PPRPM
Selamat Datang di Website Resmi Pusat Penelitian Riset dan Publikasi Mahasiswa

Selasa, 11 April 2023

 Belajar Diskusi

Sebagai suatu medium untuk menyatakan diri (self-expression), di Madania ini perlu diajarkan pidato. Tetapi yang lebih penting adalah diskusi. Selain kita menciptakan—sebut saja—Soekarno-Soekarno, harus juga Hatta-Hatta. Yaitu, orang yang bisa mendengar pendapat orang lain dan mengakui yang benar sebagai benar. Itu yang disebut tipe leadership problem solving (pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah), bukan solidarity making. Kalau pertimbangan (appeal) solidarity making ialah emosi, pertimbangan problem solving adalah intelek atau akal.

Kalau dikemukakan dalam ungkapan yang enak dan sekaligus mencakup ide-ide besar, maka bunyinya kira-kira seperti ini: “Madania ini lebih ditujukan untuk menciptakan Hatta-Hatta, bukan Soekarno-Soekarno”. Artinya, di sini merupakan tempat untuk mencetak orang yang berpikir rasional, tenang, dan mempunyai kemampuan tinggi untuk meme­cahkan masalah. Oleh karena itu, suasana Madania harus egaliter dan demokratis, yaitu suatu wawasan yang mempercayai bahwa manusia dilahirkan dalam fitrah; yakni bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan kebaikan yang disebut hanîf. Artinya, setiap orang mempunyai potensi untuk benar, karena itu setiap orang berhak menyatakan pendapat. Kalau kita meng­ingkarinya, berarti kita mengingkari kesucian dasar dari manusia, yaitu konsep fitrah.

Perlu dicatat bahwa meskipun berkecenderungan pada kebaikan, manusia itu lemah. Manusia diciptakan dalam kodrat yang lemah (Q., 4: 28). Dan salah satu kele­mahannya ialah ketidakmam­puannya untuk melihat jauh ke depan, sehingga menjadi tawanan ke­kinian dan kedisinian, dan ka­renanya, manusia selalu punya po­tensi untuk salah. “Setiap anak cucu Adam itu pembikin kesalahan dan sebaik-baik pembikin kesalahan adalah yang bertaubat”. Jangankan kita, Nabi Muhammad Saw. pun ke­adaannya juga begitu. Dalam Hadis yang sering dikemukakan oleh Ibn Taymiyah disebutkan bahwa suatu saat Nabi shalat zuhur li­ma rakaat, padahal mestinya em­pat rakaat. Para Sahabat mulai ge­li­sah apakah shalat sudah diubah atau ada tambahan rakaat. Berita itu sampai kepada Nabi, lalu Nabi me­ngatakan, “Tidak ada yang di­ubah, itu hanya kekhilafanku. Aku ha­nyalah seorang manusia yang bisa lupa, oleh karena itu kalau aku lupa ingatkan”. Nabi saja berpandangan begitu.

 

0 Comment