Agama Perjanjian
Penyebutan kitab Yahudi dengan Perjanjian Lama
sebenarnya problematis, karena mengisyaratkan ketidakberlakunnya dan dihapus
oleh Perjanjian Baru, yaitu Injil. Orang-orang Yahudi sendiri menyebutnya
dengan Taurat, yang terdiri dari “Nebazim” (cerita tentang nabi-nabi) dan
“Khetubim” (cerita tentang kitab-kitab suci). Orang Islam tidak dibenarkan
menyebutnya dengan Perjanjian Lama; tidak ada Perjanjian Lama ataupun
Perjanjian Baru. Karena perjanjian antara Tuhan dengan manusia bersifat
perennial, abadi. Memang ada perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan
yang merupakan pangkal tolak konsep mengenai manusia. Dalam Al-Quran terdapat
ilustrasi bahwa sebelum lahir, di alam ruhani, kita dipanggil oleh Tuhan untuk
dimintai persaksian mengenai Allah sebagai Tuhan kita, dan waktu itu kita
menjawab, “Ya, kami bersaksi (Engkau adalah Tuhan kami—NM)” (Q., 7:
172). Karena itu, tidak ada bakat yang lebih mendasar pada diri manusia selain
bakat menyembah. Begitu lahir kita mempunyai naluri untuk menyembah, suatu
bentuk dorongan gerak kembali kepada Tuhan.
Perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan
terjadi pada dataran spiritual, karenanya tidak disadari. Ini analog dengan
psikologi yang sebagian besar konstruksinya adalah bawah sadar, tetapi
banyak mempengaruhi hidup kita. Apalagi yang spiritual, sangat banyak
mempengaruhi hidup kita, terutama menyangkut masalah pengalaman-pengalaman sejati
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Hal ini kemudian dikaitkan sebagai
perjanjian dengan Tuhan, yang melalui perjanjian itu, manusia selalu mempunyai
dorongan batin untuk kembali. Dan setiap keberhasilan kembali akan menimbulkan
kebahagiaan.
Terhadap anggapan bahwa semua orang ingin kembali ke
rumah, maka ada ungkapan “Rumahku adalah surgaku”. Tidak berhasil kembali ke
rumah berarti sesat, yang identik dengan kesengsaraan. Karena dorongan kembali
kepada Tuhan mewarnai hidup kita, terutama menyangkut kesucian, maka bakat
manusia itu disebut hanîf. Jadi, agama sebenarnya merupakan wujud
dari perjanjian dengan Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut mîtsâq.
Perjanjian seperti The Ten Commandements dan sebagainya, sebenarnya
merupakan pewujudan kembali dari sesuatu yang secara potensial ada dalam diri
manusia. Kalau perjanjian dengan Tuhan diejawantahkan dalam kehidupan
sehari-hari, maka ia menjadi etika dan moral. Tema inilah yang terdapat dalam
keseluruhan isi The Ten Commendements, yang dimulai dengan imperatif, kemudian
negatif, dan sedikit yang positif.
cd
AGAMA SEBAGAI JALAN
Agama disebut jalan, yaitu shirâth, syarî‘ah,
sabîl, manhaj, atau minhâj, mansak dengan bentuk
pluralnya manâsik, seperti manasik haji. Semua itu artinya jalan. Mengapa
agama disebut jalan? Karena agama harus dipahami secara dinamis, selalu
bergerak menuju Tuhan. Karena itu pula agama kita tidak mengajarkan untuk
mengetahui Tuhan, tetapi mendekati Tuhan atau Taqarrub ilâllâh: selalu
berusaha mendekat kepada Tuhan dalam suatu pengertian yang dinamis dan selalu
bergerak. Dalam agama kita ada etos gerak dan etos hijrah, sehingga
dalam Al-Quran Allah menggugat orang-orang yang tidak mau hijrah, padahal dia
sudah menderita di suatu tempat atau suatu daerah. Gugatan tersebut ialah, Mereka
yang diwafatkan oleh malaikat karena berbuat zalim terhadap diri sendiri,
(malaikat) bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka
menjawab, “Kami orang-orang yang lemah di bumi ini (tertindas di negeri
ini [Makkah]—NM)”. (Malaikat) berkata, “Bukankah bumi Allah
luas, kamu dapat berhijrah?” Mereka itulah yang akan tinggal di
neraka—tempat kembali yang terburuk (Q., 4: 97).
cd
Agama sebagai Sumber Ideologi
Pak Natsir melihat agama secara total yang merupakan
wujud sikapnya yang tulus. Tetapi ada sedikit perbedaan dengan pandangan saya
ketika beliau mengatakan bahwa agama adalah ideologi. Menurut saya, agama
adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi, meski bisa menjadi sumber
ideologi. Bahkan agama harus menjadi sumber ideologi bagi pemeluknya. Tetapi
agama sendiri tidak boleh didegradasi sebagai ideologi. Memang ini masalah
rumusan apa yang dimaksud ideologi. Seorang Muslim harus berideologi berdasarkan
Islam, tanpa mengartikan bahwa Islam itu ideologi. Karena di sini ada masalah
interpretasi, maka dalam ruang lingkup Islam yang besar masih ada kemungkinan
timbulnya berbagai ideologi, bahkan kadangkala bertentangan.
Pemahaman Islam seseorang memang sangat diwarnai
situasi konkret pengalamannya dalam konteks sosial dan ekonomi. Justru karena
itulah, kita harus mampu mengangkat diri kita di atas situasi. Maka, ketika
kita merasa beruntung, kita tidak boleh menganggap agama kita sebagai
jenis agama yang mendukung keberuntungan kita. Sebab kenyataannya,
sepanjang sejarah memang begitu. Sebagai contoh adalah paham Jabariah yang
didukung secara total oleh rezim Bani Umayah, karena paham ini mentolerir kekuasaan
rezim Umayah. Menjawab oposisi Hasan al-Bisri, Umayyah mengatakan, “Apa pun
yang kami lakukan adalah atas kehendak Tuhan.”
Agama tidak untuk yang Lain
“Mencari muka” dalam bahasa sehari-hari memang
merupakan suatu istilah yang memiliki konotasi negatif. Tetapi dalam Al-Quran
banyak digunakan istilah muka Tuhan. Al-Quran mengatakan, Bukankah bagi
Allah ketaatan yang murni (ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih
[dari syirik]—NM) (Q., 39: 3). Jika kita terjemahkan ayat tersebut dengan
sedikit tafsîrî, maka maksudnya ialah agama tidak untuk yang lain. Bahwa
kita tidak bisa tukar-menukar agama, sehingga kita mengucapkan, Agamamu
untukmu dan agamaku untukku (bagi kamu ketundukkanmu, bagiku ketundukkanku—NM)
(Q., 109: 6). Artinya, kalian tunduk kepada apa pun silakan, itu hak kalian
sendiri, tetapi aku tetap tunduk kepada Allah. Dengan begitu ungkapan dîn
tidak hanya khusus untuk Islam. Jika seeorang tunduk kepada berhala, maka
dîn-nya adalah berhala, atau jika tunduk kepada uang karena seluruh
hidupnya dikuasai oleh uang, maka dîn-nya adalah uang. Sebenarnya, ketika
disebutkan, alâ lillâhi al-dîn al-khâlish, ini berarti bahwa kita
tidak boleh tunduk kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah Swt. Dan
kepada mereka diperintahkan hanya supaya menyembah Allah, dengan ikhlas beribadah
kepada-Nya, beragama yang benar, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat:
itulah agama yang lurus dan benar (Q., 98: 5).
Inilah yang setiap kali kita ucapkan dalam Al-Fâtihah,
“iyyâka na‘bud” (Engkau yang kami sembah), “wa
iyyâka nasta‘în” (dan hanya kepada Engkau ya Allah aku mohon pertolongan).
Dalam kitab-kitab tasawuf seperti Al-Hikam diuraikan lebih
lanjut bahwa lafal “iyyâka na‘bud” adalah ucapan dari seseorang
yang ikhlas, karena menyatakan bahwa ia hanya menyembah kepada Allah Swt.
Tetapi kitab al-Hikam masih melihat bahwa dalam ungkapan “iyyâka
na‘bud”, orang yang bersangkutan masih bisa mengatakan “Kami menyembah”.
Artinya, ia masih melihat dirinya berperan. Ketika seseorang bersedekah dan
masih bisa mengatakan kami bersedekah, hal itu mengindikasikan bahwa ia masih
melihat peranan dirinya sendiri. Suatu keikhlasan yang cukup tinggi. Akan
tetapi ada keikhlasan yang lebih tinggi lagi, yaitu “wa iyyâka nasta‘în”.
Ketika kita mengucapkan, dan kepada-Mu kami memohonkan pertolongan, ini
berarti kita mengakui bahwa kita tidak mampu, termasuk ketidakmampuan untuk
berbuat baik dan menyembah Tuhan. Oleh karena itu, dalam kenyataan menyembah
Allah seperti shalat dan sebagainya, kita harus bersyukur kepada Allah sebab
kita digerakkan oleh Allah untuk menyembah kepada-Nya.
Di sinilah letak relevansinya dengan ucapan lâ hawla
wa lâ quwwata illâ billâh, tidak ada daya dan kekuatan melainkan Allah.
Dengan begitu, kita telah mencapai keikhlasan yang tinggi. Bahwa ketika kita
berbuat baik, kita tidak merasa berbuat baik. Hal ini adalah kebalikan dari
mereka yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai kejahatan yang dihiaskan kepadanya.
Adakah orang yang pekerjaan buruk dibayangkan baik lalu menjadi baik (sama
dengan orang yang mendapat bimbingan)? Allah akan membiarkan sesat siapa saja
yang Ia kehendaki dan akan memberi bimbingan siapa saja yang Ia kehendaki.
Maka janganlah biarkan jiwamu menderita karena mereka. Sungguh, Allah
mengetahui segala yang mereka lakukan (Q., 35: 8).
0 Comment