PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AHLI KITÂB DAN SYIRIK

Terdapat beberapa perbedaan pandangan di kalangan para ulama tentang apakah kaum ahl al-kitâb itu termasuk musyrik ataukah tidak. Sebagian kecil ulama me­ngatakan bahwa mereka itu mu­syrik, dengan a­ki­bat-akibat ke­hukuman (legal) tertentu se­ba­gai­mana berlaku pa­ra kaum mu­syrik. Tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat bahwa  kaum ahl al-kitâb itu ter­ma­suk kaum mu­syrik. Salah se­orang dari mereka yang dengan tegas berpendapat bahwa kaum ahl al-kitâb bukanlah kaum mu­syrik ialah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah me­nyebut tentang adanya pernyataan dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar bahwa kaum ahl al-kitâb, khususnya kaum Nasrani, adalah musyrik, karena mengatakan bahwa Tuhan mereka ialah Isa putera Maryam. Ibn Tay­miyah menolak pandangan itu, dengan argumen antara lain sebagai ber­ikut: Sesungguhnya ahl al-kitâb tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrik. Ia tidak menjadikan (me­mandang) ahl al-kitâb sebagai kaum musyrik berdasarkan dalil firman Allah:  Mereka yang beriman (kepada Al-Quran), orang-orang Yahudi, kaum Shâbi’în, kaum Nas­rani, kaum Majusi, dan kaum musyrik.....(Q., 22: 17). Kalau dikaakan bahwa Allah telah me­nyifati mereka itu dengan syirik dalam firmannya, Mereka memilih ahbar dan rahib-rahib mereka se­bagai Tuhan se­lain Allah, dan (mereka mem­per­tuhan) Almasîh putera Maryam, padahal yang di­pe­rin­tahkan ke­pada mereka ha­nya untuk me­nyem­bah Tuhan Yang Tunggal;  tiada tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan (Q., 9:31), karena mereka telah melakukan syirik. Dan karena syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan (sebagai bid‘ah) yang tidak dipe­rin­tahkan oleh Allah, maka wajib­lah mereka itu dibe­da­kan dari kaum musyrik, sebab asal usul agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan (dari Allah) yang membawa ajaran Tau­hid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa dengan alasan ini ahl al-kitâb itu bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang berkaitan de­ngan mereka itu tidak mengandung syirik, hal ini sama dengan mengatakan bahwa dengan alasan ini kaum Mus­lim dan umat Muhammad tidak terdapat syirik, juga tidak ada paham ittihâ­diyyah (monisme), rafdliyyah (paham poli­tik yang menolak keabsahan tiga khalifah perta­ma), penolakan paham qadar (pa­ham kemampuan manusia untuk memilih; dapat juga yang dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir), ataupun bid‘ah-bid‘ah yang lain. Meskipun se­ba­gian mereka yang tergolong umat [Islam] menciptakan bid‘ah-bid‘ah itu, namun umat Muhammad Saw. tidak akan bersepakat dalam ke­sesatan. Karena itu selalu ada dari me­reka orang yang mengikuti ajaran Tauhid, lain dari kaum ahl al-kitâb. Dan Allah ‘azza wa jalla tidak pernah memberitakan tentang ahl al-kitâb itu dengan nama “mu­syrik”.

Pandangan yang persis sama dengan yang di atas itu juga dike­mukakan oleh Rasyîd Ri­dlâ dalam tafsir al Manâr yang terkenal, de­ngan elaborasi argumennya yang lebih luas dan leng­kap. Pandangan ini penting sekali, sebab akan ber­kaitan dengan hal-hal praktis se­hari-hari yang timbul dari kon­sekuensi kehukuman (legal) tentang kaum ahl al-kitâb itu, sejak dari masalah sah-tidaknya perkawinan dengan mereka sampai kepada soal halal-haramnya makanan mereka.

cd

 AHL AL KITÂB DI LUAR YAHUDI DAN NASRANI

Terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah ada ahl al-kitâb di luar kaum Yahudi dan Nasrani. Al Quran sendiri, seperti telah dite­rang­kan, menyebutkan kaum Ya­hudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas ahl al-kitâb. Tetapi juga menyebutkan beberapa ke­lompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Shâbi’în, yang dalam konteksnya memberi kesan seperti tergolong ke dalam ahl al-kitâb. Digabung de­ngan ketentuan dalam praktek Nabi bahwa beliau me­mungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain, kemudian praktek ‘Umar ibn al-Khath­thâb memungut jizyah dari kaum Majusi Persia serta ‘Utsmân ibn ‘Affân memungut jizyah dari kaum Ber­ber di Afrika Utara, maka banyak ulama yang me­nyimpulkan adanya golongan ahl al-kitâb di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab, jizyah dibenarkan di­pungut hanya dari kaum ahl al-kitâb (yang hi­dup damai dalam Negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk ahl al-kitâb seperti kaum Musyrik (yang umat Islam tidak boleh ber­damai dengan mereka ini). Ber­kenaan dengan ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Ma­jusi seperti memperlakukan kepada kaum ahl al-kitâb, seperti ditu­turkan oleh Ibn Taymiyah: “...Karena itulah Nabi Saw. ber­sabda tentang kaum Majusi, “Jalan­kanlah Sunnah ke­pa­da mereka seperti Sunnah kepada ahl al-kitâb”, dan beliau pun membuat per­da­maian de­ngan penduduk Bahrain yang di antaranya ada kaum Ma­jusi, dan para khalifah ser­ta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini.

Terhadap penuturan Ibn Taymi­yah itu Dr. Muhammad Rasyâd Sâlim memberi catatan pen­ting yang cukup lengkap, demikian:

Dalam kitab al Muwaththa’, ada sebuah hadis dari Ibn Syihâb, ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw. me­mung­ut jizyah dari kaum Majusi Bahrain, dan bahwa ‘Umar ibn al Khaththâb memungutnya dari kaum Majusi Persia, dan bahwa ‘Utsmân ibn ‘Affân me­mu­ngutnya da­ri kaum Berber. Dalam hadis lainnya, ‘Umar ibn al Khath­thâb membicara­kan kaum Majusi, kemudian ia berkata, “Saya tidak tahu, bagaimana aku harus ber­buat terhadap me­reka?” Maka ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf menyahut, “Aku bersaksi, sung­guh telah ku­dengar Rasulullah Saw. bersabda, “Jalankanlah Sunnah kepada mereka seperti Sunnah ke­pada ahl al-kitâb”. Dalam kitab al Bukhârî dinyatakan bahwa ‘Umar r.a. tidak memungut jizyah dari kaum Majusi sehingga ‘Abd al Rah­mân ibn ‘Auf bersaksi bahwa Ra­sulul­lah Saw. me­mungutnya dari kaum Majusi Hajar. Bahkan dika­takan pula dari ‘Amr ibn ‘Auf al Anshârî bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abû ‘Ubaidah ibn al Jarrâh ke Bahrain un­tuk membawa jizyah­nya.

Muhammad Rasyîd Ridlâ juga mengutip sebuah hadis yang di dalamnya ‘Alî ibn Abî Thâ­­lib menegaskan bahwa kaum Majusi adalah tergolong ahl al-kitâb. Adapun lengkap hadisnya adalah, “Abd ibn Hamîd dalam tafsirnya atas surat Al Burûj meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibn Abzâ, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia, ‘Umar berkata, “Berkumpullah kalian!” (yakni berkata kepada para Sahabat, “Berkumpul­lah ka­lian un­tuk musyawarah”, sebagaimana hal itu telah menjadi Sunnah yang diikuti dengan baik dan kewajiban yang semestinya). Kemudian Umar ber­kata, “Sesung­guhnya kaum Majusi itu bukanlah ahl al-kitâb se­hingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan hukum yang ber­laku.” Maka ‘Alî menyahut, “Seba­lik­nya, mereka adalah ahl al-kitâb!”.

Rasyîd Ridlâ membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya ter­hadap Q., 5: 5, berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb dan memakan makan­an mereka. Rasyîd Ridlâ mene­gas­kan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat ahl al-kitâb, dan dia menyebut tidak saja kaum Majusi (Zoroastri) dan Shâ­bi‘în, tetapi juga Hindu, Budha dan Konfusianisme (Khonghucu). Pem­bahasan yang sangat menarik oleh Rasyîd Ridlâ da­pat kita ikuti da­lam kitab tafsir­nya, al Manâr, de­mi­kian:

Para ahli fiqih berselisih me­nge­nai kaum Ma­jusi dan Shâbi’în. Ka­um Shâbi’în bagi Abû Hanîfah a­da­lah sama de­ngan ahl al-kitâb. Begitu pula kaum Majusi bagi Abû Tsaur. Ini ber­beda dari banyak kalangan yang ber­pendapat bahwa mereka itu diper­lakukan sebagai ahl al-kitâb hanya dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadis tentang hal ini, “Jalan­kan­lah Sun­nah kepada mereka se­perti Sunnah kepada ahl al-kitâb, tan­pa mema­kan sembelihan mereka dan meni­kahi wanita mereka”. Tetapi penge­cualian ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis, meski hal itu terkenal di ka­langan para ahli fiqih. Dan di­kata­kan bahwa kedua kelompok itu adalah kelompok ahl al-kitâb yang ke­hilang­an kitab sucinya akibat oleh lamanya waktu.

(Pendapat para ahli fiqih) itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya sebelum menemu­kan kutipan dari salah seorang kaum Salaf dan ulama ahli aga­ma-agama dan sejarah dari kalangan kita, dan telah pula saya se­but­kan dalam al Ma­nâr beberapa kali. Kemudian saya temukan da­lam kitab al Farq bayn al Firâq karangan Abû Manshûr ‘Abd al Qâhir ibn Thâhir al Ba­gh­dâdî (wafat tahun 426 H.) dalam konteks pembahas­an tentang kaum Bâthiniyyah: “Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Za­rathustra dan tu­runnya wahyu kepa­danya dari Allah Ta‘âlâ, kaum Shâbi‘în mempercayai ke­na­bian Hermes, Walis (?), Plato, dan para filosof serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka percayai kena­bian­nya, dan mereka katakan bah­wa wahyu itu me­ngandung pe­rin­tah, larangan, berita tentang akibat kematian, ten­tang pahala dan siksa, serta tentang surga dan neraka yang di sana ada balasan bagi amal perbuatan yang te­lah lewat.” Ke­mu­dian dia [al Bagh­dâdi] menye­butkan bahwa kaum Bâthiniyyah mengingkari itu se­mua.

Rasyîd Ridlâ menerangkan lebih lanjut dengan menyebutkan bahwa pengertian “ahl al-kitâb” sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, te­tapi juga meliputi kaum Shâbi’în, Majusi, kaum Hindu, Budha dan Konfusius. Keterangan Rasyîd Ridlâ adalah demikian:

Yang nampak ialah bahwa Al Quran menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Shâbi’în dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Kon­fusius karena kaum Shâbi’în dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula Al Quran, karena kaum Shâbi’în dan Majusi itu berada ber­dekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) be­lum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga tidak mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat ke­terangan yang terasa asing (ighrâb) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang men­jadi sasaran pembicaraan itu di masa turunnya Al Quran, berupa pe­ng­anut agama-agama yang lain. Setelah itu, tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang menjadi sasaran pembicaraan (wahyu) itu bah­wa Allah juga akan membuat ke­putusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain.

Sudah diketahui bahwa Al Quran jelas menerima jizyah dari kaum ahl al-kitâb, dan ti­dak disebutkan bahwa jizyah itu di­pungut dari golongan selain mere­ka. Maka Nabi Saw. pun, begitu pula para khalifah r.a., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi mene­ri­ma­nya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar dan Persia se­bagaimana di­sebutkan dalam dua kitab hadis yang sahih (Bukhârî Muslim) dan kitab-kitab hadis yang lain. Dan Imam Ahmad, al Bu­khârî, Abû Dâud, dan al Turmudzî serta lain-la­innya telah meri­wayat­kan bahwa Nabi Saw. memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadis ‘Abd al­ Rahmân ibn ‘Auf  bah­wa dia bersaksi untuk ‘Umar ten­tang hal tersebut ketika ‘Umar mengajak para Sahabat untuk ber­musyawarah mengenai hal itu. Mâlik dan al Syâ­fi‘î meriwayatkan dari ‘Abd al Rahmân ibn ‘Auf bahwa ia ber­kata: “Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Jalan­kanlah Sunnah kepada mereka seper­ti Sunnah kepada ahl al-kitâb”. Sekalipun sanad-nya ada keter­putusan, dan pengarang kitab al Muntaqâ dan lain-lainnya meng­gunakan hadis itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak ter­hitung ahl al-kitâb. Tapi pan­dangan ini lemah, sebab peng­gunaan umum perkataan “ ahl al-kitâb” untuk dua kelompok ma­nusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tam­bahan sifat-sifat khusus kepada mereka, namun ti­dak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada ahl al-kitâb selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al Mîzân) agar manusia bertindak dengan keadilan. Seba­gaimana juga peng­gu­naan umum gelar “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada orang lain.

Demikianlah keterangan dari Rasyîd Ridlâ tentang pengertian ahl al-kitâb, sebagaimana ia dasarkan kepada berbagai sumber yang ia ketahui. Seperti sudah dikemuka­kan, sesungguhnya para ulama ber­selisih pendapat tentang hal ini, khu­susnya tentang golongan selain Yahudi dan Nasrani. Keterangan pe­mikir Islam yang amat terkenal itu kiranya akan berguna bagi kita sebagai bahan pertimbangan.

0 Comment