Orientalisme adalah istilah yang merujuk pada peniruan atau penggambaran unsur-unsur budaya Timur di Barat oleh para penulis, desainer, dan seniman.
Sejak abad ke-19, "orientalis" telah menjadi istilah tradisional untuk para ahli dalam bidang studi Oriental. Orientalisme lebih digunakan secara luas sebagai istilah yang merujuk pada karya-karya seniman Prancis pada abad ke-19, yang mengandung unsur-unsur yang didapat dari perjalanan mereka ke negara-negara di luar Eropa, khususnya Afrika Utara dan Asia Barat.
Muhammad ‘Abduh dan Orientalisme
Syekh Muhammad ‘Abduh ternyata juga “memanfaatkan” hasil karya Orientalisme. Muhammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî, seorang sarjana ahli Al-Qurân dari Mesir (pengarang buku indeks Al-Qur’ân yang amat terkenal Al-Mu’jam al Mufahras li-Alfâz al-Qur’ân), menyatakan bahwa Muhammad Abduh ternyata dalam mengajarkan tafsir Al-Qurân antara lain menggunakan buku seorang orientalis Perancis. Dalam pengantar terhadap terjemahan naskah berbahasa Perancis itu, Muhammad Fu’âd ‘Abd-al-Bâqî, menuturkan sebuah kisah yang menyangkut Muhammad ‘Abduh dan muridnya, Rasyîd Ridlâ, demikian:
(Ammâ Ba’d: Saat itu adalah tahun 1923).
Kami berada dalam salah satu pertemuan Majlis al-Hudâ wa al-Tuqâ yang
diselenggarakan oleh al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridlâ di gedung
al-Manâr.
Di sana ada para ‘ulamâ’, di sana ada para ahli pembahasan, dan hikmah
memancar dari sumber-sumber kalbu mereka.
Pembicaraan berkisar sekitar tafsir Al-Qurân oleh (almarhum) al-Ustâd
al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh, pelopor kebangkitan agama dan
pengibar panji-panjinya.
Seseorang menyatakan keheranannya bagaimana al-Ustad (Muhammad ‘Abduh)
dahulu menjelaskan suatu ayat dalam kitab Allah, menuturkan berbagai ayat yang
bersangkutan dengan ayat tersebut dalam satu ikatan, masing-masing atau seluruhnya,
yang tidak pernah seorang penafsir pun lainnya mampu melakukannya. Seseorang
menanyakan hal itu. Maka al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd Ridlâ) menjelaskan bahwa
al-Ustadz al-Imâm Muhammad ‘Abduh menyalin sebuah naskah ke bahasa
Arab dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang sarjana Perancis. Di
situ ayat-ayat al-Qur’ân dibagi dalam bab-bab menurut perkara pokoknya. Dan dia
(Abduh) menggunakan buku itu dalam tafsirnya.
Dia (Rasyîd Ridlâ) berkata: “Setelah Dia (`Abduh) berpulang ke
rahmatullah, kami cari naskah itu dalam barang peninggalannya, dan kami tidak
menemukan bekasnya sedikit pun.”
Lalu saya katakan: “Aslinya itu ada di bawah tanganku!”
Maka al-Sayyid al-Imâm (Rasyîd Ridlâ) meminta agar saya menyalin naskah
itu ke bahasa Arab untuknya. Saya tersentak oleh apa yang diperintahkan kepada
saya itu. Saya menghabiskan tujuh bulan penuh untuk menyalinnya, dan selesainya
ialah 8 Maret 1924.
Lalu saya serahkan naskah itu kepadanya.
Semua orang telah mengetahui perkenalan dan pengetahuan Muhammad ‘Abduh
tentang Barat dan kebudayaannya. Tetapi bagaimana pengaruh perkenalan dan pengetahuan
itu kepada pembentukan jalan pikirannya, orang dapat berselisih pendapat,
akibat satu dan lain hal tulisan-tulisan polemisnya terhadap Barat dan Kristen
dan perjuangannya melawan penjajahan. Namun jika apa yang dituturkan di atas
itu dapat menjadi petunjuk, maka dapat dikatakan dengan cukup aman bahwa Muhammad
‘Abduh nampaknya sedikit banyak meminjam metodologi para orientalis yang
sekiranya cocok dan memenuhi keperluannya, seperti terbukti dari apa yang telah
diperbuatnya dengan buku orientalis Perancis tersebut.
Mengenai hubungan antara orientalisme dengan gerakan
pembaruan dalam Islam, sebuah buku ditulis oleh Dr. Muhammad al-Bahî,
bekas Rektor Universitas al-Azhar, berjudul Al-Fikr al-Islâmi al-Hadîts wa
Shilatu-hû bi al-Isti’mâr al-Gharbî (Pemikiran Islam Modern dan
Hubungannya dengan Kolonialisme Barat). Dilengkapi dengan daftar nama para
orientalis yang menurut al-Bahî berbahaya bagi Islam, buku itu memasukkan
hampir semua pemikiran pembaruan Islam ke dalam lingkaran persekongkolan
imperialisme Barat, dengan para orientalis sebagai pion-pionnya. Juga
disebutkan buku-buku karangan mereka yang dianggap mendeskreditkan Islam.
Pada akhir buku itu
al-Bahî merasa perlu melampirkan sebuah makalah A.L.Tîbawî dalam jurnal TheMuslim
World, Juli 1962, tentang para orientalis berbahasa Inggris, yang
diterjemahkan dari aslinya oleh Fat’hî ‘Utsmânî. Dalam makalah itu
terdapat pujian kepada J. N. D. Anderson, penulis Islamic Laws : Modern
World (New York, 1959) dan disebutnya sebagai seorang “orientalis yang
bijaksana”, karena dalam pembahasannya mengandalkan sumber-sumber keterangan
dari para ‘ulama’ sendiri. Jadi ia masih melihat adanya kemungkinan mendapat
hal positif dalam sebagian orientalisme. Tapi makalah ini menyebutkan problema
pokok persentuhan Islam sekarang dengan Barat modern yang dibandingkannya pada
persentuhan Islam klasik dengan dunia pemikiran Yunani:
Berkenaan dengan masalah “pembaruan” kami ingin mengemukakan pengamatan dengan atau tanpa suatu tekanan. Dan bagaimana pun tidak seharusnya ada anggapan bahwa stigma yang tercermin terdahulu itu disebabkan oleh perbenturan sosiologis yang dangkal. Mungkin terpikir pada seseorang bahwa hal itu tidak muncul dengan dimulai dari dorongan keagamaan yang langsung. Tetapi yang pesimis dari kajian-kajian Islam yang muncul dari celah-celah polemik dan misionari, dan warisan permusuhan militer yang panjang antar dunia Kristen dan Islam, semuanya itu masih memainkan peranannya, baik dirasakan atau tidak, dalam pendefinisian sikap-sikap kaum muslim. Kemudían terdapat perasaan yang lebih baru dalam sejarah dan yang pahit, yaitu bahwa pemikiran-pemikiran “pembaruan” tiba bersamaan dengan adanya pengaruh politik Kristen atas bagian banyak dunia Islam atau merupakan akibat adanya pengaruh itu. Perjumpaan dini antara Islam dan pikiran Yunani adalah perkara lain. Islam saat itu berada pada posisi yang terhormat dan menjadi tuan yang menentukan pendapat dan penilaian, menerima atau menolak apa saja yang dikehendakinya dari unsur-unsur asing. Sedangkan dalam Zaman Modern ini, umat Islam tentang apa yang hendak diterimanya atau ditolaknya didiktekan, didorongkan, atau didefinisikan oleh perorangan-perorangan, lembaga asing yang bukan Islam, yang acapkali kali kaum muslim meragukannya dan memandangnya berjalan menurut apa yang dikehendakinya oleh kepentingan-kepentingan asing.
Jadi agaknya yang ingin dikemukakan oleh Tibawî ialah perbedaan antara sikap kaum Muslim klasik terhadap budaya dan bangsa asing dengan kaum Muslim masa sekarang terhadap budaya modern Barat, yang betapa-pun relatifnya perbedaan itu namun berdampak amat penting. Yaitu perbedaan posisi politik kaum Muslim terhadap kaum Non-Muslim dari yang dahulu berwenang menjadi sekarang yang tidak berwenang, dari yang dahulu yang menguasai menjadi yang dikuasai, dan dari yang “superior” ke yang “inferior”, yang kemudian mewarnai keseluruhan sikap-sikap relasional mereka dalam spektrum positif-negatif. Dengan kata lain, orang barangkali dibenarkan untuk berharap bahwa keadaan akan berubah jika terjadi perubahan posisional Islam yang akan membuat kaum Muslim “duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan kaum Muslim”, jika tidak malah mengembalikan superioritas mereka yang hilang selama berabad-abad terakhir ini
0 Comment