Agama Modern
Salah satu yang amat kuat dalam wawasan politik modern
ialah terbentuknya negara hukum (rech staat) dan mencegah tumbuhnya
negara kekuasaan (macht staat). Dalam pengalaman negara-negara Eropa,
ide itu merupakan pembalikan dan perlawanan terhadap kecenderungan dan pola
yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut
raja-raja dan para penguasa agama. Yang menarik adalah, seperti halnya dengan
bidang-bidang dalam kehidupan yang lebih rasional dan manusiawi (seperti ilmu
pengetahuan dan wawasan kemanusiaan atau humanisme), bangsa-bangsa Barat
baru mulai benar-benar mengenal ide dan praktik tentang negara hukum dari
pengetahuan mereka tentang dunia Islam.
Akhir-akhir ini bermunculan berbagai tulisan hasil
kajian ilmiah yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur peradaban Islam merembes
dan mempengaruhi Barat yang kemudian berhasil menerobos zaman memasuki sejarah
modern.
Tentang perkembangan modern tersebut, beberapa
kalangan sarjana Barat sendiri mempersoalkan perbedaan antara “modernisme” dan
“modernitas.” Yang pertama berkonotasi kuat pengagungan pola hidup zaman
mutakhir sebagai “kebijaksanaan final” umat manusia, yaitu perwujudan terakhir
proses panjang sejarah pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Jadi
“modernisme” (sebagai “isme”), mirip dengan sebuah ideologi tertutup; ia
adalah sama dengan sekularisme, rasionalisme, dan lain-lain.
Sedangkan “modernitas” adalah sebuah ungkapan
kenyataan mengenai hidup zaman mutakhir ini, dalam pengertian positif negatif
yang campur-aduk, dengan pendekatan spesifik kepada suatu masalah spesifik. Misalnya,
dalam bidang-bidang yang menyangkut masalah teknikalitas, pengorganisasian,
pengelolaan, dan produksi, zaman sekarang adalah benar-benar puncak kemampuan
umat manusia, yang tingkat peradabannya, jika dibandingkan dengan zaman-zaman
sebelumnya, tidak lagi terlukiskan menurut deret hitung, melainkan menurut
deret ukur dengan angka faktor yang sangat besar.
Tetapi, tentang rasa moral dan kesucian yang benar
(yang bebas dari unsur takhayul dan dongeng), zaman modern tidak menunjukkan
tanda-tanda perbedaan berarti dengan zaman sebelumnya. Perasaan moral dan
kesucian dalam maknanya yang paling hakiki, merupakan masalah kemanusiaan
yang abadi dan perennial. Dan dalam beberapa hal, zaman modern sekarang
menunjukkan segi-segi pelaksanaan yang lebih baik daripada zaman sebelumnya,
tetapi dalam beberapa hal lain lebih buruk. Penampilan kemanusiaan yang paling
kejam dan keji justru terjadi di zaman modern oleh bangsa-bangsa modern
(Barat), berupa pemerosotan harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang
Afrika menjadi budak-budak yang hanya sedikit sekali berada di atas binatang
(Portugis mempunyai peranan yang besar sekali di bidang ini), pemburuan dan
pembunuhan orang-orang Aborigin untuk kesenangan dan cenderamata orang-orang
kaya Eropa(!) dan pengisi museum antropologi mereka, pembersihan etnis, dan
genosida oleh bangsa-bangsa (“modern”) Jerman dan Serbia, pendirian dan penegakan
sebuah negara atas dasar mitos dan dongeng keagamaan (oleh kaum Yahudi) dengan
merampas dan menindas hak bangsa lain yang sah, dan seterusnya. Dalam
masalah-masalah ini, reputasi bangsa-bangsa Muslim adalah amat jauh mengatasi
bangsa-bangsa “modern” tersebut, bahkan ketika sejarah Dunia Islam berada dalam
fase yang paling rendah.
Oleh karena itu, sebenarnya posisi umat Islam
menghadapi modernitas tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah kejiwaan (orang
Islam cenderung minder, kemudian menutup diri dan menjadi agresif, karena
secara keliru merasa terkalahkan oleh orang Barat), yang dihadapi umat Islam
tidak lain ialah tantangan bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali
nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni, dan menerjemahkannya
dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sebab, seperti diamati dan telah
menjadi pengakuan sejarah mutakhir, dari semua sistem ajaran khususnya agama
yang secara sejati dilihat dari sudut semangat dan jiwa ajaran itu sendiri,
Islam adalah agama yang paling dekat dengan segi-segi positif zaman modern.
Ernest Gellner, misalnya, mengatakan bahwa hanya Islamlah dari semua agama
yang ada yang esensi ajarannya sangat relevan dengan tuntutan segi positif
modernitas, dan proses ke arah itu tidak
harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan
luar, tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai
asasi sendiri.
“Hanya Islam yang bias bertahan hidup sebagai suatu
keyakinan serius yang meliputi baik Tradisi Besar maupun tradisi rakyat,” begitu
kata Ernest Gellner di dalam bukunya Muslim Society. “Tradisi yang besar
dapat dibuat modern; dan pelaksanaannya dapat
diterapkan bukan sebagai sebuah inovasi atau konsesi kepada pihak
luar, tapi lebih sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dialog lama di dalam
Islam...Maka di Islam, dan hanya di dalam Islam, pemurnian/modernisasi di
satu segi, dan penegasan ulang identitas lokal lama di sisi lain, dapat
dilakukan dengan bahasa yang sama lewat serangkaian simbol.”
Di sinilah relevansinya seruan kembali kepada Kitab
Suci dan Sunnah Nabi, yang dalam sudut pandang dewasa ini, dapat dinilai
sebagai sangat modern.
0 Comment