PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Sabtu, 11 Februari 2023



Orientalisme adalah istilah yang merujuk pada peniruan atau penggambaran unsur-unsur budaya Timur di Barat oleh para penulis, desainer, dan seniman.

Sejak abad ke-19, "orientalis" telah menjadi istilah tradisional untuk para ahli dalam bidang studi Oriental. Orientalisme lebih digunakan secara luas sebagai istilah yang merujuk pada karya-karya seniman Prancis pada abad ke-19, yang mengandung unsur-unsur yang didapat dari perjalanan mereka ke negara-negara di luar Eropa, khususnya Afrika Utara dan Asia Barat. 

Muhammad ‘Abduh dan Orientalisme

 Syekh Muhammad ‘Abduh ter­nyata juga “memanfaatkan” hasil karya Orientalisme. Muhammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî, seorang sarjana ahli Al-Qurân dari Mesir (penga­rang buku indeks Al-Qur’ân yang amat terkenal Al-Mu’jam al Mufah­ras li-Alfâz al-Qur’ân), me­nya­takan bahwa Muhammad Abduh ternyata dalam mengajarkan tafsir Al-Qurân antara lain meng­gunakan buku seorang orien­talis Perancis. Da­lam peng­antar terha­dap ter­jemahan nas­kah berbahasa Pe­rancis itu, Mu­­­hammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî,  me­nu­tur­kan sebuah ki­sah yang me­nyang­kut Muham­mad ‘Abduh dan muridnya, Rasyîd Ridlâ, demikian:

(Ammâ Ba’d: Saat itu adalah tahun 1923).

Kami berada dalam salah satu pertemuan Majlis al-Hudâ wa al-Tuqâ yang diselenggarakan oleh al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridlâ di gedung al-Manâr.

Di sana ada para ‘ulamâ’, di sana ada para ahli pembahasan, dan hikmah memancar dari sum­ber-sumber kalbu mereka.

Pembicaraan berkisar sekitar tafsir Al-Qurân oleh (almarhum) al-Ustâd al-Imam al-Syaikh Mu­ham­mad ‘Abduh, pelopor ke­bangkitan agama dan pengibar panji-panjinya.

Seseorang menyatakan kehe­ranan­nya bagaimana al-Ustad (Muhammad ‘Abduh) dahulu menjelaskan suatu ayat dalam kitab Allah, menuturkan berba­gai ayat yang bersangkutan de­ngan ayat tersebut dalam satu ikatan, masing-masing atau selu­ruh­nya, yang tidak pernah se­orang penafsir pun lainnya mam­pu melakukannya. Seseorang menanyakan hal itu. Maka al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd Ridlâ) menjelaskan bahwa al-Ustadz al-Imâm Muhammad ‘Abduh me­nya­lin sebuah naskah ke bahasa Arab dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang sarjana Peran­cis. Di situ ayat-ayat al-Qur’ân dibagi dalam bab-bab menurut perkara pokoknya. Dan dia (Abduh) menggunakan buku itu dalam tafsirnya.

Dia (Rasyîd Ridlâ) berkata: “Setelah Dia (`Abduh) berpulang ke rahmatullah, kami cari naskah itu dalam barang peninggalan­nya, dan kami tidak menemukan bekasnya sedikit pun.”

Lalu saya katakan: “Aslinya itu ada di bawah tanganku!”

Maka al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd Ridlâ) meminta agar saya menyalin naskah itu ke bahasa Arab untuknya. Saya tersentak oleh apa yang diperintahkan kepada saya itu. Saya meng­habiskan tujuh bulan penuh untuk menyalinnya, dan selesai­nya ialah 8 Maret 1924.

Lalu saya serahkan naskah itu kepadanya. 

Semua orang telah mengetahui per­kenalan dan pengetahuan Mu­hammad ‘Abduh tentang Barat dan kebudayaannya. Tetapi bagaimana pengaruh perkenalan dan pe­ngeta­huan itu kepada pembentukan jalan pikirannya, orang dapat berselisih pen­dapat, akibat satu dan lain hal tulisan-tulisan polemisnya terhadap Barat dan Kristen dan perjuangan­nya melawan penjajahan. Namun jika apa yang dituturkan di atas itu dapat menjadi petunjuk, maka dapat dikatakan dengan cukup aman bahwa Muhammad ‘Abduh nampaknya sedikit banyak memin­jam metodologi para orientalis yang sekiranya cocok dan memenuhi keperluannya, seperti terbukti dari apa yang telah diperbuatnya dengan buku orientalis Perancis tersebut.

Mengenai hubungan antara orientalisme dengan gerakan pem­ba­ru­an dalam Islam, sebuah buku ditulis oleh Dr. Muhammad al-Bahî, bekas Rektor Universitas al-Azhar, berjudul Al-Fikr al-Islâmi al-Hadîts wa Shilatu-hû bi al-Isti’mâr al-Gharbî (Pemikiran Islam Mo­dern dan Hubungannya dengan Kolo­nialisme Barat). Dilengkapi dengan daftar nama para orientalis yang menurut al-Bahî berbahaya bagi Islam, buku itu memasukkan hampir semua pemikiran pem­ba­ruan Islam ke dalam lingkaran per­sekongkolan imperialisme Barat, dengan para orientalis sebagai pion-pionnya. Juga disebutkan buku-buku karangan mereka yang di­anggap mendeskreditkan Islam.

Pada akhir buku itu al-Bahî merasa perlu melampirkan sebuah makalah A.L.Tîbawî dalam jurnal TheMuslim World, Juli 1962, ten­tang para orientalis berbahasa Inggris, yang diterjemahkan dari aslinya oleh Fat’hî ‘Utsmânî. Dalam makalah itu terdapat pujian kepada J. N. D. Anderson, penulis Islamic Laws : Modern World (New York, 1959) dan disebutnya sebagai seorang “orientalis yang bijaksana”, karena dalam pembahasannya me­ng­­andal­kan sumber-sumber kete­rangan dari para ‘ulama’ sendiri. Jadi ia masih melihat adanya ke­mungkinan mendapat hal positif dalam sebagian orientalisme. Tapi makalah ini menyebutkan proble­ma pokok persentuhan Islam seka­rang dengan Barat modern yang dibandingkannya pada persentuhan Islam klasik dengan dunia pe­mikiran Yunani:

Berkenaan dengan masalah “pembaruan” kami ingin me­ngemukakan pengamatan dengan atau tanpa suatu tekanan. Dan bagaimana pun tidak seharusnya ada anggapan bahwa stigma yang tercermin terdahulu itu disebab­kan oleh perbenturan sosiologis yang dangkal. Mungkin terpikir pada seseorang bahwa hal itu tidak muncul dengan dimulai dari dorongan keagamaan yang langsung. Tetapi yang pesimis dari kajian-kajian Islam yang muncul dari celah-celah polemik dan misionari, dan warisan per­musuhan militer yang panjang antar dunia Kristen dan Islam, semuanya itu masih memainkan peranannya, baik dirasakan atau tidak, dalam pendefinisian sikap-sikap kaum muslim. Kemudían terdapat perasaan yang lebih baru dalam sejarah dan yang pahit, yaitu bahwa pemikiran-pe­mikir­an “pembaruan” tiba bersamaan dengan adanya pengaruh politik Kristen atas bagian banyak dunia Islam atau merupakan akibat adanya pengaruh itu. Perjum­paan dini antara Islam dan pikir­an Yunani adalah perkara lain. Islam saat itu berada pada posisi yang terhormat dan menjadi tuan yang menentukan pendapat dan penilaian, menerima atau meno­lak apa saja yang dikehendakinya dari unsur-unsur asing. Sedang­kan dalam Zaman Modern ini, umat Islam tentang apa yang hendak diterimanya atau ditolak­nya didiktekan, didorongkan, atau didefinisikan oleh perorang­an-perorangan, lembaga asing yang bukan Islam, yang acapkali kali kaum muslim meragukannya dan memandangnya berjalan menurut apa yang dikehendaki­nya oleh kepentingan-kepen­tingan asing.

Jadi agaknya yang ingin dike­mu­ka­kan oleh Tibawî ialah per­bedaan antara sikap kaum Muslim klasik terhadap budaya dan bangsa asing dengan kaum Muslim masa sekarang terhadap budaya modern Barat, yang betapa-pun relatifnya perbedaan itu namun berdampak amat penting. Yaitu perbedaan posisi politik kaum Muslim ter­ha­dap kaum Non-Muslim dari yang dahulu berwenang menjadi seka­rang yang tidak berwenang, dari yang dahulu yang menguasai men­jadi yang di­kua­sai, dan dari yang “superior” ke yang “inferi­or”, yang ke­mu­dian mewarnai ke­seluruhan si­kap-sikap rela­sional mereka da­lam spektrum positif-negatif. Dengan kata la­in, orang barangkali dibe­narkan untuk berharap bahwa keadaan akan berubah jika terjadi perubahan posisional Islam yang akan mem­buat kaum Muslim “du­duk sama ren­dah dan tegak sama tinggi de­ngan kaum Muslim”, jika tidak malah mengembalikan superio­ritas mereka yang hilang selama berabad-abad  terakhir ini

0 Comment