AHLI KITÂB DAN SYIRIK
Terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan para
ulama tentang apakah kaum ahl al-kitâb itu termasuk musyrik ataukah
tidak. Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa mereka itu musyrik, dengan akibat-akibat
kehukuman (legal) tertentu sebagaimana berlaku para kaum musyrik.
Tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat bahwa kaum ahl al-kitâb itu termasuk kaum
musyrik. Salah seorang dari mereka yang dengan tegas berpendapat bahwa kaum ahl
al-kitâb bukanlah kaum musyrik ialah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah menyebut
tentang adanya pernyataan dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar bahwa kaum ahl al-kitâb,
khususnya kaum Nasrani, adalah musyrik, karena mengatakan bahwa Tuhan mereka
ialah Isa putera Maryam. Ibn Taymiyah menolak pandangan itu, dengan argumen
antara lain sebagai berikut: Sesungguhnya ahl al-kitâb tidaklah
termasuk ke dalam kaum musyrik. Ia tidak menjadikan (memandang) ahl
al-kitâb sebagai kaum musyrik berdasarkan dalil firman Allah: Mereka yang beriman (kepada Al-Quran),
orang-orang Yahudi, kaum Shâbi’în, kaum Nasrani, kaum Majusi, dan kaum
musyrik.....(Q., 22: 17). Kalau dikaakan bahwa Allah telah menyifati
mereka itu dengan syirik dalam firmannya, Mereka memilih ahbar dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhan)
Almasîh putera Maryam, padahal yang diperintahkan kepada mereka hanya
untuk menyembah Tuhan Yang Tunggal;
tiada tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan
(Q., 9:31), karena mereka telah melakukan syirik. Dan karena syirik itu adalah
suatu hal yang mereka ada-adakan (sebagai bid‘ah) yang tidak diperintahkan
oleh Allah, maka wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal
usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan (dari Allah) yang
membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa dengan
alasan ini ahl al-kitâb itu bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci
yang berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, hal ini sama dengan
mengatakan bahwa dengan alasan ini kaum Muslim dan umat Muhammad tidak
terdapat syirik, juga tidak ada paham ittihâdiyyah (monisme), rafdliyyah
(paham politik yang menolak keabsahan tiga khalifah pertama), penolakan paham
qadar (paham kemampuan manusia untuk memilih; dapat juga yang
dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir), ataupun bid‘ah-bid‘ah yang
lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong umat [Islam] menciptakan
bid‘ah-bid‘ah itu, namun umat Muhammad Saw. tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
Karena itu selalu ada dari mereka orang yang mengikuti ajaran Tauhid, lain
dari kaum ahl al-kitâb. Dan Allah ‘azza wa jalla tidak pernah
memberitakan tentang ahl al-kitâb itu dengan nama “musyrik”.
Pandangan yang persis sama dengan yang di atas itu
juga dikemukakan oleh Rasyîd Ridlâ dalam tafsir al Manâr yang terkenal, dengan
elaborasi argumennya yang lebih luas dan lengkap. Pandangan ini penting
sekali, sebab akan berkaitan dengan hal-hal praktis sehari-hari yang timbul
dari konsekuensi kehukuman (legal) tentang kaum ahl al-kitâb
itu, sejak dari masalah sah-tidaknya perkawinan dengan mereka sampai kepada
soal halal-haramnya makanan mereka.
cd
AHL AL KITÂB DI LUAR YAHUDI DAN NASRANI
Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para
ulama, apakah ada ahl al-kitâb di luar kaum Yahudi dan Nasrani. Al Quran
sendiri, seperti telah diterangkan, menyebutkan kaum Yahudi dan Nasrani
sebagai yang jelas-jelas ahl al-kitâb. Tetapi juga menyebutkan beberapa
kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Shâbi’în, yang dalam konteksnya
memberi kesan seperti tergolong ke dalam ahl al-kitâb. Digabung dengan
ketentuan dalam praktek Nabi bahwa beliau memungut jizyah dari kaum Majusi di
Hajar dan Bahrain, kemudian praktek ‘Umar ibn al-Khaththâb memungut jizyah
dari kaum Majusi Persia serta ‘Utsmân ibn ‘Affân memungut jizyah dari kaum Berber
di Afrika Utara, maka banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan ahl
al-kitâb di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab, jizyah dibenarkan dipungut
hanya dari kaum ahl al-kitâb (yang hidup damai dalam Negeri Islam), dan
tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk ahl al-kitâb seperti
kaum Musyrik (yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini). Berkenaan
dengan ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang bahwa Nabi
memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti memperlakukan kepada
kaum ahl al-kitâb, seperti dituturkan oleh Ibn Taymiyah: “...Karena
itulah Nabi Saw. bersabda tentang kaum Majusi, “Jalankanlah Sunnah kepada
mereka seperti Sunnah kepada ahl al-kitâb”, dan beliau pun membuat perdamaian
dengan penduduk Bahrain yang di antaranya ada kaum Majusi, dan para khalifah
serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini.
Terhadap penuturan Ibn Taymiyah itu Dr. Muhammad
Rasyâd Sâlim memberi catatan penting yang cukup lengkap, demikian:
Dalam kitab al Muwaththa’, ada sebuah hadis
dari Ibn Syihâb, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw. memungut
jizyah dari kaum Majusi Bahrain, dan bahwa ‘Umar ibn al Khaththâb memungutnya
dari kaum Majusi Persia, dan bahwa ‘Utsmân ibn ‘Affân memungutnya dari kaum
Berber. Dalam hadis lainnya, ‘Umar ibn al Khaththâb membicarakan kaum Majusi,
kemudian ia berkata, “Saya tidak tahu, bagaimana aku harus berbuat terhadap mereka?”
Maka ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf menyahut, “Aku bersaksi, sungguh telah kudengar
Rasulullah Saw. bersabda, “Jalankanlah Sunnah kepada mereka seperti Sunnah
kepada ahl al-kitâb”. Dalam kitab al Bukhârî dinyatakan bahwa ‘Umar r.a.
tidak memungut jizyah dari kaum Majusi sehingga ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf bersaksi
bahwa Rasulullah Saw. memungutnya dari kaum Majusi Hajar. Bahkan dikatakan
pula dari ‘Amr ibn ‘Auf al Anshârî bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abû ‘Ubaidah
ibn al Jarrâh ke Bahrain untuk membawa jizyahnya.
Muhammad Rasyîd Ridlâ juga mengutip sebuah hadis yang
di dalamnya ‘Alî ibn Abî Thâlib menegaskan bahwa kaum Majusi adalah tergolong
ahl al-kitâb. Adapun lengkap hadisnya adalah, “Abd ibn Hamîd dalam
tafsirnya atas surat Al Burûj meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibn
Abzâ, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia, ‘Umar berkata,
“Berkumpullah kalian!” (yakni berkata kepada para Sahabat, “Berkumpullah kalian
untuk musyawarah”, sebagaimana hal itu telah menjadi Sunnah yang diikuti
dengan baik dan kewajiban yang semestinya). Kemudian Umar berkata, “Sesungguhnya
kaum Majusi itu bukanlah ahl al-kitâb sehingga dapat kita pungut jizyah
dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan
hukum yang berlaku.” Maka ‘Alî menyahut, “Sebaliknya, mereka adalah ahl
al-kitâb!”.
Rasyîd Ridlâ membahas masalah ini dalam ulasan dan
tafsirnya terhadap Q., 5: 5, berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita ahl
al-kitâb dan memakan makanan mereka. Rasyîd Ridlâ menegaskan bahwa di
luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat ahl al-kitâb, dan dia
menyebut tidak saja kaum Majusi (Zoroastri) dan Shâbi‘în, tetapi juga Hindu,
Budha dan Konfusianisme (Khonghucu). Pembahasan yang sangat menarik oleh
Rasyîd Ridlâ dapat kita ikuti dalam kitab tafsirnya, al Manâr, demikian:
Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan
Shâbi’în. Kaum Shâbi’în bagi Abû Hanîfah adalah sama dengan ahl al-kitâb.
Begitu pula kaum Majusi bagi Abû Tsaur. Ini berbeda dari banyak kalangan yang
berpendapat bahwa mereka itu diperlakukan sebagai ahl al-kitâb hanya
dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadis tentang hal ini,
“Jalankanlah Sunnah kepada mereka seperti Sunnah kepada ahl al-kitâb,
tanpa memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka”. Tetapi
pengecualian ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis,
meski hal itu terkenal di kalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa
kedua kelompok itu adalah kelompok ahl al-kitâb yang kehilangan kitab
sucinya akibat oleh lamanya waktu.
(Pendapat para ahli fiqih) itu pula yang dahulu pernah
menjadi pendirian saya sebelum menemukan kutipan dari salah seorang kaum Salaf
dan ulama ahli agama-agama dan sejarah dari kalangan kita, dan telah pula saya
sebutkan dalam al Manâr beberapa kali. Kemudian saya temukan dalam kitab
al Farq bayn al Firâq karangan Abû Manshûr ‘Abd al Qâhir ibn Thâhir al Baghdâdî
(wafat tahun 426 H.) dalam konteks pembahasan tentang kaum Bâthiniyyah: “Kaum
Majusi itu mempercayai kenabian Zarathustra dan turunnya wahyu kepadanya
dari Allah Ta‘âlâ, kaum Shâbi‘în mempercayai kenabian Hermes, Walis (?),
Plato, dan para filosof serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok
dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka
percayai kenabiannya, dan mereka katakan bahwa wahyu itu mengandung perintah,
larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta
tentang surga dan neraka yang di sana ada balasan bagi amal perbuatan yang telah
lewat.” Kemudian dia [al Baghdâdi] menyebutkan bahwa kaum Bâthiniyyah
mengingkari itu semua.
Rasyîd Ridlâ menerangkan lebih lanjut dengan
menyebutkan bahwa pengertian “ahl al-kitâb” sebenarnya tidak boleh
dibatasi hanya kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga meliputi kaum
Shâbi’în, Majusi, kaum Hindu, Budha dan Konfusius. Keterangan Rasyîd Ridlâ
adalah demikian:
Yang nampak ialah bahwa Al Quran menyebut para
penganut agama-agama terdahulu, kaum Shâbi’în dan Majusi, dan tidak menyebut
kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius karena kaum Shâbi’în
dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula Al Quran,
karena kaum Shâbi’în dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak
dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke
India, Jepang dan Cina sehingga tidak mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan
ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh
bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrâb)
dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi sasaran
pembicaraan itu di masa turunnya Al Quran, berupa penganut agama-agama yang
lain. Setelah itu, tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang menjadi
sasaran pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan
perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain.
Sudah diketahui bahwa Al Quran jelas menerima jizyah dari kaum ahl al-kitâb, dan tidak disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi Saw. pun, begitu pula para khalifah r.a., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar dan Persia sebagaimana disebutkan dalam dua kitab hadis yang sahih (Bukhârî Muslim) dan kitab-kitab hadis yang lain. Dan Imam Ahmad, al Bukhârî, Abû Dâud, dan al Turmudzî serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadis ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf bahwa dia bersaksi untuk ‘Umar tentang hal tersebut ketika ‘Umar mengajak para Sahabat untuk bermusyawarah mengenai hal itu. Mâlik dan al Syâfi‘î meriwayatkan dari ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf bahwa ia berkata: “Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Jalankanlah Sunnah kepada mereka seperti Sunnah kepada ahl al-kitâb”. Sekalipun sanad-nya ada keterputusan, dan pengarang kitab al Muntaqâ dan lain-lainnya menggunakan hadis itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak terhitung ahl al-kitâb. Tapi pandangan ini lemah, sebab penggunaan umum perkataan “ ahl al-kitâb” untuk dua kelompok manusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan sifat-sifat khusus kepada mereka, namun tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada ahl al-kitâb selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al Mîzân) agar manusia bertindak dengan keadilan. Sebagaimana juga penggunaan umum gelar “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada orang lain.
Demikianlah keterangan dari Rasyîd Ridlâ tentang pengertian ahl al-kitâb, sebagaimana ia dasarkan kepada berbagai sumber yang ia ketahui. Seperti sudah dikemukakan, sesungguhnya para ulama berselisih pendapat tentang hal ini, khususnya tentang golongan selain Yahudi dan Nasrani. Keterangan pemikir Islam yang amat terkenal itu kiranya akan berguna bagi kita sebagai bahan pertimbangan.
0 Comment