Agama Universal
Tesis yang sangat umum adalah bahwa Tuhan mengirim
utusan kepada setiap umat, Pada setiap umat ada seorang rasul (Q., 10:
47). Artinya, setiap ada sekumpulan manusia di mana pun pasti pernah muncul
seorang guru besar. Selalu ada hikmah dalam suatu ungkapan bahasa mana pun,
karena Nabi sendiri pernah berkumpul dengan siapa saja. Bahkan Al-Quran mengajarkan
kepada kita agar percaya kepada semua nabi. Menurut sebagian ulama, nabi yang
wajib untuk dipercayai berjumlah 25. Tetapi di dalam Al-Quran sendiri tidak
dikatakan bahwa nabi berjumlah 25, sehingga di kalangan ulama masih ada
perselisihan pendapat, apakah Zulkarnain yang disebut dalam surat Al-Kahfi dan
Lukman dalam surat Luqmân memiliki kedudukan sebagai nabi atau bukan.
Perselisihan ini muncul karena adanya pernyataan dalam Al-Quran bahwa, Ada
beberapa rasul yang Kami kisahkan kepadamu sebelumnya dan beberap rasul yang
tidak Kami kisahkan kepadamu (Q., 4: 164). Menurut para ulama, nabi yang
tidak disebutkan justru lebih banyak, dan al-Ghazali memperkirakannya
berjumlah 113. Sebagian diceritakan dalam Al-Quran dan sebagian lagi
diceritakan dalam Bibel, tetapi banyak sekali yang tidak diceritakan dalam
keduanya. Maka tidak mengherankan kalau Kong Hu Cu dipandang sebagai nabi oleh
Hamka; atau Budha Gautama kemungkinan juga nabi. Malah sementara pendapat mengatakan
bahwa Budha Gautama adalah Dzulkifli karena nama ini berarti orang yang
berasal dari Kapilawastu (nama asal Budha). Memang, selalu terbuka
kemungkinan-kemungkinan. Dengan demikian, penyebutan Islam sebagai agama
universal bisa dalam pengetian bahwa dari Islam bisa dibawa ke mana-mana dan
dari mana-mana bisa dibawa ke Islam.
cd
AGAMA: EMPIRIS DAN SUPRA EMPIRIS
Pengertian empiris dan supra-empiris dalam agama
sangat mendekati pengertian empiris dan non-empiris (teoretis) dalam ilmu pengetahuan.
Tetapi, dalam hal ini, sifat penting yang membedakan agama dari ilmu pengetahuan
ialah adanya konsepsi kegaiban atau alam gaib pada istilah non-empiris. Karena
itu, istilah supra-empiris adalah lebih tepat.
Religiusitas seseorang ialah tingkah lakunya yang
sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaannya kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu
kenyataan-kenyataan supra-empiris. Ia melakukan sesuatu yang empiris
sebagaimana layaknya. Tetapi ia meletakkan harga dan makna tindakan
empirisnya itu di bawah yang supra-empiris. Menurut pengertian ini, seorang
komunis tidak mungkin memiliki religiusitas. Disebabkan oleh filsafatnya, seorang
komunis tidak mengenal perbedaan antara yang empiris dan supra-empiris dalam
pengertian alam nyata dan alam gaib. Non-empirisme pada filsafat komunis hanya
mencapai tingkat pengertian seperti dikehendaki oleh ilmu pengetahuan, yaitu
teoretis. Sebagaimana halnya dengan kaum komunis, kaum sekularis (penganut
paham dan filsafat sekularisme, suatu susunan kepercayaan dan nilai yang
independen) juga tidak mungkin menjadi seorang religius.
Tetapi, religiusitas seseorang boleh jadi terwujud
dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk yang berbeda itu menjadi dimensi-dimensi
religiusitas. Pertama, seseorang boleh jadi menempuh religiusitas
dalam bentuk penerimaan ajaran-ajaran agama bersangkutan, tanpa merasa
perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi para penganut agama tersebut.
Boleh jadi pula ia bergabung dan menjadi anggota setia suatu kelompok keagamaan,
tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati, malah mungkin tidak peduli dengan
ajaran-ajaran agama kelompok tersebut. Kedua, dari segi tujuan, mungkin
religiusitas yang dimilikinya itu, baik berupa penganut ajaran-ajaran maupun
penggabungan diri ke dalam kelompok keagamaan, adalah semata-mata karena
kegunaan intrinsik religiusitas tersebut. Dan boleh jadi pula, bukan karena
kegunaan atau manfaat intrinsik itu, melainkan kegunaan atau manfaat yang
justru terletak di luar religiusitas tersebut, yaitu tujuan-tujuan ekstrinsik.
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut,
meskipun untuk keperluan analisis tidak bisa dihindari sepenuhnya penyederhanaan-penyederhanaan,
maka terdapat empat dimensi religiusitas: budaya intrinsik dan budaya ekstrinsik,
serta sosial intrinsik dan sosial ekstrinsik.
Sekarang, kita tiba pada pembahasan hubungan antara
religiusitas individu dan religiusitas masyarakat. Meskipun religiusitas
individu dalam suatu masyarakat akan mempunyai pengaruh pada religiusitas masyarakat
itu, namun tidaklah benar bahwa religiusitas masyarakat dapat diukur dengan
“menjumlah” religiusitas anggota-anggotanya. Contoh paling mudah ialah
masyarakat Rusia sekarang ini. Dalam menilai religiusitas masyarakat, kita
harus memperhatikan karakteristik-karakteristik struktural dan umum sistem itu
secara keseluruhan—yaitu tingkat diferensiasi dan otonomi sektor-sektor keagamaan dalam hubungannya dengan
sektor-sektor sosial lainnya, lokasi strategis atau tidak strategis para pemimpin
agama, hubungan antarberbagai kelompok keagamaan dan seterusnya.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor sosial kultural, yaitu
faktor-faktor yang berkaitan dengan lokasi dan hubungan-hubungan antarberbagai
kelompok.
0 Comment