PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Selasa, 11 April 2023

 Beda Mihnah Islam dan Inquisition Kristen

Mihnah atau inquisition yang dialami Ibn Rusyd, selain akhirnya toh direhabilitasi, adalah jenis Mihnah atau inquisitior yang sangat lunak dan beradab dibandingkan dengan, misalnya, yang dialami oleh para filsuf dan pemikir bebas dari kalangan Kristen Eropa. Proses pergantian ejaan nama filsuf kita itu dari nama aslinya (bahasa Arab) ke nama Latinnya melibatkan seorang pendeta Kristen dan seorang peme­luk Yahudi Spanyol. Tetapi mereka, khususnya orang-orang Kristen, yang secara bijaksana melibatkan diri dalam kegiatan ilmiah, adalah orang-orang Kristen yang menurut ukuran zamannya “liberal,” malah “sangat liberal.”

Oleh karena itu banyak sekali dari mereka, banyak dibanding yang ada di kalangan orang- orang Muslim, menjadi sasaran peng­hinaan dan penyiksaan oleh para penguasa yang berhasil dihasut atau karena memang memerlukan du­kungan para tokoh agama konser­vatif. Penyiksaan dan penghinaan yang mereka terima melalui in­quisition Kristen itu tidak bisa di­ban­dingkan dengan yang diterima oleh para pemikir “liberal” Muslim seperti Ibn Rusyd. Mereka mela­kukannya jauh lebih kejam, dan sangat melampaui batas-batas peri­kemanusiaan. Kekejaman dan tin­dakan melampaui batas-batas peri­ke­manusiaan itu dilukiskan oleh seorang sarjana dan pemikir mo­dern (kontemporer) begini:

 

...Pengaruh praktis pandangan-pandangan Kristen ortodoks sering membawa kepada kejadian-kejadian yang menampakkan suatu kontras menyedihkan terhadap standar etis kebanyakan orang. Bertrand Russel (1957) mungkin benar dalam me­na­makan agama Kristen paling tak toleran di antara semua agama. Kita hanya harus mengingat berbagai perang melawan “orang-orang ka­fir” dan perusakan budaya-budaya me­reka seperti yang dipunyai orang-orang Maya dan Inca, pe­nyik­saan semua orang yang berani menyatakan keberatan terhadap kenyamanan doktrinal, Inkuisisi dengan penyiksaan-penyiksaan dan pembakaran biadab atau kepedihan ruhani orang-orang yang diancam dengan neraka. Kemajuan inte­lektual sering dihalangi, dan daftar para pemikir yang disiksa oleh ge­reja Kristen adalah panjang, dimulai pada abad kesembilan dengan Johannes Scotus Erigena dan ber­lanjut dengan Albertus Magunus, Roger Bacon, Giordano Bruno, Galileo, Campanela, Fichte, La Mattrie, Holbach, Fr. Strauss, dan lain-lain. Bahkan karya keagamaan Kant, Die Religion in den Grenzen der Blosson Vernunft (Agama dalam Batas Akal Murni, 1794) me­ngalami penyensoran oleh Frederick William II. Perintahnya dalam majelis mengingkari karya itu sebagai penyalahgunaan filsafat dan penghinaan doktrin-doktrin asasi Kitab Suci. Para profesor filsafat dan teologi pada universitas Ko­ning­berg dilarang memberi kuliah tentang masalah itu. Bahkan hari ini pun sikap tak toleran tertentu yang seharusnya tidak sejalan de­ngan agama Kristen sering me­nyu­litkan kehidupan keluarga maupun kehidupan profesional.

Segi perbandingan lainnya an­tara mihnah Islam dan inquisition Kristen, lagi-lagi agar kita mem­per­oleh pembahasan yang adil, ialah bahwa inquisition Kristen hanya terjadi dari  satu arah, yaitu dari arah orang-orang kolot dari seba­gian kaum penguasa dan tokoh agama terhadap kaum liberal dari kalangan kaum filsafat dan ilmu. Dalam mihnah Islam justru bisa terjadi dari dua jurusan, yakni dari jurusan kaum kolot yang mela­kukan mihnah terhadap orang-orang liberal seperti yang dialami oleh Ibn Rusyd itu, dan dari jurus­an kaum liberal seperti Khalifah Ma’mun di Baghdad yang ber­pandangan Mu’tazilî, yang melan­carkan mihnah terhadap kaum “kolot” dan “konservatif” seperti Ahmad Ibn Hanbal. Tetapi lagi-lagi,seperti halnya Ibn Rusyd, Ibn Hanbal pun akhirnya mendapat rehabilitasi, suatu kenyataan yang membuktikan perbedaan “kualitif” antara mihnah Islam dan inquisi­tion. Kendati begitu, jelas kedua-duanya adalah bentuk-bentuk ke­zaliman dan kekeliruan besar yang  menjadi catatan hitam dalam per­jalanan sejarah umat manusia secara keseluruhan.

Kesengsaraan yang menimpa para pemikir Kristen Eropa se­sungguhnya dapat dijejaki ke bela­kang sampai ke masa-masa intro­duksi filsafat Islam ke Dunia Barat, antara lain melalui karya-karya Ibn Rusyd yang telah diterjemahan ke bahasa Latin. Karena kegiatan penerjemahan Latin itulah, maka bentuk pengaruh Ibn Rusyd ke dunia pemikiran Eropa dikenal dengan Averroisme Latin. Menurut Ernst Renan, pikiran-pikiran Ibn Rusyd diajarkan di universitas Perancis oleh kaum Fransiskan (se­buah ordo Katolik) mulai abad ke-13. Tapi pengajaran itu mendapat reaksi keras dari gereja, yang menu­rut Renan tercermin dalam tulisan-tulisan William dari Auvergne, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Giles dari Roma dan Raimon Lull.

Pendapat lain menyebutkan Wil­liam Auvergne sebetulnya tidak­lah mem­buat reaksi kepada Ibn Rusyd, me­lainkan kepada Ibn Sînâ. Sebab kaum Fransiskan, yakni ordo Ka­to­lik yang mengajarkan pikiran-pi­kir­an Ibn Rusyd, pun memper­oleh ide me­reka tentang intelek aktif yang unik dari Ibn Sînâ (dari filsafat Isyrâ­qi­yyah), yang se­sung­guhnya sejalan dengan ide Augus­tinus tentang “cahaya Ilahi” yang di­samakannya dengan Tuhan itu sendiri.

Inti Averroisme Latin yang ditentang keras oleh mereka ialah pendirian tentang superioritas akal atas wahyu. Dan seperti halnya Ibn Rusyd sendiri, kaum Averrois ada­lah kaum rasionalis. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang beragama atau mengaku beragama, maka mereka kesulitan mengga­bungkan antara kebenaran rasional dan kebenaran revelasional (wah­yu), sehingga hal ini menggiring mereka kepada konsep tentang “kebenaran ganda”. Ini pun men­jadi sasaran kritik dan penolakan yang tegas, karena menunjukkan suatu jenis kemunafikan dalam sikap keagamaan kaum Averrois.

Namun sesungguhnya, Ibn Ru­syd sendiri tidaklah mengajarkan “kebenaran ganda” itu. Mungkin bagi orang-orang Kristen Eropa, filsuf kita ini mengesankan meng­ajar­kan jenis kemunafikan itu di­se­bab­kan oleh pendirian tentang ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap teks-teks suci keagamaan dari Al-Qurân maupun Hadîts yang bernada antropomorfis. Ibn Rusyd dengan tegas membela hak untuk melakukan interpretasi metaforis. Tetapi ia membatasi hak itu hanya kepada kaum khawas (khawâshsh), bukan kaum awam ( ‘âwâmm).

Menurut Ibn Rusyd, kaum kha­was akan menjadi kafir kalau tidak melakukan ta’wil, karena ia akan mendapati berbagai point ajaran agama tidak masuk akal, tertolak. Dan sebaliknya, kaum awam akan menjadi kafir kalau melakukan ta’wil, karena pekerjaan itu sulit sekali dan tidak akan tercapai oleh kemampuan akalnya, sehingga baginya agama pun menjadi sulit dipahami dan tertolak. Bagi Ibn Rusyd, kaum awam harus mema­hami agama seperti apa adanya, sebab agama memang dinyatakan dalam lambang-lambang dan sim­bol-simbol (menurut istilah  Ibn Sînâ, amtsâl wa rumûz). Yakni, ungkapan-ungkapan dan alegoris, agar dapat dengan mudah dipahami kaum awam yang merupakan ba­gian terbesar umat manusia.

Pandangan Ibn Rusyd (dan juga Ibn Sînâ, serta umumnya para filsuf Islam, termasuk kaum Mu’tazilah) tentang interpretasi metaforis itu didasarkan kepada kemungkinan adanya dua cara baca berkenaan dengan bagian di mana harus ber­henti dalam koma. Sebuah firman Ilahi yang relevan dari Al-Qurân  surat 3:7 dapat mewakili dua cara baca tersebut. Pertama untuk kaum awam:

Dialah (Tuhan) yang menu­run­kan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, dari antaranya adalah ayat-ayat muhkamât yang menjadi induk kitab dan yang lainnya mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada keserongan, maka mereka mengikuti yang mu­tasyâbihât  itu  membuat ta’wil-nya. Dan tidaklah mengetahui ta’wilnya itu kecuali Allah fitnah. Dan orang-orang yang mendalam dalam ilmu, mereka berkata, “Kami beriman dengan Kitab Suci itu; semua dari sisi Tuhan kami.” Dan tidaklah mampu merenung kecuali orang-orang yang berakal budi.

 

 

0 Comment