PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Agama Perjanjian

Penyebutan kitab Yahudi de­ngan Perjanjian Lama sebenarnya problematis, karena mengisyaratkan ketidakberlakunnya dan dihapus oleh Perjanjian Baru, yaitu Injil. Orang-orang Yahudi sendiri me­nyebutnya dengan Taurat, yang terdiri dari “Nebazim” (cerita ten­tang nabi-nabi) dan “Khetubim” (cerita tentang kitab-kitab suci). Orang Islam tidak dibenarkan menyebutnya dengan Perjanjian Lama; tidak ada Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru. Karena perjanjian antara Tuhan dengan manusia bersifat perennial, abadi. Memang ada perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan yang merupakan pangkal tolak konsep mengenai manusia. Dalam Al-Quran terdapat ilustrasi bahwa sebelum lahir, di alam ruhani, kita dipanggil oleh Tuhan untuk dimin­tai persaksian mengenai Allah sebagai Tuhan kita, dan waktu itu kita menjawab, “Ya, kami bersaksi (Engkau adalah Tuhan kami—NM)” (Q., 7: 172). Karena itu, tidak ada bakat yang lebih men­dasar pada diri manusia selain bakat menyembah. Begitu lahir kita mem­punyai naluri untuk menyem­bah, suatu bentuk dorongan gerak kembali kepada Tuhan.

Perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan terjadi pada dataran spiritual, karenanya tidak disadari. Ini analog dengan psiko­logi yang sebagian besar kons­truk­sinya adalah bawah sadar, tetapi banyak mempen­garuhi hidup kita. Apalagi yang spiritual, sangat banyak mempengaruhi hidup kita, terutama menyangkut masalah pengalaman-pengalaman sejati tentang kebahagiaan dan ke­seng­saraan. Hal ini kemudian dikaitkan sebagai perjanjian dengan Tuhan, yang melalui perjanjian itu, manu­sia selalu mempunyai dorongan batin untuk kembali. Dan setiap keberhasilan kembali akan me­nim­bulkan kebahagiaan.

Terhadap anggapan bahwa se­mua orang ingin kembali ke rumah, maka ada ungkapan “Rumahku adalah surgaku”. Tidak berhasil kem­bali ke rumah berarti sesat, yang identik dengan kesengsaraan. Karena dorongan kembali kepada Tuhan mewarnai hidup kita, ter­utama menyangkut kesucian, maka bakat manusia itu disebut hanîf. Jadi, agama sebenarnya merupakan wujud dari perjanjian dengan Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut mîtsâq. Perjanjian seperti The Ten Commandements dan seba­gai­nya, sebenarnya merupakan pewujudan kembali dari sesuatu yang secara potensial ada dalam diri manusia. Kalau perjanjian dengan Tuhan diejawantahkan dalam ke­hidupan sehari-hari, maka ia men­jadi etika dan moral. Tema inilah yang terdapat dalam keseluruhan isi The Ten Commendements, yang dimulai dengan imperatif, ke­mu­dian negatif, dan sedikit yang po­sitif.

 

cd

 

AGAMA SEBAGAI JALAN

Agama disebut jalan, yaitu shi­râth, syarî‘ah, sabîl, manhaj, atau minhâj, mansak dengan bentuk pluralnya manâsik, seperti manasik haji. Semua itu artinya jalan. Meng­apa agama disebut jalan? Karena agama harus dipahami secara dina­mis, selalu bergerak menuju Tuhan. Karena itu pula agama kita tidak mengajarkan untuk mengetahui Tuhan, tetapi mendekati Tuhan atau Taqarrub ilâllâh: selalu ber­usaha mendekat kepada Tuhan dalam suatu pengertian yang dina­mis dan selalu bergerak. Dalam agama kita ada etos gerak dan etos hijrah, sehingga dalam Al-Quran Allah menggugat orang-orang yang tidak mau hijrah, padahal dia sudah menderita di suatu tempat atau suatu daerah. Gugatan tersebut ialah, Mereka yang diwafatkan oleh ma­laikat karena berbuat zalim ter­hadap diri sendiri, (malaikat) ber­tanya, Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, Kami orang-orang yang lemah di bumi ini (tertindas di negeri ini [Makkah]—NM)”. (Malaikat) ber­kata, Bukankah bumi Allah luas, kamu dapat berhijrah? Mereka itulah yang akan tinggal di neraka—tempat kembali yang terburuk (Q., 4: 97).

 

cd

 

Agama sebagai Sumber Ideologi

Pak Natsir melihat agama secara total yang merupakan wujud sikap­nya yang tulus. Tetapi ada sedikit perbedaan dengan pandangan saya ketika beliau mengatakan bahwa agama adalah ideologi. Menurut saya, agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi, meski bisa menjadi sumber ideologi. Bahkan agama harus menjadi sum­ber ideologi bagi pemeluknya. Tetapi agama sendiri tidak boleh didegradasi sebagai ideologi. Me­mang ini masalah rumusan apa yang dimaksud ideologi. Seorang Muslim harus berideologi berdasar­kan Islam, tanpa mengartikan bahwa Islam itu ideologi. Karena di sini ada masalah interpretasi, maka dalam ruang lingkup Islam yang be­sar masih ada kemungkinan tim­bul­nya berbagai ideologi, bah­kan kadangkala bertentangan.

Pemahaman Islam seseorang memang sangat diwarnai situasi konkret pengalamannya dalam konteks sosial dan ekonomi. Justru karena itulah, kita harus mampu mengangkat diri kita di atas situasi. Maka, ketika kita merasa ber­un­tung, kita tidak boleh meng­ang­gap agama kita se­bagai jenis aga­ma yang men­dukung keber­un­tungan kita. Se­bab kenyataan­nya, sepanjang seja­rah memang begitu. Sebagai contoh adalah paham Jabariah yang didu­kung se­cara total oleh rezim Bani Umayah, karena paham ini men­tolerir ke­kuasaan rezim Umayah. Menjawab oposisi Hasan al-Bisri, Umayyah mengatakan, “Apa pun yang kami lakukan adalah atas kehendak Tuhan.”

Agama tidak untuk yang Lain

“Mencari muka” dalam bahasa sehari-hari memang merupakan suatu istilah yang memiliki konotasi negatif. Tetapi dalam Al-Quran banyak digunakan istilah muka Tuhan. Al-Quran mengatakan, Bukankah bagi Allah ketaatan yang murni (ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih [dari syirik]—NM) (Q., 39: 3). Jika kita terjemahkan ayat tersebut dengan sedikit tafsîrî, maka maksudnya ialah agama tidak untuk yang lain. Bahwa kita tidak bisa tukar-me­nukar agama, se­hingga kita me­ng­­ucapkan, Aga­mamu untukmu dan agamaku un­­­tuk­ku (bagi kamu ke­tun­­duk­kanmu, bagiku ketunduk­kan­ku—NM) (Q., 109: 6). Artinya, kalian tunduk ke­pada apa pun silakan, itu hak ka­lian sendiri, tetapi aku tetap tunduk kepada Allah. Dengan begitu ung­kapan dîn tidak hanya khusus untuk Islam. Jika seeorang tunduk kepada berhala, maka dîn-nya adalah ber­hala, atau jika tunduk kepada uang karena seluruh hidupnya dikuasai oleh uang, maka dîn-nya adalah uang. Sebenarnya, ketika dise­but­kan, alâ lillâhi al-dîn al-khâlish, ini berarti bahwa kita tidak boleh tun­duk ke­pada siapa pun juga kecuali kepada Allah Swt. Dan kepada mere­ka diperintahkan hanya supaya me­nyem­bah Allah, dengan ikhlas ber­ibadah kepada-Nya, beragama yang benar, mendirikan shalat, dan me­nge­luarkan zakat: itulah agama yang lurus dan benar (Q., 98: 5).

Inilah yang setiap kali kita ucapkan dalam Al-Fâtihah, “iyyâka na‘bud (Engkau yang kami sem­bah), wa iyyâka nasta‘în” (dan hanya kepada Engkau ya Allah aku mohon pertolongan). Dalam kitab-kitab tasawuf seperti Al-Hikam di­urai­kan lebih lanjut bahwa lafal iyyâka na‘bud” adalah ucapan dari seseorang yang ikhlas, karena me­nya­­takan bahwa ia hanya me­nyembah kepada Allah Swt. Tetapi kitab al-Hikam masih melihat bahwa dalam ungkapan “iyyâka na‘bud”, orang yang bersangkutan masih bisa mengatakan “Kami me­nyembah”. Artinya, ia masih me­lihat dirinya berperan. Ketika se­seorang bersedekah dan masih bisa mengatakan kami bersedekah, hal itu mengindikasikan bahwa ia masih melihat peranan dirinya sen­diri. Suatu keikhlasan yang cukup tinggi. Akan tetapi ada keikhlasan yang lebih tinggi lagi, yaitu “wa iyyâka nasta‘în”. Ketika kita meng­ucapkan, dan kepada-Mu kami memohonkan pertolongan, ini berarti kita mengakui bahwa kita tidak mampu, termasuk ketidak­mam­puan untuk berbuat baik dan me­nyem­bah Tuhan. Oleh karena itu, dalam kenyataan menyembah Allah seperti shalat dan sebagainya, kita harus bersyukur kepada Allah sebab kita digerakkan oleh Allah untuk menyembah kepada-Nya.

Di sinilah letak relevansinya dengan ucapan hawla wa lâ quwwata illâ billâh, tidak ada daya dan kekuatan melainkan Allah. Dengan begitu, kita telah mencapai keikhlasan yang tinggi. Bahwa ketika kita berbuat baik, kita tidak merasa berbuat baik. Hal ini adalah kebalikan dari mereka yang digam­barkan dalam Al-Quran sebagai kejahatan yang dihiaskan kepada­nya. Adakah orang yang pekerjaan buruk dibayangkan baik lalu men­jadi baik (sama dengan orang yang mendapat bimbingan)? Allah akan membiarkan sesat siapa saja yang Ia ke­hendaki dan akan memberi bim­bing­an siapa saja yang Ia kehendaki. Maka janganlah biarkan jiwamu menderita karena mereka. Sungguh, Allah mengetahui segala yang mereka lakukan (Q., 35: 8).

0 Comment