PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AHLI KITÂB ITU TIDAK SAMA

Al-Quran menerangkan bahwa kaum ahl al-kitâb itu tidak semua­nya sama:

Mereka tidaklah semuanya sama. Di antara kaum ahl al-kitâb ter­dapat umat yang teguh (konsisten), yang membaca ayat-ayat (ajaran-ajaran) Allah di tengah malam, sam­bil bersujud (beribadah). Mereka ber­iman kepada Allah dan Hari Kemudian, menganjurkan yang baik dan mencegah yang jahat, serta ber­gegas kepada berbagai kebaikan. Mereka adalah tergolong orang-orang yang baik (shalih). Apa pun kebaik­an yang mereka kerjakan tidak akan diingkari, dan Allah Mahatahu tentang orang-orang yang bertaqwa (Q., 3: 113-115).

Sudah tentu terdapat kelompok-kelompok Islam yang tidak merasa begitu kenal dengan pandangan positif-optimis terhadap kaum agama lain semacam itu. Penye­bab­nya bisa karena kebetulan tidak mengetahui adanya firman tersebut, atau tidak memahaminya, atau ter­kalahkan oleh expediency sosiologis-psikologisnya sehingga tidak mau menerima makna terang firman itu dan bersandar kepada tafsiran yang mencoba memodifikasinya. Dalam umat Islam, masalah ini merupakan kerumitan tersendiri, sama dengan kerumitan serupa di semua kelom­pok agama. Namun adanya teks suci yang dapat dibaca dan se­cara lahiriah me­nunjukkan mak­na terse­but, sa­ngat­lah penting untuk mem­per­timbangkannya dengan serius. Pandangan yang inklusivistik sema­cam itu cukup banyak dalam Al-Quran. Pesan sucinya amat jelas, bahwa pe­nya­marataan yang serba gampang bu­kan­lah cara yang benar untuk me­mahami dan mengetahui ha­kikat suatu kenyataan yang kom­pleks. 

cd

AHL AL KITÂB: TIDAK SEMUANYA SAMA

Sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan menen­tang Nabi, kaum Yahudi dan Nas­rani mempunyai sikap yang ber­beda-beda; ada yang keras dan ada pula yang lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti agama mereka. Ini ada­lah sesuatu yang cukup logis, kare­na Nabi mem­bawa agama (“baru”) yang bagi mereka merupa­kan tan­tangan kepada agama yang sudah mapan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara mereka itu ma­sing-masing mengaku agamanya tidak saja yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga merupakan agama terakhir dari Tuhan. Ma­ka tampilnya Na­­bi Mu­ham­mad Saw. dengan agama yang “baru” itu sungguh merupakan gang­­guan kepada me­reka. Karena itu Al Quran mem­per­ingatkan ke­pada Nabi:

Kaum Yahudi dan Nasrani Tidak akan senang kepada engkau (wahai Muhammad) sebelum engkau meng­ikuti agama mereka. Katakanlah (kepada mereka): “ petunjuk Allah- hanya itulah petunjuk [yang se­be­narnya]...  (Q., 2:120).

Walaupun begitu, Al Quran juga menyebutkan bahwa dari kalangan kaum ahl al-kitâb itu ada kelompok-kelompok yang sikapnya terhadap Nabi dan kaum Muslim adalah baik-baik saja, bahkan ada yang secara diam-diam mengakui kebenaran yang datang dari Nabi Saw. Ini misalnya dituturkan ber­ke­naan dengan sikap segolongan kaum Nasrani yang banyak meme­lihara hubungan baik dengan Nabi dan kaum Muslim, yang membuat me­reka itu berbeda dari kaum Yahudi dan Musyrik yang sangat memusuhi Nabi dan kaum Mus­lim:

Akan kaudapati orang yang pa­ling keras memusuhi orang beriman ialah golongan Yahudi dan golongan musyrik. Dan akan kaudapati orang yang paling dekat bersahabat dengan orang beriman, maka mereka ber­kata: “Kami adalah orang Nasrani,” sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang tekun belajar dan rahib-rahib dan mereka tidak me­nyom­bongkan diri. Dan bila mereka men­dengar wahyu yang diturunkan kepada Rasul, kaulihat air mata mereka berlinangan karena penge­tahuan mereka tentang kebenaran. Mereka berkata: “Tuhan! Kami ber­iman. Masukkanlah kami bersama mereka yang sudah menjadi saksi. Kenapa kami tidak harus beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang pernah datang kepada kami, ka­rena kami merindukan Tuhan akan memasukkan kami bersama me­reka yang saleh?”. Dan karena doa mereka Allah telah menganugerahkan kepada mereka taman-taman surga dan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya; tempat tinggal mereka yang abadi. Demikianlah balasannya buat orang yang mengerjakan amal kebaikan.   (Q., 5: 82 85).

Bahwa kaum ahl al-kitâb itu ti­dak semuanya sama, juga dise­butkan dalam Al Quran tentang adanya segolongan mereka yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus-mene­rus beribadat, dengan beriman ke­pa­da Allah dan hari kemudian, serta melakukan amar ma‘ruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan. Lengkapnya, firman Allah itu adalah demikian:

Mereka tidak sama: di antara ahl al-kitâb, ada segolongan yang berlaku jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dan mereka pun bersujud. Mereka percaya pada Allah dan pada hari kemudian; menyuruh orang berbuat benar dan mencegah perbuatan mungkar serta berlomba dalam kebaikan. Mereka termasuk orang yang saleh. Dan perbuatan baik apa pun yang mereka kerjakan niscaya takkan ditinggal­kan. Dan Allah Mahatahu mereka yang bertakwa (Q., 3: 113-115).

Tentang ayat-ayat yang sangat positif dan simpatik kepada kaum ahl al-kitâb itu ada sementara taf­siran bahwa karena sikap mereka yang menerima terhadap kebenaran tersebut maka me­reka bukan lagi kaum ahl al-kitâb, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. Tetapi ka­rena dalam ayat-ayat itu tidak di­sebut­kan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah Muhammad Saw., mes­kipun mereka per­caya kepada Allah dan hari kemudian—sebagaimana agama-agama mere­ka sendiri sudah meng­ajarkan—maka mereka secara langsung atau pun ti­dak langsung termasuk yang “me­nen­tang” Nabi; jadi, mereka bukan golongan Muslim. Namun karena sikap mereka yang positif kepada Nabi dan kaum beriman, maka per­lakuan kepada mereka oleh kaum ber­iman juga dipesan untuk tetap positif dan adil, yaitu selama me­reka tidak memusuhi dan ti­dak pula merampas harta kaum ber­iman:

Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil ter­ha­dap mereka; Allah mencintai orang-orang yang adil. Allah hanya mela­rang kamu dari mereka yang me­merangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari kampung hala­man­mu, dan mendukung (pihak lain) mengusir kamu, mengajak me­re­ka menjadi teman. Barangsiapa men­jadikan mereka teman, mereka itulah orang yang zalim (Q., 60: 8-9).

Maka meskipun Al Quran mela­rang kaum beriman untuk ber­tengkar atau berdebat dengan kaum ahl al-kitâb, khususnya berkenaan dengan masalah agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka kaum beriman dibenarkan untuk membalas se­tim­pal. Ini wajar sekali, dan sesuai de­ngan prinsip universal pergaulan antara sesama manusia. Berkenaan dengan inilah maka ada peringatan dalam Al Quran:

Dan janganlah kamu berbantah dengan ahl al-kitâb, kecuali dengan cara yang lebih baik (dari sekedar bertengkar), selain dengan mereka yang zalim; dan katakanlah, “Kami percaya pada apa yang diturunkan kepada kami dan diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu, dan kepada-Nya kita tunduk [dalam Islam]”(Q., 29: 46). 

cd

  AHL AL KITÂB: YAHUDI   DAN NASRANI

Sebutan “ahl al-kitâb” dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, meskipun mereka ini juga meng­anut kitab suci, yaitu Al Quran. Ahl al-kitâb tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak me­ng­­akui, atau bahkan menentang, ke­nabian dan kerasulan Nabi Mu­hammad Saw. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi Al Quran, mere­ka disebut “kâfir”, yakni, “yang menentang” atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad Saw. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.

Dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad dan ajaran beliau itu dapat dikenali adanya tiga kelompok: (1) mereka yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang me­mi­liki se­ma­cam kitab suci, dan, (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas. Kelompok yang ter­golong me­mi­liki kitab suci yang jelas ini ia­lah kaum Yahudi dan Nas­rani. Mereka inilah yang da­lam Al Quran dengan tegas dan lang­sung disebut kaum ahl al-kitâb.

Kaum Yahudi dan Nasrani mem­­­­punyai kedudukan yang khu­sus dalam pandangan kaum Mus­lim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islâm), dan agama kaum Muslim (Islâm) adalah kelanjutan, pem­betulan, dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang di­sam­paikan oleh Nya kepada semua Nabi. Karena itu sesungguhnya se­luruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saat tampilnya Nabi Muhammad seba­gai penutup para Nabi dan Rasul, karena, menurut Al Quran, ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah me­ng­alami  berba­gai bentuk pe­nyim­pangan. Ini da­pat kita pa­ha­mi dari fir­man-fir­man ber­ikut:

Agama yang sama telah di­sya­­­riatkan ke­padamu, seperti yang diperintahkan kepada Nuh – dan yang Kami wahyukan ke­pa­da­mu – dan yang Kami perintahkan kepa­da Ibrahim, Musa dan Isa; yakni tegakkanlah agama dan janganlah berpecah belah di da­lam­nya. Sukar bagi kamu musyrik [mengikuti] apa yang kauserukan kepada me­reka. Allah memilih untuk Diri-Nya siapa yang Ia kehendaki, dan membimbing kepada-Nya siapa yang mau kembali [kepada-Nya](Q., 42: 13).

 Tetapi umat sesama mereka terpecah belah menjadi ber­ke­lompok-kelompok; setiap golongan sudah merasa senang dengan yang ada pada mereka (Q., 23: 53).

Jadi kedatangan Nabi Muham­mad Saw. adalah untuk men­du­kung, meluruskan kembali dan me­nyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu itu. Nabi Muham­mad adalah hanya salah seorang dari deretan para Nabi dan Rasul yang telah tampil dalam pentas se­ja­­rah umat manusia. Ka­re­na itu para pengikut Nabi Muhammad Saw. diwajibkan percaya kepada para Nabi dan Rasul terdahulu serta kitab-kitab suci mereka. Rukun Iman (Pokok Kepercayaan) Islam, setidak-tidaknya sebagaimana dia­nut golongan terbanyak kaum Mus­lim, mencakup kewajiban beriman kepada para Nabi dan Rasul ter­da­hulu beserta kitab-kitab suci mere­ka, sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran:

Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah, dan apa yang di­tu­runkan kepada kami dan apa yang di­turunkan kepada Ibrahim, Is­ma‘il, Ishaq, Ya’qub dan suku-suku baka dan kepada (kitab-kitab) Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan: kami tidak membeda-bedakan yang seorang dari yang lain di antara mereka dan kepada-Nyalah kami menyerahkan diri [dalam Islam]. Barangsiapa me­nerima agama selain Islam (tun­duk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhir ia termasuk golongan yang rugi (Q., 3: 84-85).

Maka sejalan dengan pandangan dasar itu Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum ahl al-kitâb menu­ju kepada “kalimat kesamaan” (ka­li­matun sawâ’) antara beliau dan me­reka, yaitu, secara prinsip me­nu­ju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhîd. Tetapi juga di­­pesankan bahwa, jika me­reka me­­nolak ajakan menuju kepada “kalimat kesamaan” itu, Nabi dan para pengikut beliau, yaitu kaum ber­iman, harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang-orang yang berserah diri  kepada Allah (muslimûn). Perintah Allah kepada Nabi itu demikian:

Katakanlah: “Wahai ahl al-kitâb! Marilah menggunakan istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa kita takkan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Dia; bahwa kita takkan saling mempertuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, katakanlah: “Saksikanlah bahwa kami orang-orang Muslim [tunduk bersujud kepada kehendak Allah]” (Q., 3: 64).

0 Comment