PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


AHL AL KITÂB

Salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau ahl al kitâb (baca: “ahlul-kitâb”, diindo­nesiakan dan dimudahkan menjadi “Ahli Kitab”). Yaitu konsep yang mem­beri pengakuan tertentu kepa­da para penganut agama lain yang memiliki kitab suci. Ini tidaklah berarti memandang semua agama adalah sama—suatu hal yang mus­tahil, mengingat kenyataannya agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prin­sipil—tapi memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk ber­ada (bereksistensi) dengan ke­be­basan menjalankan agama me­re­ka masing-masing.

Para ahli mengakui keunikan konsep ini dalam Islam. Sebelum Islam praktis konsep itu tidak pernah ada, sebagaimana dikatakan oleh Cyril Glassé, “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions” (...kenyataan bahwa sebuah Wahyu [Islam] me­nye­but wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama). Konsep itu juga memiliki dampak sosio-keagamaan dan sosio-kultural yang sangat luar biasa, sehingga Islam benar-benar merupakan ajaran yang pertama kali mem­per­ke­nalkan pandangan tentang to­leransi dan kebebasan beragama ke­pada umat manusia. Bertrand Russel—seorang ateis radikal yang sangat kritis kepada agama-aga­ma misalnya, mengakui kelebihan Islam atas agama-agama yang lain sebagai agama yang lapang atau “kurang fanatik”, se­hingga, me­nurut Bertrand Russell, sejumlah kecil tentara Muslim mampu me­me­rintah daerah kekuasaan yang amat luas dengan mudah, berkat konsep tentang ahl al-kitâb.

Konsep tentang ahl al-kitâb ini juga mempunyai dampak dalam pengembangan budaya dan per­adaban Islam yang gemilang, seba­gai hasil kosmopolitisme ber­dasar­kan tata masyarakat yang terbuka dan toleran. Ini antara lain dicatat dengan penuh penghargaan oleh ka­langan para ahli berkenaan de­ngan, misalnya, peristiwa pem­bebasan (fat’h) Spanyol oleh tentara Muslim (di bawah komando Jen­deral Thâriq ibn Ziyâd yang nama­nya diabadikan menjadi nama sebuah bukit di pan­tai Laut Te­ngah, Jabal Thâriq—diinggriskan menjadi Gibraltar) pada tahun 711 M. Pembebasan Spa­nyol oleh kaum Muslim itu telah mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama paling tidak 500 tahun kaum Muslim menciptakan tatanan sosial-politik yang kos­mo­polit, terbuka dan toleran. Semua kelompok agama yang ada, khu­sus­nya kaum Muslim sendiri, beserta kaum Yahudi dan Kristen, men­dukung dan menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang. Kerjasama itu mengakibatkan ba­nya­knya terjadi hubungan darah (karena kaum Muslim lelaki dibe­narkan kawin dengan wanita non-Muslim ahl al-kitâb), namun tanpa mencampuri agama masing-ma­sing. Keadaan yang serba serasi dan produktif itu buyar setelah terjadi penaklukan kembali (reconquesta) atas Se­me­nan­jung Iberia, yang ke­mu­dian di­ikuti dengan kon­versi atau pe­mindahan agama secara paksa terhadap kaum Yahudi dan Islam serta kekejaman-ke­ke­jaman yang lain. 

Jadi konsep tentang ahl al-kitâb merupakan salah satu tonggak bagi se­mangat kosmopolitisme Islam yang sangat terkenal. Dengan pan­dangan dan orientasi mondial yang positif itu kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang benar-benar ber­dimensi universal atau inter­nasio­nal, dengan dukungan dari semua pihak. Ini digambarkan dengan cu­kup jelas oleh Bernard Lewis (mes­kipun dia ini adalah seorang orien­talis yang beragama Yahudi), seba­gai berikut: 

“Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang lancar ber­langsung di antara kaum Mus­lim, Kristen dan Yahudi; sementara meng­anut agama masing-masing, mereka mem­ben­tuk ma­syarakat yang satu, di mana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis, hubungan guru-murid dalam ilmu, dan ben­tuk-bentuk aktifitas bersama lain­nya berjalan normal dan, sung­guh, umum di mana-mana. Kerjasama bu­daya ini dibuktikan dalam ba­nyak cara. Misalnya, kita dapatkan kamus-kamus bio­grafi pada dok­ter yang ter­kenal. Karya-kar­ya ini, meskipun ditulis oleh o­rang-orang Muslim, mencakup para dok­ter Muslim, Kristen dan Yahudi tan­pa perbedaan. Dari kumpulan besar biografi itu bahkan di­mung­kinkan menyusun semacam pro­posografi dari profesi kedokteran—untuk me­lacak garis hidup be­be­rapa ratus dokter praktek di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini kita men­da­pat­kan gambaran yang jelas tentang ada­nya usaha bersama. Di rumah-rumah sakit dan di tempat-tempat praktek pribadi, para dokter dari tiga agama itu bekerjasama se­ba­gai rekan atau asisten, saling mem­baca buku mereka, dan saling menerima yang lain sebagai murid. Tidak ada yang menyerupai sema­cam pe­misahan yang biasa didapati di du­nia Kristen Barat pada masa itu atau di dunia Islam pada masa kemudian”.

Berdasarkan fakta sejarah itulah, sebagian besar masih bertahan sampai kini, banyak orang me­nya­ta­kan bahwa kebebasan beragama dan toleransi antarpe­nganut aga­ma-agama terjamin dalam ma­sya­rakat yang berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak sebaliknya (kecuali dalam masyarakat negara-negara modern atau maju di Barat). Dalam berita sehari-hari jarang sekali diketemukan berita tentang ma­salah golongan non-Muslim di te­ngah masyarakat Islam. Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum Muslim (minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas non Muslim. Kenyataan itu sulit sekali diingkari, sekalipun se­tiap gejala sosial-keagamaan juga dapat di­terangkan dari sudut-sudut pan­dang lain di luar sudut pandangan keagamaan semata.

Jadi konsep tentang ahl al-kitâb merupakan kemajuan luar biasa dalam sejarah agama-agama se­pan­jang zaman. Dan itu sekaligus mem­buktikan keunggulan konsep-konsep Al Quran dan Sunnah yang kita semakin perlu untuk me­ma­hami­nya secara komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Sebagaimana halnya de­ngan ajaran-ajaran prinsipil lainnya yang selalu relevan namun me­mer­lukan penjabaran operasional dan praktis dalam konteks ruang dan waktu, maka konsep tentang ahl al-kitâb menurut Al Quran dan Sun­nah itu juga dapat dijabarkan dalam konteks zaman mutakhir guna memberi responsi yang tepat dan berprinsipil kepada tantangan sosial yang timbul. Kita renungkan firman Allah kepada Nabi tentang sikap yang benar terhadap kaum ahl al-kitâb:

Maka dari itu, serulah [me­reka] dan tegaklah (dalam pen­dirian) sebagaimana engkau di­pe­rintahkan, serta janganlah engkau turuti keinginan mereka. Dan katakanlah (kepada mereka), “Aku beriman kepada yang diturunkan Allah berupa kitab suci apapun, dan aku di­perin­tah­kan untuk berlaku adil antara kamu sekalian. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan ka­mu, bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Ti­dak ada per­bantahan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan antara kita semua, dan ha­nya kepada Nya lah tempat kembali (Q., 42: 15).

0 Comment