Ahli Sunnah Wal Jamaah
Terjadinya kesenjangan antara para penguasa Umayyah
dengan para sarjana dan ulama sebenarnya mulai terasa segera setelah konsolidasi
rezim itu di masa Mu’awiyah, khalifah Damaskus yang pertama. Memang, Islam
mulai merasakan ketidakberesan di bidang politik sejak masa kekhalifahan Utsman
ibn Affan, seorang anggota Bani Umayyah. Kini, dalam rezim Damaskus,
ketidakberesan itu semakin kentara, setidak-tidaknya demikian dirasakan oleh
sementara kelompok orang-orang Islam tertentu. Di beberapa kota pusat kegiatan
pemikiran Islam, khususnya Madinah dan Hijaz, Basrah dan Kufah di Irak, serta
ibu kota sendiri, Damaskus di Siria, tumbuh angkatan Muslim baru yang lebih mencurahkan
pikiran kepada bidang intelektual keagamaan dan memilih sikap lebih netral
dalam politik. Mereka ini menyadari bahwa setelah kemenangan politik atas
umat-umat bukan Muslim menjadi kenyataan dan mantap, sesuatu harus dilakukan
untuk mendalami makna agama Islam itu sendiri bagi kehidupan orang-seorang.
Dan karena merasa traumatis oleh fitnah demi fitnah di kalangan umat, generasi
baru ini kemudian mengembangkan konsep Jamaah (Arab: jamâ‘ah, yaitu
konsep tentang kesatuan ideal seluruh kaum Muslimin tanpa memandang aliran
politik mereka. Bagi mereka ini, keseluruhan umat itu membentuk kesatuan ruhani
yang harus diutamakan di bawah bimbingan agama Tuhan.
Memang, dalam perkembangannya golongan Jamaah ini
menerima faith accompli kekuasaan Umayyah di Damaskus, dan karena itu
sedikit banyak ditolerir oleh pemerintah. Tetapi karena pertumbuhan peranan
mereka yang boleh dikata selaku hati nurani umat, golongan Jama‘ah ini memberi
dukungan politik kepada rezim Damaskus hanya dengan sikap cadangan (reserve)
yang cukup besar. Apalagi mereka perhatikan pula bahwa kekuasaan Umayyah itu,
sekali pun berangkat dari konsep kekhalifahan Rasulullah, berkembang mengarah
kepada sejenis monarki mutlak. Kaum Umayyah membela diri bahwa absolutisme
mereka hanyalah demi kebaikan umat, lebih-lebih demi mengakhiri berbagai
fitnah yang ada, dan karenanya mereka juga mendukung konsep Jama‘ah. Tetapi
absolutisme dirasakan sebagai sesuatu yang terlalu banyak untuk pola kehidupan
orang-orang Arab yang cenderung amat demokratis itu dan, lebih penting lagi,
berlawanan dengan cita-cita egalitarianisme Islam. Para sarjana dan ulama
pendukung konsep Jamaah itu kemudian tumbuh menjadi kelompok oposisi moral
yang saleh terhadap rezim Damaskus.
Di antara kota-kota pusat pemikiran dan
intelektualisme Islam itu, Madinah dan Basrah memainkan peranan yang amat
menonjol. Di Madinah, Abdullah ibn Umar, putera Khalifah Umar ibn Khattab,
tampil sebagai seorang sarjana yang serius, yang mempelajari dan mendalami
segi-segi ajaran Islam. Sebagai seorang yang hidup di kota Nabi, dalam mengkaji ajaran agama itu Ibn Umar
memiliki kecenderungan alami untuk memperhatikan dan mempertimbangkan secara
serius tingkah laku dan pendapat penduduk Madinah yang dilihatnya sebagai
kelangsungan hidup tradisi masa Rasulullah. Karena itu ia terdorong untuk
memperhatikan berbagai cerita dan anekdot tentang Nabi yang banyak dituturkan
oleh penduduk Madinah. Dengan begitu Abdullah ibn Umar, bersama seorang tokoh
Madinah yang lain, Abdullah ibn Abbas, menjadi perintis yang mula-mula sekali
untuk bidang kajian baru dalam sejarah intelektualisme Islam, yaitu bidang al-Sunnah
(tradisi) Nabi.
Karena pandangan mereka yang tetap menganggap penting
solidaritas dan kesatuan umat dalam Jama‘ah, lalu rintisan mereka untuk kajian
tentang Sunnah itu dan penggunaannya dalam usaha memahami agama secara
lebih luas, maka kedua Abdullah itu banyak dipandang sebagai pendahulu terbentuknya
kelompok umat Islam yang kelak dikenal sebagai golongan Sunnah dan Jamaah (Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah) atau, secara singkat Ahli Sunnah (Ahl al-Sunnah),
golongan Sunni. Seperti telah dikatakan di atas, disebabkan pengalaman
traumatis mereka oleh berbagai fitnah yang terjadi, golongan ini mempunyai
ciri kuat kenetralan dasar dalam politik, moderasi dan toleransi. Karena
ciri-ciri itu, golongan ini memiliki kemampuan besar untuk menyerap
berbagai pendapat yang berbeda-beda dalam umat dan menumbuhkan semacam relativisme
internal Islam.
Pluralisme mereka itu melapangkan jalan bagi
diterimanya pandangan-pandangan keagamaan mereka, yang kemudian dengan mudah
berkembang menjadi anutan popular kelompok mayoritas umat. Tetapi tekanan
mereka kepada segi solidaritas umat sesuai dengan konsep Jama‘ah yang ada,
dan dengan begitu juga sikap mereka yang kurang senang kepada anarkisme
(berhadapan dengan kaum Khawarij dan Syiah), golongan itu mendapati dirinya
tumbuh hampir menyatu dengan kepentingan rezim Umayyah di Damaskus. Sekalipun
pada tingkat moral keagamaan dan intelektual mereka tetap melakukan oposisi
terhadap Damaskus, tetapi kenetralan mereka dalam politik lebih banyak
menguasai sikap-sikap nyata mereka, dan dengan begitu mereka hampir tidak
pernah melahirkan bahaya yang berarti bagi kepentingan politik kaum Umayyah.
Bahkan pemerintahan Umayyah itu, khususnya pada tahap pertumbuhan cikal bakal
golongan Sunni tadi, sebagaimana ditunjukkan oleh sikap khalifah Abdul Malik
ibn Marwan, menghargai kegiatan kajian keagamaan di Madinah, dan menunjukkan
respek secukupnya kepada para tokohnya, khususnya kepada Abdullah ibn Umar
yang sangat disegani. Lebih-lebih lagi hal ini juga dikarenakan pandangan bahwa
mereka yang amat berpegang kepada Sunnah itu juga menganggap serius sebuah
kenyataan bahwa Mu’awiyah, pendiri rezim Umayyah, adalah seorang sahabat
Nabi. Sebagai seorang sahabat Nabi, Mu’awiyah tetap harus dihormati, jika
tidak bahkan harus dipandang sebagai hampir tidak bisa salah. Jadi boleh
dikatakan bahwa, dalam batas-batas tertentu, konsep Jama‘ah berhasil dilaksanakan,
tetapi dengan implikasi yang sangat banyak memberi keuntungan politik bagi
Bani Umayyah di Damaskus.
Konflik antara para pengemban ilmu di satu pihak dan
para pengemban kekuasaan politik di pihak lain memang tidak selamanya bisa
dihindari, sebagaimana nasib yang menimpa pemikir-pemikir lantang seperti
al-Juhani dan al-Dimsyaqi. Meskipun malapetaka itu terjadi agaknya karena keekstreman,
kedua sarjana itu mengemukakan pendirian mereka tentang kemampuan dan
tanggung jawab individu manusia. Fakta ini juga banyak mewakili sikap otoriter
kekhalifahan Umayyah yang sangat mengekang dan merugikan perkembangan
intelektualisme Islam.
0 Comment