PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Rabu, 12 April 2023

 BELAJAR DARI KAUM MU’TAZILAH

Telah umum diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah adalah pelopor pembahasan masalah akal dan wahyu. Dalam pandangan mereka, kedua hal itu tidak mungkin bertentangan. Sebab wahyu adalah kebenaran, dan akal adalah anugerah Tuhan untuk mampu menangkap kebenaran itu. Pandangan ini seluruhnya sejalan dengan berbagai dorongan dalam Al-Qurân agar kita menggunakan akal, berpkir, merenung (ya’qilu, yatafakkaru dan yatadabbaru, dengan tashrif derivatif masing-masing). Ayat-ayat Al-Qurân banyak sekali diakhiri dengan perkataan-perkataan itu, baik yang bernada pujian kepada yang melakukannya ataupun yang bernada gugatan kepada yang tidak melakukannya.

Secara populer diketahui bahwa pelopor gerakan Mu’tazilah ialah Wâshil ibn ‘Athâ (w. 131 H./749 M.) dari Bashrah, (bekas) murid Hasan Bashrî (al- Hasan al-Bashrî w. 110 H./728M.). Meskipun riwayat menyebutkan bahwa pikiran i’tizâl-nya tumbuh karena kekecewaan kepada gurunya dalam menjawab tentang status seseorang yang mengaku beriman namun berdosa besar, Wâshil dapat dipahami lebih baik hanya jika diperhitungkan pengaruh gurunya itu. Sebab Hasan Bashrî adalah seorang tokoh ulama yang sangat cenderung kepada faham Qadarîyah, yang menyebabkan ia banyak berhadapan dengan rezim Umayyah di Damaskus (yang terkenal sangat kuat berpegang kepada faham Jabarîyah).

Faham Qadarîyah sendiri merupakan salah satu tema pokok pandangan keagamaan kaum Khawârij. Lagi-lagi, sekalipun kaum “pemberontak”  (makna harfiah perkataan “khawârij”) ini “memberontak” kepada ‘Âli ibn Abî Thâlib, namun banyak wawasan kaum Khawârij yang rasional dan demokratis berakar dalam wawasan khalifat keempat itu. Bahkan meskipun faham kaum Khawârij akhirnya berkembang menjadi ekstrem sehingga kelak mereka dinyatakan oleh kaum Sunni sebagai pembuat bid’ah (ahl-u ‘l-bid’ah atau al-mubtadi’ah) dan golongan penurut keinginan sendiri (ahl-u ‘l-ahwâ), namun secara keagamaan pribadi mereka itu, seperti dikatakan Ibn Taymîyah, adalah orang-orang yang saleh dan sangat dapat dipercaya.

Dalam penilaan kalangan ahli sejarah politik dan pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah adalah “titisan” kaum Khawârij, kecuali bahwa mereka itu tidak terlalu berat terobsesi kepada kekuasaan politik. Tapi ketika faham Mu’tazilah itu diambil oleh Khalifah al-Ma’mûn dan diputuskannya sebagai faham “resmi” negara (dengan ekses negatif yang ironis berupa mihnah atau pemeriksaan faham pribadi), kelompok Muslim “rasionalis”  itu mampu menggerakan wawasan keilmuan dan etos intelektual dalam peradaban Islam yang hasil-hasilnya masih menjadi topik kebanggaan kaum Muslim sampai sekarang. Ekses faham i’tizâl memang ada, tapi merupakan hal sekunder.

Kaum Muslim zaman modern mungkin tidak perlu mengulang kembali secara keseluruhan faham Mu’tazilah. Tetapi jelas sekali bahwa mereka perlu membangkitkan kembali wawasan keilmuan dan etos intelektual pada “zaman keemasan” Islam itu.

 

0 Comment