AHL AL KITÂB
Salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah
konsep tentang para pengikut kitab suci atau ahl al kitâb (baca:
“ahlul-kitâb”, diindonesiakan dan dimudahkan menjadi “Ahli Kitab”). Yaitu
konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang
memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah
sama—suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah
berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsipil—tapi memberi pengakuan sebatas
hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan
agama mereka masing-masing.
Para ahli mengakui keunikan konsep ini dalam Islam.
Sebelum Islam praktis konsep itu tidak pernah ada, sebagaimana dikatakan oleh
Cyril Glassé, “...the fact that one Revelation should name others as
authentic is an extraordinary event in the history of religions”
(...kenyataan bahwa sebuah Wahyu [Islam] menyebut wahyu-wahyu yang lain
sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama). Konsep itu
juga memiliki dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural yang sangat luar biasa,
sehingga Islam benar-benar merupakan ajaran yang pertama kali memperkenalkan
pandangan tentang toleransi dan kebebasan beragama kepada umat manusia.
Bertrand Russel—seorang ateis radikal yang sangat kritis kepada agama-agama misalnya,
mengakui kelebihan Islam atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang
atau “kurang fanatik”, sehingga, menurut Bertrand Russell, sejumlah kecil
tentara Muslim mampu memerintah daerah kekuasaan yang amat luas dengan mudah,
berkat konsep tentang ahl al-kitâb.
Konsep tentang ahl al-kitâb ini juga mempunyai
dampak dalam pengembangan budaya dan peradaban Islam yang gemilang, sebagai
hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat yang terbuka dan toleran.
Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh kalangan para ahli
berkenaan dengan, misalnya, peristiwa pembebasan (fat’h) Spanyol oleh
tentara Muslim (di bawah komando Jenderal Thâriq ibn Ziyâd yang namanya
diabadikan menjadi nama sebuah bukit di pantai Laut Tengah, Jabal
Thâriq—diinggriskan menjadi Gibraltar) pada tahun 711 M. Pembebasan Spanyol
oleh kaum Muslim itu telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah
berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama paling tidak 500 tahun kaum
Muslim menciptakan tatanan sosial-politik yang kosmopolit, terbuka dan
toleran. Semua kelompok agama yang ada, khususnya kaum Muslim sendiri,
beserta kaum Yahudi dan Kristen, mendukung dan menyertai peradaban yang
berkembang dengan gemilang. Kerjasama itu mengakibatkan banyaknya terjadi
hubungan darah (karena kaum Muslim lelaki dibenarkan kawin dengan wanita
non-Muslim ahl al-kitâb), namun tanpa mencampuri agama masing-masing.
Keadaan yang serba serasi dan produktif itu buyar setelah terjadi penaklukan
kembali (reconquesta) atas Semenanjung Iberia, yang kemudian diikuti
dengan konversi atau pemindahan agama secara paksa terhadap kaum Yahudi dan
Islam serta kekejaman-kekejaman yang lain.
Jadi konsep tentang ahl al-kitâb merupakan
salah satu tonggak bagi semangat kosmopolitisme Islam yang sangat terkenal.
Dengan pandangan dan orientasi mondial yang positif itu kaum Muslim di zaman
klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar berdimensi
universal atau internasional, dengan dukungan dari semua pihak. Ini
digambarkan dengan cukup jelas oleh Bernard Lewis (meskipun dia ini adalah
seorang orientalis yang beragama Yahudi), sebagai berikut:
“Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial
yang lancar berlangsung di antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi; sementara
menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu, di
mana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis, hubungan guru-murid dalam ilmu, dan
bentuk-bentuk aktifitas bersama lainnya berjalan normal dan, sungguh, umum
di mana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara. Misalnya,
kita dapatkan kamus-kamus biografi pada dokter yang terkenal. Karya-karya
ini, meskipun ditulis oleh orang-orang Muslim, mencakup para dokter Muslim,
Kristen dan Yahudi tanpa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan dimungkinkan
menyusun semacam proposografi dari profesi kedokteran—untuk melacak garis
hidup beberapa ratus dokter praktek di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini
kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang adanya usaha bersama. Di
rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat praktek pribadi, para dokter dari tiga
agama itu bekerjasama sebagai rekan atau asisten, saling membaca buku
mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid. Tidak ada yang menyerupai
semacam pemisahan yang biasa didapati di dunia Kristen Barat pada masa itu
atau di dunia Islam pada masa kemudian”.
Berdasarkan fakta sejarah itulah, sebagian besar masih
bertahan sampai kini, banyak orang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan
toleransi antarpenganut agama-agama terjamin dalam masyarakat yang
berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak sebaliknya (kecuali dalam masyarakat
negara-negara modern atau maju di Barat). Dalam berita sehari-hari jarang
sekali diketemukan berita tentang masalah golongan non-Muslim di tengah
masyarakat Islam. Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum Muslim
(minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas non Muslim. Kenyataan itu sulit
sekali diingkari, sekalipun setiap gejala sosial-keagamaan juga dapat diterangkan
dari sudut-sudut pandang lain di luar sudut pandangan keagamaan semata.
Jadi konsep tentang ahl al-kitâb merupakan
kemajuan luar biasa dalam sejarah agama-agama sepanjang zaman. Dan itu
sekaligus membuktikan keunggulan konsep-konsep Al Quran dan Sunnah yang kita
semakin perlu untuk memahaminya secara komprehensif dan dalam kaitan
sistemiknya yang lengkap. Sebagaimana halnya dengan ajaran-ajaran prinsipil
lainnya yang selalu relevan namun memerlukan penjabaran operasional dan
praktis dalam konteks ruang dan waktu, maka konsep tentang ahl al-kitâb
menurut Al Quran dan Sunnah itu juga dapat dijabarkan dalam konteks zaman
mutakhir guna memberi responsi yang tepat dan berprinsipil kepada tantangan
sosial yang timbul. Kita renungkan firman Allah kepada Nabi tentang sikap yang
benar terhadap kaum ahl al-kitâb:
Maka dari itu, serulah [mereka] dan tegaklah (dalam pendirian) sebagaimana engkau diperintahkan, serta janganlah engkau turuti keinginan mereka. Dan katakanlah (kepada mereka), “Aku beriman kepada yang diturunkan Allah berupa kitab suci apapun, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil antara kamu sekalian. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu, bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak ada perbantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan hanya kepada Nya lah tempat kembali (Q., 42: 15).
0 Comment