangkaian simbol.”

Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi, yang dalam sudut pandang dewasa ini, dapat dinilai sebagai sangat modern.

0 Comment