PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Minggu, 12 Februari 2023

 


Ahli Sunnah Wal Jamaah

Terjadinya kesenjangan antara para penguasa Umayyah dengan para sarjana dan ulama sebenarnya mulai terasa segera setelah kon­so­lidasi rezim itu di masa Mu’awiyah, khalifah Damaskus yang pertama. Me­mang, Islam mulai merasakan ketidakberesan di bidang politik sejak masa kekhalifahan Utsman ibn Affan, seorang anggota Bani Umayyah. Kini, dalam rezim Da­maskus, ketidakberesan itu semakin kentara, setidak-tidaknya demikian dirasakan oleh sementara kelompok orang-orang Islam tertentu. Di be­berapa kota pusat kegiatan pe­mikiran Islam, khususnya Madinah dan Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, serta ibu kota sendiri, Da­mas­kus di Siria, tumbuh angkatan Muslim baru yang lebih men­curahkan pikiran kepada bidang intelektual keagamaan dan memilih sikap lebih netral dalam politik. Mereka ini menyadari bahwa sete­lah kemenangan politik atas umat-umat bukan Muslim menjadi ke­nya­taan dan mantap, sesuatu harus dilakukan untuk mendalami makna agama Islam itu sendiri bagi ke­hidup­an orang-seorang. Dan karena merasa traumatis oleh fitnah demi fitnah di kalangan umat, generasi baru ini kemudian mengem­bang­kan konsep Jamaah (Arab: jamâ‘ah, yaitu konsep tentang kesatuan ideal seluruh kaum Muslimin tanpa memandang aliran politik mereka. Bagi mereka ini, keseluruhan umat itu membentuk kesatuan ruhani yang harus diutamakan di bawah bim­bingan agama Tuhan.

Memang, dalam perkem­bangan­nya golongan Jamaah ini menerima faith accompli kekuasaan Umayyah di Damaskus, dan karena itu sedikit banyak ditolerir oleh pemerintah. Tetapi karena pertumbuhan peran­an mereka yang boleh dikata selaku hati nurani umat, golongan Jama‘ah ini memberi dukungan politik ke­pada rezim Damaskus hanya de­ngan sikap cadangan (reserve) yang cukup besar. Apalagi mereka per­hatikan pula bahwa kekuasaan Umayyah itu, sekali pun berangkat dari konsep kekhalifahan Rasulul­lah, berkembang mengarah kepada sejenis monarki mutlak. Kaum Umayyah membela diri bahwa absolutisme mereka hanyalah demi ke­baikan umat, lebih-lebih demi mengakhiri berbagai fitnah yang ada, dan karenanya mereka juga mendukung konsep Jama‘ah. Tetapi absolutisme dirasakan sebagai sesuatu yang terlalu banyak untuk pola kehidupan orang-orang Arab yang cenderung amat demokratis itu dan, lebih penting lagi, ber­lawanan dengan cita-cita ega­lita­ria­nisme Islam. Para sarjana dan ula­ma pendukung konsep Jamaah itu kemudian tumbuh menjadi ke­lom­pok oposisi moral yang saleh ter­hadap rezim Damaskus.

Di antara kota-kota pusat pe­mikiran dan intelektualisme Islam itu, Madinah dan Basrah memain­kan peranan yang amat menonjol. Di Madinah, Abdullah ibn Umar, putera Khalifah Umar ibn Khattab, tampil sebagai seorang sarjana yang serius, yang mempelajari dan men­dalami segi-segi ajaran Islam. Seba­gai seorang yang hidup di kota Nabi,  dalam mengkaji ajaran agama itu Ibn Umar memiliki ke­cen­derungan alami untuk mem­per­hatikan dan mempertimbangkan se­cara serius tingkah laku dan pen­dapat penduduk Madinah yang di­li­hatnya sebagai kelangsungan hidup tradisi ma­sa Rasulullah. Ka­rena itu ia ter­do­rong untuk mem­perhatikan berbagai cerita dan anekdot ten­tang Nabi yang banyak dituturkan oleh penduduk Madi­nah. Dengan begitu Abdullah ibn Umar, bersama seorang tokoh Madinah yang lain, Abdullah ibn Abbas, menjadi perintis yang mula-mula sekali untuk bidang kajian baru dalam sejarah intelektualisme Islam, yaitu bidang al-Sunnah (tradisi) Nabi.

Karena pandangan mereka yang tetap menganggap penting solida­ritas dan kesatuan umat dalam Jama‘ah, lalu rintisan mereka untuk ka­­jian tentang Sunnah itu dan peng­­gunaannya dalam usaha me­ma­­­ha­mi agama secara lebih luas, maka kedua Abdullah itu banyak dipandang sebagai pendahulu ter­ben­tuknya kelompok umat Islam yang kelak dikenal sebagai golongan Sunnah dan Jamaah (Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah) atau, secara singkat Ahli Sunnah (Ahl al-Sunnah), golongan Sunni. Seperti telah dikatakan di atas, disebabkan pe­ngalaman traumatis mereka oleh berbagai fitnah yang terjadi, go­long­an ini mem­punyai ciri kuat ke­netralan dasar dalam politik, mo­derasi dan to­leransi. Karena ciri-ciri itu, go­longan ini me­miliki ke­mam­puan besar un­tuk menyerap berbagai pendapat yang berbeda-beda dalam umat dan me­num­buh­kan semacam rela­tivis­me internal Islam.

Pluralisme mereka itu me­la­pang­­kan jalan bagi diterimanya pan­dangan-pandangan keagamaan mereka, yang kemudian dengan mudah berkembang menjadi anut­an popular kelompok mayoritas umat. Tetapi tekanan mereka kepa­da segi solidaritas umat sesuai de­ngan konsep Jama‘ah yang ada, dan dengan begitu juga sikap mereka yang kurang senang kepada anar­kisme (berhadapan dengan kaum Khawarij dan Syiah), golong­an itu mendapati dirinya tumbuh hampir menyatu dengan kepenting­an rezim Umayyah di Damaskus. Sekalipun pada tingkat moral keagamaan dan intelektual mereka tetap melakukan oposisi terhadap Damaskus, tetapi kenetralan mere­ka dalam politik lebih banyak menguasai sikap-sikap nyata mere­ka, dan dengan begitu mereka ham­pir tidak pernah me­lahir­kan bahaya yang berarti bagi kepentingan politik kaum Umay­yah. Bahkan pemerintahan Umay­yah itu, khususnya pada tahap pertumbuhan cikal bakal golongan Sunni tadi, sebagaimana ditunjuk­kan oleh sikap khalifah Abdul Malik ibn Marwan, menghargai kegiatan kajian keagamaan di Ma­di­nah, dan menunjukkan respek se­cu­kupnya kepada para tokohnya, khu­susnya kepada Abdullah ibn Umar yang sangat disegani. Lebih-lebih lagi hal ini juga dikarenakan pandangan bahwa mereka yang amat berpegang kepada Sunnah itu juga menganggap serius sebuah kenyataan bahwa Mu’awiyah, pen­diri rezim Umayyah, adalah seorang sa­habat Nabi. Sebagai seorang sa­habat Nabi, Mu’awiyah tetap harus dihormati, jika tidak bahkan harus dipandang sebagai hampir tidak bisa salah. Jadi boleh dikatakan bahwa, dalam batas-batas tertentu, konsep Jama‘ah berhasil dilak­sana­kan, tetapi dengan implikasi yang sangat banyak memberi ke­un­tungan politik bagi Bani Umayyah di Damaskus.

Konflik antara para pengemban ilmu di satu pihak dan para pe­ngem­ban kekuasaan politik di pi­hak lain memang tidak selamanya bisa dihindari, sebagaimana nasib yang menimpa pemikir-pemikir lantang seperti al-Juhani dan al-Dimsyaqi. Meskipun malapetaka itu terjadi agaknya karena ke­eks­trem­an, kedua sarjana itu me­nge­mukakan pendirian mereka tentang kemampuan dan tanggung jawab individu manusia. Fakta ini juga banyak mewakili sikap otoriter kekhalifahan Umayyah yang sangat mengekang dan merugikan per­kem­bangan intelektualisme Islam.

0 Comment