PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Agama Universal

Tesis yang sangat umum adalah bahwa Tuhan mengirim utusan kepada setiap umat, Pada setiap umat ada seorang rasul (Q., 10: 47). Artinya, setiap ada sekumpulan manusia di mana pun pasti pernah muncul seorang guru besar. Selalu ada hikmah dalam suatu ungkapan bahasa mana pun, karena Nabi sen­diri pernah berkumpul dengan siapa saja. Bahkan Al-Quran meng­ajar­kan kepada kita agar percaya kepada semua nabi. Menurut sebagian ulama, nabi yang wajib untuk dipercayai berjumlah 25. Tetapi di dalam Al-Quran sendiri tidak dikatakan bahwa nabi ber­jumlah 25, sehingga di kalangan ulama masih ada perselisihan pen­dapat, apakah Zulkarnain yang disebut dalam surat Al-Kahfi dan Lukman dalam surat Luqmân me­mi­liki kedudukan sebagai nabi atau bukan. Perselisihan ini muncul karena adanya pernyataan dalam Al-Quran bahwa, Ada beberapa rasul yang Kami kisahkan kepadamu sebelumnya dan beberap rasul yang tidak Kami kisahkan kepadamu (Q., 4: 164). Menurut para ulama, nabi yang tidak disebutkan justru lebih banyak, dan al-Ghazali memper­kirakannya berjumlah 113. Seba­gian diceritakan dalam Al-Quran dan sebagian lagi diceritakan dalam Bibel, tetapi banyak sekali yang tidak diceritakan dalam keduanya. Maka tidak mengherankan kalau Kong Hu Cu dipandang sebagai nabi oleh Hamka; atau Budha Gautama kemungkinan juga nabi. Malah sementara pendapat menga­takan bahwa Budha Gautama ada­lah Dzulkifli karena nama ini ber­arti orang yang berasal dari Kapila­wastu (nama asal Budha). Memang, selalu terbuka kemungkinan-ke­mungkinan. Dengan demikian, penyebutan Islam sebagai agama universal bisa dalam pengetian bahwa dari Islam bisa dibawa ke mana-mana dan dari mana-mana bisa dibawa ke Islam.

 

cd

 

AGAMA: EMPIRIS DAN SUPRA EMPIRIS

 

Pengertian empiris dan supra-empiris dalam agama sangat men­dekati pengertian empiris dan non-empiris (teoretis) dalam ilmu pe­nge­tahuan. Tetapi, dalam hal ini, sifat penting yang membedakan agama dari ilmu pengetahuan ialah adanya konsepsi kegaiban atau alam gaib pada istilah non-empiris. Ka­rena itu, istilah supra-empiris ada­lah lebih tepat.

Religiusitas seseorang ialah ting­kah lakunya yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya ke­pada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Ia melakukan sesuatu yang empiris sebagaimana layaknya. Tetapi ia meletakkan harga dan makna tin­dak­an empirisnya itu di bawah yang supra-empiris. Menurut pe­ngertian ini, seorang komunis tidak mungkin memiliki religiusitas. Disebabkan oleh filsafatnya, se­orang komunis tidak mengenal per­bedaan antara yang empiris dan supra-empiris dalam pengertian alam nyata dan alam gaib. Non-empirisme pada filsafat komunis hanya mencapai tingkat pengertian seperti dikehendaki oleh ilmu pengetahuan, yaitu teoretis. Seba­gai­­mana halnya dengan kaum ko­munis, kaum sekularis (penganut pa­ham dan filsafat sekularisme, suatu susunan kepercayaan dan nilai yang independen) juga tidak mungkin menjadi seorang religius.

Tetapi, religiusitas seseorang boleh jadi terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk yang ber­beda itu menjadi dimensi-dimensi re­ligiusitas. Per­tama, seseorang bo­leh jadi me­nempuh reli­giusitas da­lam ben­­tuk pene­ri­maan ajaran-ajar­an agama bersangkutan, tanpa merasa perlu bergabung dengan ke­lompok atau organisasi para peng­anut agama tersebut. Boleh jadi pula ia bergabung dan menjadi ang­gota setia suatu kelompok ke­agama­an, tetapi sesungguhnya ia tidak meng­hayati, malah mungkin tidak peduli dengan ajaran-ajaran agama kelompok tersebut. Kedua, dari segi tujuan, mungkin religiusitas yang dimilikinya itu, baik berupa peng­anut ajaran-ajaran maupun peng­gabungan diri ke dalam kelompok keagamaan, adalah semata-mata karena kegunaan intrinsik reli­giusitas tersebut. Dan boleh jadi pula, bukan karena kegunaan atau manfaat intrinsik itu, melainkan kegunaan atau manfaat yang justru terletak di luar religiusitas tersebut, yaitu tujuan-tujuan ekstrinsik.

Berdasarkan kemungkinan-ke­mungkinan tersebut, meskipun untuk keperluan analisis tidak bisa dihindari sepenuhnya penyeder­hanaan-penyederhanaan, maka terdapat empat dimensi re­ligiusi­tas: budaya in­trinsik dan bu­daya eks­trinsik, serta sosial in­trinsik dan sosial ekstrinsik.

Sekarang, kita tiba pada pem­bahasan hu­bungan antara re­li­giusitas individu dan religiusitas ma­syarakat. Mes­kipun religiusitas individu dalam suatu masyarakat akan mempunyai pengaruh pada religiusitas ma­syarakat itu, namun tidaklah benar bahwa religiusitas ma­syarakat dapat diukur dengan “men­jumlah” reli­giusitas anggota-ang­gotanya. Con­toh paling mudah ialah masyarakat Rusia sekarang ini. Dalam menilai religiusitas ma­sya­rakat, kita harus memperhatikan karakteristik-karak­teristik struktural dan umum sistem itu secara kese­luruh­an—yaitu ting­kat diferensiasi dan otonomi sektor-sektor  ke­aga­maan dalam hu­bungan­nya dengan sektor-sektor sosial lainnya, lokasi strategis atau tidak strategis para pe­mimpin agama, hubungan antar­berbagai kelompok keagamaan dan seterus­nya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor sosial kultural, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan lokasi dan hubungan-hubungan antarberbagai kelompok.

0 Comment