PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Selasa, 11 April 2023

 Beda Sunnatullah dengan Takdir

Ada sedikit kesalahpahaman di kalangan mereka yang kerap mem­bicara­kan konsep sunnatullah (sun­natullâh). Mereka meng­gunakan perkataan sunnatullah termasuk untuk hukum yang menguasai alam kebendaan. Padahal, kalau di­kembalikan kepada Al-Quran, sun­natullah adalah hukum yang me­nguasai kehidupan manusia dalam sejarah. Tegasnya, ia adalah hukum se­jarah. Karena itu, sunnatullah se­benarnya lebih banyak berurusan dengan peradaban dan kebudayaan. Perkataan inilah yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Quran yang berkenaan dengan perintah Tuhan untuk mempelajari sejarah, (Demi­kian itulah) hukum Allah yang juga berlaku bagi mereka yang terdahulu, dan tidak ada kauda­patkan perubah­an pada hukum Allah (Q., 33: 62). Dengan demikian, sunnatullah adalah hukum yang menguasai sejarah. Mempelajari peradaban, kebudaya­an, sejarah, yang kemu­dian menghasilkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sebetulnya sama dengan mempelajari sunnatullah.

Untuk alam, ada istilah yang lain, yaitu takdir—sebelum istilah ini menjadi istilah ilmu kalâm. Takdir artinya ketentuan yang pasti dari Tuhan. Maka gambaran bahwa matahari beredar menurut garis edar yang sudah ditetapkan, seperti dinyatakan dalam surat Yâsîn, itu disebut sebagai takdir. Dan matahari beredar menurut waktu yang sudah ditentukan baginya; itulah ketentuan Yang Maha Perkasa, Maha Tahu (Q., 36: 38). Kemudian ada ilustrasi tentang rembulan sedari bulan purnama sampai dengan tertutup kembali, itu pun takdir dari Tuhan. Dan rembulan itu Kami takdirkan berfase-fase, dari bulan purnama menjadi bulan sabit ataupun yang semula (Q., 36: 39).

Tuhan menyebutkan adanya dua hokum: pertama adalah sunnatullah dan yang kedua takdir. Sunnatullah artinya tradisi, kebiasaan yang mapan dan mantap; sedangkan takdir artinya ketentuan yang pasti. Tuhan seolah-olah mengatakan bahwa kehidupan manusia—dalam sejarah yang menyangkut masalah politik, budaya, ekonomi dan sebagainya—dikuasai oleh hukum-hukum yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang ada. Tetapi kebiasaan ini begitu rupa sehingga oleh Tuhan diilustrasikan sebagai tidak pasti, dan tidak ada kaudapatkan perubahan pada hukum Allah (Q., 33: 62).

Daya prediksi ilmu sosial relatif rendah, karena itu agar seluruh karya-karya ilmu sosial harus dikuasai. Sedangkan pengamatan terhadap benda menghasilkan exact science atau ilmu eksakta. Disebut ilmu eksakta karena variabelnya pendek, sehingga seluruhnya bisa dikuasai. Jika seorang ahli air ingin mengetahui apa hakekat air sungai Ciliwung, itu mudah saja; ia tinggal mengambil sampel air Ciliwung kemudian membawanya ke laboratorium. Konklusi yang dia buat melalui penelitian di laboratorium itu hardly predictable, artinya siapa pun yang mengambil air sungai Ciliwung akan menghasilkan konklusi yang sama. Tetapi ilmu-ilmu kemasyarakatan tidak bisa begitu, karena banyak sekali variabel yang terlibat di dalamnya. Sewaktu Iran masih dalam kekuasaan Shah, ada banyak sekali ahli Iran di Barat, termasuk Amerika karena Shah bersimpati kepada Barat dan orang Barat banyak bersimpati kepada Shah. Mereka mengarang banyak sekali buku mengenai Iran, tetapi tidak satu pun yang menduga bahwa Shah yang hebat itu bakal jatuh oleh Khomeini. Ketika Khomeini ternyata menang, mereka kaget dan bertanya-tanya, bagaimana itu bisa terjadi. Begitulah, ada variabel yang tidak mereka perhitungkan. Situasinya akan lebih sulit jika tidak hanya menyangkut yang dapat diamati saja, tetapi juga yang tidak bias diamati. Siapa tahu! Bukankah Nabi juga mengatakan bahwa beliau saja tidak diberitahukan untuk melacak data orang sebab semua itu hanya diketahui oleh Allah Swt.

Masalah-masalah sosial kalau didekati dengan cara berpikir eksakta dan satu garis (monolinier), akan semakin jauh, sebab itu berarti mengasumsikan tidak adanya variabel yang lain. Karena itu, menarik ketika Ibn Khaldun menutup Muqaddimah-nya dengan mengatakan bahwa ia telah merintis sebuah ilmu baru, yaitu ‘ilm ‘umrân atau ilmu peradaban. Selanjutnya dikatakan bahwa tidaklah layak dan tidak mungkin seseorang mengem­bangkan ilmu itu secara sempurna, sehingga kewajiban generasi ber­ikutnyalah untuk mengem­bangkan dan menumbuh­kan­nya.

Tetapi, apakah dengan demikian tidak ada lagi keperluan untuk mempelajari soft science? Jawaban­nya adalah tetap perlu, sebab sebagian besar pola-pola yang mengatur hidup ini berasal dari konsep ilmu sosial. Maka, dalam Al-Quran ada perintah untuk mempelajari sejarah, Katakanlah, Jelajahilah bumi ini kemudian lihatlah bagaimana akibat orang yang mendustakan (kebenaran)” (Q., 6: 11). Memang, di sini yang disebutkan yang negatif, yaitu bagaimana orang bisa belajar dari kegagalan, atau dari malapetaka yang menimpa bangsa-bangsa yang lalu. Tetapi unsur positifnya juga bisa dilihat, yaitu bagaimana orang bisa belajar dari pengalaman-pengalaman yang baik daripada yang lalu, meskipun sisi ini tidak begitu dramatis, dan biasanya yang lebih penting adalah belajar dari kegagalan. Al-Quran mengatakan, Sudah banyak cara (sunnah—NM) yang sudah berlalu sebelum kamu: mengembaralah ke segenap penjuru bumi, dan lihat bagaimana berakhirnya orang yang mendustakan (kebenaran) (Q., 3: 137). Dulu, ayat itu pernah menjadi bagian dari etos orang Islam, sehingga banyak orang Islam mengembara ke mana-mana.

Dalam film Marcopolo juga banyak digambarkan bahwa ia sering bertemu dengan orang Islam, bahkan sampai di Beijing sekalipun. Di dalam Al-Quran ada ilustrasi bahwa nanti di akhirat setiap orang akan dimintai tanggung jawab atas semua perbuatannya. Di antaranya ada yang mengatakan, “Kami orang-orang yang lemah di bumi ini,” (Q.S. 4:97). Yang ingin dikatakan sebenarnya adalah bahwa mereka di bumi tidak bisa berbuat lain kecuali berbuat yang jahat, karena mereka dikuasai oleh penguasa yang zalim, diktator, dan otoriter. Argumen semacam itu ternyata tidak diterima oleh Tuhan, “Bukankah bumi Allah luas, kamu dapat berhijrah?” (Q.S. 4: 97). Artinya memang ada perintah untuk mengembara. Karena tidak ada laboratorium pengalaman manusia, termasuk dalam hal mendirikan masyarakat yang baik, maka yang dibutuhkan adalah belajar dari sejarah sebagaimana banyak diperintahkan di dalam Al-Quran.

Pada waktu turunnya ayat-ayat itu, yang dimaksud sejarah tentunya ialah sejarah sebelum Nabi. Sekarang, sebagai perbandingannya, sejarah yang dimaksud tentu saja sejarah sebelum dan sesudah Nabi, termasuk sejarah Islam. Itu yang harus dipelajari. Kegagalan umat Islam yang paling mencolok sekarang ini ialah bahwa mereka tidak mempunyai kesadaran seja-rah.

 

0 Comment