PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Selasa, 11 April 2023

 BEKERJA DENGAN IHSAN

Bekerja dengan ihsân adalah bekerja sebaik-baiknya guna mencapai tujuan yang optimal, tidak setengah-setengah atau mediocre. Nabi Saw. menerangkan makna ihsân melalui perum­pamaan; kalau menyembelih binatang hendaknya kita mengasah pisau setajam-tajamnya sehingga binatang itu tidak menderita dan hasil sembelihannya pun sempurna. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan pandangan bekerja dengan itqân, yaitu membuat segala sesuatu yang kita lakukan menjadi sebaik-baiknya, meniru dan sejalan dengan sifat Allah (Q., 27: 88). Karena itu Nabi Saw. memberi petunjuk, “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah” (Takhallaqû bi akhlâqillâh), yaitu kita dianjurkan “meniru” sifat-sifat Tuhan. Sekalipun tidak mungkin akan menyamai Allah, tetapi sifat-sifat Allah yang serba sempurna harus menjadi pedoman dan titik orientasi seluruh kegiatan kita, dalam rangka memperoleh ridlâ-Nya. Karena itu, dalam tasawuf, tinggi sekali nilai penghayatan “Nama-nama Yang Baik” (al-asmâ al-husnâ) dari Allah Subhânahu wa ta’âlâ.

Dalam rangka melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah dan keinginan mencapai ridlâ atau perkenan-Nya tersebut, maka seseorang harus memperlihatkan hukum-hukum obyektif yang menguasai pekerjaannya, lahir dan batin. Dalam peristilahan Islam, hukum-hukum obyektif itu disebut Sunnatullah (Sunnatullâh, Hukum atau Ketentuan Allah), yakni menyatakan apa yang terjadi sehari-hari sebagai hukum alam untuk benda-benda mati dan hukum sejarah untuk kesatuan rentetan pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial. Jika hukum-hukum itu dipahami dan dipegang dalam melaksanakan kegiatan, maka kegiatan itu akan membawa kebahagiaan. Bahagia karena keberhasilan usaha itu adalah rahmat Allah sebagai al-Rahmân, yaitu Allah sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

       Sebagai al-Rahmân, Allah menganugerahkan rahmat-Nya di dunia ini berupa keberhasilan usaha dan kebahagiaan kepada siapa saja dari hamba-Nya yang berbuat sesuai dengan Sunnah-Nya yang tidak akan berubah-ubah tanpa memandang apakah orang itu beriman ataupun ingkar kepada-Nya. Tidak ada gambaran yang lebih tepat untuk pandangan hidup di atas itu kecuali yang diberikan oleh Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, seorang tokoh cendekiawan Muslim Indonesia yang terkenal. Ia sering menjelaskan bahwa sebuah kasino dengan penangkal petir yang baik tentu lebih selamat dari ke­mungkinan disambar petir daripada sebuah masjid tanpa penangkal petir! Terjemahnya adalah seorang kafir yang paham Sunnatullah dan melaksanakannya akan lebih terjamin memperoleh keselamatan dan sukses di dunia ini daripada seorang beriman yang tidak menge­tahui Sunnatullah dan karena itu tidak dapat melaksanakannya.

 

0 Comment